Irfan Saleh: Kolaborasi di Pohuwato untuk Masa Depan Ekosistem Dunia (Bagian 2)

Pohuwato, COMMIT – Ada yang menarik bulan November ini di Kabupaten Pohuwato, Gotontalo. Gubernur Rusli Habibie meresmikan Pusat Pengembangan Ekonomi dan Pelestarian Terpadu Bentang Alam Popayato-Paguat atau B’Maleo Conservation and Development Learning Centre.

Sebuah ikhtiar mengagumkan dengan mengawinkan hasrat ekonomi yang bersandar pada lingkungan yang lestari. “Jika diperlukan, maka Pemerintah akan membuat kebun raya,” kata Gubernur kala itu yang disambut tepuk tangan.

Gagasan dasar dari B’Maleo adalah perlindungan burung di Pohuwato dengan menciptakan alas tata kelola sumberdaya alam yang tak semata memberi nilai ekonomi tetapi memberi umur panjang untuk burung.

“Burung memiliki hubungan penting bagi kehidupan masyarakat khususnya menyangkut perekonomian dan pelestarian alam. Semoga ke depan, bersama dengan Pemerintah, kerjasama berkelanjutan akan terus ditingkatkan,” ungkap Syarif Mbuinga, Bupati Pohuwato setelahnya.

Pohuwato adalah kabupaten di Gorontalo yang berdiri sejak 25 februari 2003 sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2003. Luasanya 4.244,31 km2 dan terdiri dari 13 kecamatan dengan jumlah penduduk kurang lebih 140 ribu jiwa (2016).

Terkait pencapaian bernuansa lingkungan dan multiactors itu – hal yang banyak diperjuangkan oleh masyarakat sipil atau lembaga-lembaga pengaman lingkungan di seluruh dunia atas nama otonomi pengelolaan – admin COMMIT mewawancarai Kepala Bappeda Pohuwato, Irfan Saleh, S.Pt., M.Si, yang disebut paling gencar memfasilitasi pembangunan dan peresmian D’Maleo itu.

***

Selamat pak Kaban, B’Maleo adalah milestones yang bagus. Bisa adi pelajaran untuk kita semua. Bisa dijelaskan seperti apa proses terkait D’Maleo ini?

Ini bermula dari upaya kami memfasilitasi Kesepakatan Pelestarian Alam Desa (KPAD)

KPAD Adalah satu inovasi yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Burung Indonesia dalam proses pendampingan di desa-desa yang berada di sekitar hutan lindung. Setelah menelaah tujuan program ini, maka selaku kepala Bappeda kami mendukung secara pribadi dan lembaga atas implementasi program ini.

Dalam kurun waktu 3 tahun implementasi program ini telah melahirkan beberapa indikasi desa atas proses pengelolaan usaha yang disandarkan pada keseimbangan ekosistem. Seperti di Kecamatan Taluditi, lahir desa yang mengelola kakao berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Diversifikasi usaha dan olahan hasil komoditi lokal terus dikembangkan dan menjadi ikon kuliner daerah.

Para kepala desa juga meningkatkan kapasitas terkait lingkungan sehingga diharapkan menjadi pengendali dirinya selaku pengambil kebijakan di desa terkait pemanfaatan dana desa.

Sayang sekali program ini baru mencakup 6 desa dari 101 desa di Pohuwato, kami telah menetapkan target penambahan setiap tahun untuk penambahan desa akan tetapi adanya kekurangan anggaran untuk pembiayaan pendampingan, khususnya di Bappeda sehingga replikasi program ini belum berjalan baik.

Sosialisasi energi alternatif (dok: istimewa)
Sosialisasi energi alternatif (dok: istimewa)

Namun di 6 desa contoh terus berkembang, bahkan telah ada beberapa daerah yang datang studi banding di desa sasaran tersebut.

Capaian B’Maleo itu bisa disebut sebagai realiasasi pelembagaan pengelolaan sumberdaya alam termasuk burung dan kaitannya dengan praktik pemanfaatan oleh masyarakat sekitar.

