MAKASSAR, COMMIT – Perjumpaan Sekretaris Eksekutif Yayasan COMMIT, dengan Wakil Rektor III Universitas Hasanuddin Prof. dr. A. Arsunan Arsin sungguhlah kebetulan. Meski demikian, dari pertemuan serba kebetulan tersebut justeru terekam hal-hal inspiratif dari aktivis Unhas angkatan 80-an tersebut. Seperti apa ceritanya? Simak laporan Kamaruddin ‘Denun’ Azis berikut ini.
***
Saya akui bahwa saat datang ke Unhas dan makan siang di kantin, namanya sempat terlintas di pikiran untuk disambangi, maklum, kami sering berbalas chat di grup Whatsapp Alumni Unhas. Namun saya tepis karena harus masuk arena simposium pada pukul 14.00 Wita di Gedung Rektorat, (3/12).
“Eh Denun, jangko begitu ces, jangan lewat-lewat saja,” seru pria yang saya maksud saat melihatku gegas ke pintu ruang simposium ‘Relasi Bugis-Makassar dan Komunitas Aborijin Australia’ di ruang meeting Rektorat.
Dia berdiri di pintu ruangannya dengan rileks dan geleng-geleng kepala. Berkacak pinggang.
“Matemija!” balasku sembari menerima pelukan persahabatan darinya, sosok yang kerap kami sapa sebagai Kak Chunank.
“Masuk sini bos, ini ruang kita semua,” katanya seraya memperkenalkan seorang mantan pengurus organisasi kampus yang nampaknya bersiap pertemuan siang itu.
Sejak dilantik sebagai Wakil Rektor III oleh Rektor Unhas Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu pada 20 Juli 2018, Chunank, telah empat kali didemo mahasiswa, dua kali ‘bombardir’ mimbar bebas serta diberi bonus satu kali peristiwa tawuran.
“Tapi kita tidak bergeming, saya membuka ruang untuk kita cari solusi. Saya libatkan senior-senior dosen, alumni, ajak mereka turun ke bawah bertemu mahasiswa,” katanya saat menerima penulis di ruangannya yang hangat. Bersamaan itu hadir pula Muchsin Situdju, senior penulis di Ilmu Kelautan Unhas.
Arsunan selanjutnya bercerita bahwa ada beberapa ‘coabaan’ termasuk ketika ada oknum mahasiswa yang dianggap melakukan tindakan berlebih sehingga harus diproses lebih jauh. Meski dia mengambil inisiatif untuk tetap mendahulukan tindakan persuasif.
“Pada banyak kesempatan, saya tegaskan bahwa tugas kami sebagai pembina, kita masih bisa membina anak-anak mahasiswa kita,” tegas sosok yang saat dilantik sebagai WR III ini berjanji menata dengan efektif bidang kemahasiswaan di Unhas menjadi lebih baik.
Prof. A. Arsunan Arsin lahir di Ujung Pandang pada 3 November, 56 tahun silam. Dia menyelesaikan S1 di Fakultas Kedokteran Gigi Unhas, Magister Kesehatan (Epidemiologi) dari Universitas Airlangga dan meraih gelar Doktor di Unhas. Gelar Guru Besar diraih dalam tahun 2006.
Pengalamannya yang dalam dan panjang di urusan keorganisasian kampus memberinya jalan lempang menuju kursi WR 3 di Unhas.
Tanpa saya mulai dengan memberi pengantar panjang lebar, dia mendahului dengan sebuah tawaran.
“Bisa ndak dimotivasi adik-adik Kelautan bikin kegiatan yang bisa melibatkan mereka, ada alumni dan ada proses berbagi pengalaman di situ?” tantangnya. Dia tahunya saya alumni Kelautan dan aktif di dunia LSM.
“Saya kira alumni, seperti kita’ memberi mereka masukan. Beri ide-ide. Silakan dibicarakan, bisa di ruangan, bisa di pantai, dekat laut,” kata peraih Medika Award untuk Artikel Jurnal. Jakarta, 2004 dan Poster Awarded untuk Artikel Poster, APACPH, Bangkok, 2006.
“Intinya, Unhas senang jika senior atau alumni yang katakanlah ‘berhasil’ bisa memberikan masukan untuk adik-adik, membuka cakrawala,” lanjut peraih Satya Lencana 20 Tahun PNS dari Presiden RI ini.
Di pembacaan Chunank, mahasiswa memang seharusnya banyak berbagi dengan senior atau alumni, berbagi pandangan dan menyerap perkembangan di eksternal, melalui cerita seniornya.
“Saya menyebutnya berbagi suplemen, ha-ha-ha. Perlu memperkaya atau menambah penalaran, mungkin semacam pelatihan dari kakak-kakaknya, misalnya apa itu hakikat berorganisasi, untuk siapa dan kalau perlu harus bisa punya rencana aksi,” katanya riang.
Belakangan ini, menurut Chunank, diperlukan mediasi untuk berbagi gagasan atau bahkan kritis atas kebijakan.
“Kita hindari kecenderungan menyalahkan pihak lain tanpa alasan yang jelas dan melalui proses elaborasi yang matang. Ini bukan like or dislike, tetapi bagaimana menyiapkan argumentasi,” kata penulis buku ‘Mengalir Melintasi Zaman, Menebar Ide dan Gagasan Tanpa Batas’
“Saya merasa bahwa anak-anak kita (mahasiswa) perlu dikawal, perlu diajak bicara, dua arah,” imbuhnya.
Bagi Chunank mahasiswa tetaplah tanggungjawab kita semua. Mengambil contoh ragam tantangan untuk pendidikan anak-anak di lingkungan rumah, dia menyebut tantangan serupa bisa menghadang jalan mahasiswa Unhas saat ini.
“Kita perlu bersama menjaganya, sekali kita lengah, mereka bisa saja ke pihak lain. Tapi bukan saja di kita, tantangannya ada pada mereka juga, bagaimana berpikir global atau system thinking,” ujarnya.
“Jadi itu tadi, mereka, kita semua, harus kuat leadershipnya. Mereka harus punya emotional quotient, memimpin dirinya. Mau ke mana dan akan jadi seperti apa. Makanya saya selalu mendorong adanya suplemen dari luar. Saya pakai kata suplemen (input penguatan) karena saya dokter toh? Ha-ha-ha,” katanya bersemangat.
Saya kira Kak Chunank benar, dia tidak mau buru-buru memberi resep sebelum duduk bersama berbagi perspekif, informasi dan ‘gejala’. Persis pemikiran aktivis LSM!