Kolom M. Nur Sangadji: Pelajaran dari bencana banjir, antara kepekaan dan inisiatif

COMMIT FOUNDATION – Kita dikagetkan oleh bencana  alam yang tiba tiba datang lagi. Banjir bandang itu menimpa  satu kampung bernama Torue. Terletak di kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Ada banyak kerusakan dan kerugian, termasuk korban jiwa beberapa warga.

Merespon kejadian ini, Gubernur Sulawesi Tengah meminta untuk memeriksa kawasan hulu. Akademisi Universitas Tadulako, ahli kebencanaan, Abdullah Petta Laja juga berpandangan sama. Beliau bilang, rusak di Hulu, bencana di hilir. Hemat ku, hulu itu identik dengan pegunungan (montagneus).

Di sana ada hutan yang berperan mengatur air – daur hidrologi – di kawasan pegunungan tersimpan dua  energi sekaligus: potensial dan kinetik. Bila air bergerak dari kawasan ini, debitnya pasti tinggi oleh gravitasi dan ketinggian. Jadi, bila air sudah tidak bisa diatur oleh hilangnya pengatur (baca: hutan), maka dia akan mengalir ke kawasan rendah tanpa kendali.

Inilah yang harus disadari oleh semua pihak. Karena, salah satu poin penting dalam konsepsi pembangunan itu adalah kepekaan pada bencana atau sensitive of disaster.

Kalau banjir itu  bandang, maka tumpukan air dengan volume besar itu punya dua kemungkinan. Pertama, telah lama tertampung di bendung alam. Apakah bendung yang tercipta oleh longsoran atau yang terbentuk oleh tumpukan potongan kayu dan dedaunan.

Hujan deras dengan intensitas tinggi, menambah volume air secara dadakan. Penampang dinding bendung tidak mampu lagi menahan tekanan air yang terus meningkat. Jebol dengan jumlah air berkubik-kubik berpacu dengan debit abnormal. Menghantam apa dan siapa saja yang menghalangi. Lewat jalur air bernama sungai atau lebih parah lagi lewat aliran liar yang terbentuk mendadak.

Kedua, intensitas curah hujan yang tinggi, secara singkat membawa massa air mengisi rongga-rongga alam dalam gundukan tanah, bukit atau potongan kayu atau seresah dengan cepat. Volume air yang tertahan tergantung besarnya ruang yang ada. Mekanisme lanjutannya sama dengan hal pertama tadi.

Karena itu, instruksi Gubernur untuk periksa hulu adalah tindakan yang sangat penting. Tentu, terlambat untuk kasus desa Torue tapi tidak untuk desa yang lain yang belum terjadi. Maka mulailah periksa hulu di semua kawasan.

Mekanisme komunikasi dan informasi antar warga tentang kondisi hulu sangat urgent disadari. Petani, pekebun dan pengambil rotan dan kayu adalah individu terdepan yang harusnya tahu kondisi hulu. Karena, mereka setiap hari melewatinya. Kalau komunikasi itu terbangun, mestinya risiko ini bisa diminimalisir. Teknologi drone di era ini pasti ikut membantu. Bahkan, patroli helikopter secara periodik perlu dipertimbangkan. Intinya, hidupkan kepekaan (early warning), lalu bertindak sistematis dan kolektif.

Dalam satu seminar bersama para kepala desa di Sigi, saya mendapat cerita penting dan relevan. Satu waktu di Desa Omu, masyarakat melihat sungai kering mendadak. Oleh inisiatif kepala desa, Mereka pergi untuk memeriksa hulu. Didapatinya sungai tertimbun longsoran. Air terhalang. Jadilah bendungan alam akibat longsor. Air sungai telah tertahan banyak. Mereka lalu mengalirkan perlahan dan membuka barier tanah penghalang sungai.

Bayangkan, seandainya terlambat. Malapetaka pasti menimpa penduduk akibat banjir bandang. Jadi, bangun segera kepekaan warga dan pemerintah terhadap potensi bencana di setiap kawasan. Kalau tidak, kita hanya menunggu giliran.

Cerita tentang Desa Omu tersebut adalah bukti masih hidupnya kepekaan dan inisiatif warga. itulah dua hal yang kalau sudah tidak ada lagi di masyarakat, sesungguhnya masyarakat itu telah mati. Dan, masyarakat yang kehilangan kepekaan dan inisiatif, amat rentan dilanda bencana. Janganlah.

___

Penulis adalah pendiri COMMIT Foundation, dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Tadulako