Ada cerita lain tentang isu lingkungan ini?

Iya betul, kita juga mendorong apa yang disebut memasukkan muatan lokal (Mulok) lingkungan bagi anak SD.

Insiasi ini muncul setelah terus berdiskusi dengan Tim Kerjasama Pembangunan dimana di dalamnya terdapat Perhimpunan Burung Indonesia sebagai salah satu anggota yang pada akhir diskusi ada kerisauan kami.

Kerisuan itu adalah jika tidak sejak sekarang potensi flora fauna khususnya yang endemik di Pohuwato tidak dikenalkan kepada  siswa-siswi maka akan berdampak buruk pada keberlanjutannya.

Karena  dengan mengenal maka akan muncul kecintaan dan jika sudah cinta maka pasti kan tergerak melindungi dan mempertahankan.

Gagasan ini lahir sejak tahun 2016, kemudian kita siapkan bentuk SK Bupati tentang Tim Mulok, kemudian tahapan-tahapannya terus dijalankan. Dokumen, cikal bakal buku sudah ada, hanya memasukkan melalui instrumen Mulok cukup banyak regulasi yang harus dilalui sehingga hal ini belum di-launching.

Tetapi gagasan ini tetap akan diwujudkan setelah agenda-agenda utama lainnya selesai, target kami tahun depan sudah bisa diwujudkan.

Pohuwato disebut mempunyai beragam sumberdaya, termasuk hutan, sungai, pesisir dan laut. Ada pendekatan khusus ke sana?

Betul, kita telah inisiasi apa yang disebut Ranperda Daerah Aliran Sungai (DAS). Kita beruntung sebab dI DPRD terdapat satu anggota yang berlatar belakang aktivis LSM dan sangat konsisten terhadap pelestarian hutan.

Dimensinya luas, jadi lingkungan dalam pengertian luas kita harus tangani dengan baik. Pemerintah, LSM, masyarakat, swasta bahkan perguruan tinggi harus terikat semangat yang sama untuk bersama, berkolaborasi.

Kolaborasi kami di Pohuwato, untuk masa depan lingkungan hidup Indonesia, bahkan untuk ekosistem penting dunia seperti mangorve.

Jadi dari anggota DPRD lahir  insiasi DPRD untuk membuat Perda Daerah Aliran Sungai. Melihat insiasi yang bagus ini dan sangat sejalan dengan isu yang dihadapi Pohuwato saat ini, maka dengan mengandalkan semangat kolaborasi pembangunan kami menginsiasi membuat rakor dengan mengundang anggota DPRD sebagai pengagas.

Termasuk mengajak Perhimpunan Burung Indonesia yang juga sangat terkait dengan program mereka yang bernama Restorasi Ekosistem, serta beberapa OPD terkait.

Sejak tahun 2017 telah dua kali Rakor di Bappeda kemudian tahun ini kami telah melakukan workshop melibatkan berbagai tokoh kunci, selanjutnya melalui tim ahli yang akan difasilitasi Burung Indonesia berbagai masalah yang teridentifikasi tersebut akan disistematisasi ke dalam dokumen yang dibutuhkan.

Ada kebijakan lingkungan lain yang bisa diceritakan?

Kita juga concern pada isu sampah. Kita ada Pilot Project Daur Ulang Sampah. Ini seiring  dengan berkembangnya Kota Marisa (ibukota Pohuwato) dan bertambahnya penduduk maka volume sampah juga terus meningkat.

bu Asisten ekonomi pembangunan Hj. Rosmiyati jelaskan manfaat kompor biomassa (dok: istimewa)
bu Asisten ekonomi pembangunan Hj. Rosmiyati jelaskan manfaat kompor biomassa (dok: istimewa)

Belum tumbuhnya budaya yang baik di masyarakat terkait pemilhan sampah plastik dan organik sehingga yang terjadi dimana-mana penumpukan sampah. Pemerintah mulai kewalahan mengangkut karena terbatasnya armada dan juga tenaga.

