WANCI, COMMIT – Sebagaimana perantau Bugis-Makassar yang ulet di urusan lautan, warga asal Wakatobi meliputi Pulau Wangi-wangi, Kapota, Kaledupa, Tomia, Binongko disebut tersebar di banyak pesisir Pulau Bintan hingga Malaysia dan berprofesi sebagai nelayan. Selain itu, juga ditemukan di timur Indonesia, dari Fak Fak hingga Biak, dari Saumlaki hingga Morotai.
Berikut laporan sekretaris eksekutif COMMIT, Kamaruddin Azis yang diundang oleh Bappeda Wakatobi yang berinteraksi sebagian dari mereka pada semiloka ‘Penyusunan Investasi Kemaritiman’ di Pulau Wangi-Wangi, 22-24 Desember 2018.
“Bahkan ada yang jadi Camat hingga wakil bupati di beberapa kabupaten pesisir di timur,” kata fasilitator kegiatan, Saleh Hanan, di sela acara yang digelar di Huma La Kapala.
“Sebagian telah ada yang kembali ke kampung halaman. Berharap mereka bisa mengembangkan potensi diri dan sumberdaya pesisir dan laut yang ada melalui usaha-usaha perikanan,” jelas Saleh.
Dari Saleh diperoleh informasi bahwa lantaran itu pula, mereka diajak untuk menggagas agenda perubahan melalui investasi kemaritiman sebagai dimediasi oleh Kantor Bappeda, Wakatobi.
Untuk memperkaya perspektif keteknisan usaha perikanan dan manajemen usaha, hadir sebagai pembicara Dirjen Perikanan Tangkap KKP, M. Zulficar Mochtar yang memaparkan dimensi perikanan skala kecil, Prof. La Sara, Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Periknan Universitas Haluoleo terkit prospek usaha perikanan rajungan.
Jika Dirjen Tangkap KKP memotivasi nelayan Wakatobi untuk dapat mengakses peluang-peluang pembiayaan bisnis perikanan dan mendisain program yang terpadu dan dapat dipertanggungjawabkan, maka Prof. La Sara memberi contoh alternatif pengembangan ekonomi berbasis perikanan melalui budidaya rajungan.
Selain keduanya, ikut memberi pengayaan dinamika pengorganisasian, perencanaan berbasis masyarakat dan penyusunan rencana aksi adalah Kamaruddin Azis dari Yayasan COMMIT Makassar serta Kepala LPTK-KKP di Wakatobi, Akmatul Ferlin, ST, MT yang berbagi cerita tentang inovasi Wakatobi-AIS untuk pemantauan pergerakan kapal nelayan.
“Investasi kemaritiman yang kita fasilitasi ini, dimensinya bisa berkaitan perikanan, kepariwisataan hingga perdagangan antar pulau,” jelas Saleh, sosok yang pernah melaksanakan Ekspedisi Menyusur Jalur Perdagangan Kopra di Timur Indoesia tahun 2015 ini di depan puluhan warga desa asal Mola, One Melangka, Numana hingga Liya Togo, serta perwakilan dari OPD Wakatobi.
“Harapan kita, Pemerintah Wakatobi dalam hal ini Bupati bisa mempunyai semacam dokumen proposal atau deskripsi program operasional, realistik, dan merefleksikan kebutuhan ril nelayan kita. Bisa dikerjasamakan dengan pihak luar. Harapannya, pengangguran bisa ditekan, warga Wakatobi yang kembali ke kampung halaman bisa memanfaatkan sumberdaya laut yang ada,” papar Saleh.
“Terutama nelayan asal Pulau Bintan atau Malaysia yang memang sudah mempunyai keahlian kenelayanan. Mereka bisa paham GPS, fish finder dan bahkan membuat jaring. Di Malaysia mereka melakukan hal serupa,” tambahnya.
Dari hasil fasilitasi ‘brainstorming’ Saleh Hanan dan Kamaruddin Azis, para peserta merefleksikan selera untuk melaksanakan kegiatan produktif seperti perikanan rajungan, ‘motor-lamba’, pemasaran produk perikanan hingga pemanfaatan sarana prasarana seperti hatchery dan TPI.
Di sesi curah pendapat, para peserta mengusulkan sekurangnya ada lima program.
Di antaranya, pengembangan perikanan skala kecil dengan alat tangkap ‘motor-lamba’, Pengembangan budidaya rajungan berbasis masyarakat, pengembangan kapasitas nelayan dan pengembangan pemasaran produk unggulan, pengelolaan sentra perikanan dan pariwisata terpadu Numana dan optimalisasi fungsi perdagangan antar pulau.
Adi, salah seorang nelayan yang pernah beroperasi di Tawau mengaku optimis, kelima program ini bisa dijalankan selama ada dukungan dari Pemerintah Kabupaten Wakatobi.
“Sebab ini merupakan gambaran kebutuhan di desa-desa pesisir yang ada. Hatchery yang ada tapi belum berfungsi bisa jadi menjadi modal awal untuk usaha budidaya rajungan ini,” katanya.