Apa nama kampung kelahiran Anda? Saya Jempang, satu kampung di Kecamatan Galesong, Kabupaten Tekalar, Sulawesi Selatan. Dipanggil Jempang sebab di titik itu, warga setempat menggunakannya untuk menghadang dan menutup pergerakan serdadu Belanda dan Jepang.
“Ni jempangi agang pangngoloangna Balandayya.” Artinya, ditutuplah jalan ekspansi tentara Belanda. Begitu kikira memori warga terkait penamaan itu.
Obrolan tentang nama ini menarik sebab meski ada yang mengatakan nama adalah doa, nama adalah harapan, tetapi dalam praktiknya jauh panggang dari api. Beberapa nama berkaitan kampung, desa atau kawasan tertentu menarik untuk dibincangkan.
Karena itu pula, saya menjadi paham dan terhibur saat mendengar cerita sahabat saya, Ashar Karateng ketika bersama berkunjung ke Kota Mamuju, pada tanggal 10 Oktober 2018.
“Itu masih mending, kalau di kampung saya ada namanya Kampung Setangnge,” katanya dengan senyum mengembang.
“Serius?” kataku.
“Iya, itu kan artinya banyak hantu,” katanya.
Ashar menyebut tentu saja nama itu diasosiasikan pada hal-hal menakutkan, mistis dan bisa jadi menakut-takuti orang. Meski menurutnya, memang ada beberapa pengalaman yang berkaitan dengan kejadian hal-hal ganjil di kampung itu.
“Nama memang bisa merefleksikan pengalaman atau sejarah satu kawasan. Misalnya, Pangkaje’ne atau Je’neponto di selatan Makassar,” katanya.
“Je’neponto dulu dalam sejarah dulu-dulu mempunyai sungai yang mengitari kotanya, namun entah mengapa berubah letak dan keadaannya,” katanya. Yang perlu mungkin dipikirkan, menurut Ashar, kembali tentang makna nama dan harapan di baliknya.
“Bisa jadi (mungkin) kita tidak (butuh nama itu. Saatnya kita melihat ke depan ketimbang memori-memori buruk atau yang bisa mengganjal harapan baik,” kata Direktur Yayasan COMMIT Makassar ini.
Saya menimpali. “Iya, memang ada nama-nama yang bikin ngeri seperti Panggentungang, di Gowa. Di situ ada memori tentang orang-orang yang digantung saat zaman perang dulu,” kataku.
Ashar menyebut nama kota kediamannya, Sengkang.
“Tahu kalau kata Sengkang itu dari frase ‘Si Engkang’ atau bersamaan datang, ini berbau masa lalu juga kan?” tanya.
“Nama-nama kita ini memang berorientasi masa lalu. Makanya sulit menapak hal-hal progressif dan futuristik,” katanya. Dia lalu membandingkan nama-nama lokasi transmigrasi atau bahkan nama-nama di pedalaman Pulau Jawa yang menurutnya sangat positif dan bermakna doa atau harapan jangka panjang karenanya mengkreasi etos kerja.
“Coba, di Jawa itu kita lumrah mendengar nama-nama desa seperti Sumber Rejo, Wonomulyo, Sidodadi, Sumbermulia,” katanya.
Saya menambahkan. “Iya juga ya, ada Sumberwaras, Karyamukti, Harapan Bersama, seperti di lokasi transmigrasi Luwu Utara,” timpalku.
Obrolan kami kemudian bergeser ke perlunya memeriks kembali nama dan makna menurut dokumen seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Saya lalu mengambil contoh lindu, kata yang saya periksa di KBBI setelah Tomi Lebang menuliskan di postingannya tentang ‘lindu yang menggoyang Palu dan Donggala’.
“Lindu itu berarti gempa,” kataku.
“Oh iya, saya baru tahu tahu ini,” kata Iwan Yaman, sahabat yang menerima kami di Kota Mamuju.
Dia lalu menyebut bahwa Lorelindu adalah penamaan karena sering terkena gempa meski menurutnya menurut dokumen tertentu disebut sebagai nama ‘Suku Lorelindu’.
Ada pula nama Kampung Tanamodindi, di Kota Palu yang diceritakan Aziz Gapnal, kawasan dimana dia tinggal.
“Artinya, tanah yang bergemuruh,” kata Aziz saat ditemui di Palu beberapa hari kemudian.
***
Obrolan saya, Ashar dan Iwan berlanjut dan menyisir nama-nama di kampung masing-masing.
Ashar bercerita tentang Ujung Galung, Tempe, Tappangeng, Tarungpekke, Sangkoli, Atappangnge. “Tidak banyak tahu misalnya mengapa disebut Tempe, sampai kemudian ada nama kampung pula bernama Burito atau ujung, jadi tidak ada makna yang futuristik,” ujarnya.
Saya pun mengeja nama kampung satu-satu di utara Takalar. “Ada Batu-Batu, Sampulungang, Campagaya, Kalongkong, Pa’la’lakkang, Kalukuang, Mario, Romanglompoa hingga Limbung,” tambahku. Itu adalah nama-nama yang merujuk pada bagian-bagian kelapa dan beberapa lainnya yang sukar dimaknai.
Beberapa lainnya saya yakin kita belum tahu makan di baliknya, apa arti Limbung?
“I think, we have a problem in giving a name. Kita masih berorientasi ke masa lalu. Saat seorang pergi ke suatu daerah baru, nun lampau, dia menamainya sesuai selera yang bisa jadi tak relevan lagi dengan situasi ke depan,” katanya.
“Maksudnya, kalau misalnya dia pergi atau datang dari berlayar, dia menandai pendaratan dengan misalnya adanya pohon besar, semisal Rambaka di Galesong, atau Punagayya di Takalar,” sambutku.
“Daripada merepetisi memori buruk, ke depan, bisa jadi kita butuh nama lain, bisa Ronaldo atau mungkin Via Vallen,” candanya.
Kita memang masih seperti itu, berorientasi masa lalu, nama jalan, perguruan tinggi, semua berorientasi masa lalu. Di Indonesia beberapa nama bandara atau perguruan tinggi adalah nama orang.
“Kalau di Jepang, itu sederhana, penamaan itu sesuai dengan situasi tempatnya. Fujiyama misalnya. Tidak ada perspektif masa lalunya. Tokyo international airport, Haneda, Nagoya, Osaka. Tidak ke nama orang. Kita pindah ke sebelah, ke Kualalumpur International, itu juga nama tempat.
“Yang sedikit sama dengan kita itu Thailand. Mereka merujuk ke nama-nama orang seperti di Amerika atau Eropa untuk bandara dan universitasnya. Bisa jadi karena pengaruh penjajahan juga ya,” pungkas Ashar.
__
Ditulis oleh Kamaruddin Azis (Sekretaris Eksekutif COMMIT)