Melihat fakta ini, maka kembali dengan semangat kolaborasi program kami mengundang OPD terkait dan Pihak Perhimpunan Burung indonesia untuk diajak kolaborasi dalam penyelesaian masalah ini.

Tanggal 29 Oktober 2018 kami telah rapat koordinasi pertama lalu pada 30 Oktober kami kunjungan lapangan melihat 8 UPS (Unit pengelola Sampah) dan TPS (Tempat Pembuangan Sampah) Pohuwato.

Setelah itu, sehari kemudian, kami siapkan laporan dan solusi operasional. Tanggal 1 November kami bahas hasil temuan, lalu 2 November hasil solusi terobosan dibuat untuk memastikan UPS komunitas jalan atau berfungsi, atau tidak berfungsi. Kami memfungsikan mesin-mesin yang masih bisa digunakan.

Tanggal 3 Novemver kami uji coba salah satu mesin yang sudah 5 tahun tidur dan hari itu utk pertama kalinya mesin itu mendaur ulang sampah plastik.

Saya terkesan sebab kelompok kecil yang kami bentuk ini sangat militan bekerja. Hingga tanggal 15 November ini mereka telah mengadakan sosialisasi daur ulangan sampah sekaligus demonstrasi di lokasi UPS Desa Teratai Kecamatan Marisa yang dipilih oleh tim menjadi Pilot.

Kabid persampahan sosialisasikan proses daur ulang sampah plastik (dok: istimewa)

Sosialisasikan proses daur ulang sampah plastik (dok: istimewa)

Isu lingkungan lainnya?

Masalah kelangkaan LPG hampir setiap bulan kami alami di Pohuwato. Isu ini oleh salah seorang warga yang bernama Irfan Djafar, sudah berumur 60 tahun namun semangat berinovaasi masih sangat tinggi. Beliau  satu tahun lalu melahirkan satu inovasi kompor biomas dengan bahan dasar utama adalah tongkol  jagung dan bara tempurung.

Melihat inovasi yang sangat baik ini, melalui bidang Litbang, kita lahirkan gagasan untuk mendiseminasikan temuan tersebut ke kecamatan-kecamatan dengan target ibu rumah tangga dan pengurus Bumdes.

Dari ujicoba diseminasi pertama di Kecamatan Paguat, respon ibu rumah tangga cukup tinggi demikian juga dengan pengurus bumdes.

Akhirnya dengan melihat animo itu, inovasi ini terus kami sosialisasi di setiap kecamatan dengan harapan terjadi pemahaman baru di tingkat ibu rumah tangga bahwa untuk memasak tidak harus dengan kompor gas. Ada alternatif murah yang bahan dasarnya ada di sekitar mereka.

Bagi pengurus Bumdes, ini akan menjadi sebuah bisnis yang cukup menjanjikan karena dari proses memasak dengan kompor ini akan melahirkan asap cair yang berguna untuk desinfektan alami, briket tempurung atau jagung yang nanti dapat menjadi sumber energi kompor tersebut.

Kolaborasi yang kami bangun si inovator menyiapkan sendiri seluruh bahan dan peralatannya, sedangkan kami menyediakan transportasi, biaya pertemuan termasuk honor narasumber.

Alhamdulillan dengan pendekatan ini si inovator sangat senang, merasa dihargai bahkan mendapat income lagi dari temuan tersebut.

Ada pendekatan khusus dengan isu kemiskinan yang relatif tinggi di Pohuwato?

Pendekatan yang dilaksanakan adalah melalui pemberdayaan dan perlindungan sosial dan juga pembangunan infrastrukttur penunjang.

Sejak tahun 2016, kami lebih fokus pada perbaikan data sasaran  program yang dikenal dengan Basis Data Terpadu (BDT) yang nanti ke depan akan ditunjang dengan satu aplikasi yang memudahkan pengawasan dan pengendalian serta evaluasi.

Para pemangku pembangunan daerah diharapkan ikut dengan alur ini, merujuk ke data dan informasi terpadu sehingga isu-isu yang disepakati sebagai fokus bersama bisa berjalan efektif melalui program-program pengentasan kemiskinan. (KAS)