Mangrove Terakhir di Kota Palu dan Kegelisahan Nur Sangadji

PALU, COMMIT – Namanya Dr. Ir. Muhd Nur Sangadji, DEA. Dia dosen pada Universitas Tadulako, Palu Sulawesi Tengah sejak tahun 1991. Sosok yang lahir dan besar di Tidore dan Ternate ini adalah juga pendiri Yayasan COMMIT.

Pada Admin, pendiri Juanda English Club Kota Palu ini berbagi kesan terhadap situasi Kota Palu pasca gempa dan tsunani. Sosok yang sangat akrab dengan mahasiswa karena kemampuan komunikasi dan caranya mengampu perkuliahan mengaku terpukul dengan banyaknya korban gempa dan tsunami di Kota Palu dan sekitarnya.

Salah satu yang dikenang adalah situasi pesisir dan laut Kota Palu yang menurutnya rentan. Datangnya tsunami membuatnya semakin yakin bahwa semua orang terutama di Kota Palu harus memikirkan adanya greenbelt. Mangrove dibiarkan tumbuh dan tak lagi dibabat. Ini pelindung alamiah yang sangat penting.

Nur saat bersama mahasiswanya setahun lalu sebelum tsunami (dok: istimewa)
Nur saat bersama mahasiswanya setahun lalu sebelum tsunami (dok: istimewa)

Dia mengirimkan foto dimana dia dan beberapa mahasiswanya melakukan kuliah lapang (field lecture) di pesisir dan laut Talise.

“Di tempat ini, saya pernah beri kuliah praktik lingkungan hidup dan ekologi untuk mahasiswa Tadulako tahun lalu. Latar belakangnya ada pohon bakau satu satunya,” tulisnya seperti ingin merefresh memori kita tentang perhatiannya pada pesisir Palu.

“Kini, dia tumbang. Tidak mampu berjuang sendiri melindungi warga dari terkaman tsunami di pantai Talise Palu pada 28 september 2018,” tambah sosok yang percaya bahwa setiap orang sumber pengetahuan dan setiap tempat adalah ruang belajar.

Secara umum, luas hutan mangrove di Sulawesi Tengah mencapai 46 ribu hektar, namun 10 tahun lalu telah dilaporkan berkurang menjadi 29 ribu hektar termasuk yang ada di sekitar Kota Palu seperti Talise, Kayumaloe, Pantoloan hingga Palu Barat.

“Mangrove itu hilang, umumnya akibat alih fungsi. Berubah menjadi tambak, infrastruktur, bahkan pemukiman. Bahkan, banyak yang dibiarkan terlantar setelah dibuka,” jelasnya.

“Andaikata ada ratusan pohon di situ, mungkin banyak jiwa yang dapat diselamatkan,” tambah dosen Agroteknologi lulusan Jurusan Ekologi Manusia Universite Lyon 3 – Prancis ini.

Mangrove terakhir itu (dok: istimewa)
Mangrove terakhir itu (dok: istimewa)

Benar saja, waktu tim COMMIT ke Talise memang tak nampak lagi pohon dimaksud. Tersisa, hanyalah onggokan batang yang patah, berdiri tegak tanpa dedaunan. Itulah nasib mangrove terakhir yang dimaksudkan Nur.

“Lokasinya yang dimaksud Pak Nur itu di dekat eks Penggaraman. Pasca gempa tsunami pohon ini sudah tidak kelihatan lagi sebagai tumbuhan,” kata Aziz Gapnal perwakilan COMMIT di Palu yang datang ke lokasi bencana.