Kekuatan Di Balik Pasang ri Kajang

Jumardi Lanta, program manager COMMIT ikut serta melakukan trip ke selatan, ke Kawasan Kajang, Bulukumba. Berikut ini cerita perjalanan tersebut serta temuan dan inspirasi di baliknya.

***

Menuju Kajang

Sebelum berangkat ke Kajang saya bekali diri dengan membaca beberapa referensi terkait Kajang seperti Sosiologi Desa (Darmawan Salman, 2016) dan Profil Masyarakat Hukum Adat Kajang dan Karampuang (Pawennari Hijjang, dkk. 2012).   Dua sumber informasi awal tentang Kajang tersebut banyak bercerita tentang pengetahuan lokal masyarakat, hukum adat dan pesan-pesan yang dikenal oleh masyarakat Kajang Pasang ri Kajang-Konjo.

Semakin larut membaca literatur tersebut semakin saya terbawa ke suasana kehidupan 35 tahun lalu dimana masa kecil saya setiap libur panjang setelah penerimaan rapor dan penaikan kelas, saya berlibur ke kampung nenek saya yang bernama Palakka, sebuah kampung kecil di Kecamatan Lamuru Kabupaten Bone yang masih jauh dari hiruk pikuk keramaian saat itu.

Saat itu, jika mengambil air di sumur, kami masih menggunakan buah maja yang disebut bila-Bugis, jika ingin bepergian ke tempat yang jauh harus dengan jalan kaki atau menggunakan kuda sebagai tunggangan. Bila malam tiba, alat penerang yang digunakan hanya pelita dan lampu petromaks. Jika ingin bepergian di malam hari, harus menggunakan obor atau Sulo = Bugis.

Perjalanan ke Kajang dimulai.

Maka pada Jumat 4 November 2016, pukul 15.30 rombongan kami dari Mahasiswa Jurusan Antropologi Program Magister Universitas Hasanuddin angkatan 2015 dan 2016 berangkat menuju Bulukumba.

Di tengah perjalanan kami saling mengingatkan agar selama dalam perjalanan bahkan jika sampai di Kajang nanti agar tidak berbicara takabbur atau hal-hal yang bisa membuat kita lupa.  Selain itu diminta menyediakan pakaian hitam, karena hanya orang yang memakai pakaian hitamlah yang bisa masuk ke rumah Amma Toa di kawasan adat Kajang.

Selama perjalanan menuju Bulukumba, bayang-bayang tentang Kajang selalu bersama kami.  Membuat saya bertanya dalam hati, dan membayangkan suasana kehidupan di Kajang.

“Apa sebenarnya keistimewaan masyarakat Kajang? Mengapa segala tindakan kita harus diatur oleh aturan adat, padahal kami adalah orang yang bukan bagian dari masyarakat adat Kajang itu sendiri?

Pukul 22.00 kami sudah sampai di Bulukumba, tiba di rumah Ari panggilan akrab Arianto Putra Abdullah ketua kelas angkatan 2016 Mahasiswa S2 Jurusan Antropologi.

“Salah satu hal yang perlu diperhatikan ketika mau memasuki kawasan adat Kajang adalah pakaian, pakaian yang dimaksud adalah pakaian yang berwarna hitam,” kata Abdullah, ayah Ari.

Dia melanjutkan, ketika ada orang luar yang hendak memasuki kawasan adat Kajang harus mengikuti aturan adat tersebut yang harus menggunakan pakaian hitam, selain itu tidak boleh menggunakan alas kaki. Hal itulah yang menjadi ciri khas Masyarakat Hukum Adat Kajang. Abdullah bekerja sebagai salah satu pengawas sekolah SMA/SMK Dinas Pendidikan Kabupaten Bulukumba.

Dari pertemuan dengan Pak Abdullah tersebut diperoleh infomasi bahwa masyarakat adat Kajang tersebut hidup di salah satu daerah perdesaan di Kabupaten Bulukumba. Daerah tersebut berada di bagian timur Kabupaten Bulukumba yang berbatasan dengan Kabupaten Sinjai. Untuk mencapai tempat itu membutuhkan waktu kurang lebih dua jam dari Ibu Kota Kabupaten Bulukumba dengan menggunakan kendaraan roda empat.

***

Pintu masuk

Keesokan harinya tanggal 5 November 2016, kami meninggalkan Kota Bulukumba menuju Kajang, rombongan kami tidak langsung memasuki kawasan adat, tetapi terlebih dahulu mampir di rumah salah seorang Pemangku Adat Kajang yang tinggal di luar kawasan adat yakni Bapak H. Mansyur Embas. Dia adalah pengurus AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusatara) Sulawesi Selatan dan seorang Tokoh Masyarakat adat Kajang yang berada di luar kawasan adat kajang (Pantaran embayya).

Beliau juga kakek dari teman mahasiswa S2 Antropologi Khadijah atau biasa dipanggil Cece. Beliau diminta kesediaannya menjadi mediator untuk bertemu dengan pihak Ammatowa, karena informasi yang kami terima sebelumnya untuk menemui Ammatowa sangat sulit.

Di kawasan adat kajang mempunyai mekanisme protokoler tersendiri, apalagi jika ada acara adat. Tetapi jika ada Tokoh Adat yang bisa memfasilitasi Pertemuan tersebut maka akan lebih mudah. Melalui fasilitasi dari Bapak H. Mansyur maka rombongan kami bersedia diterima oleh pihak Ammatowa pada pukul 14.00 waktu setempat.

Semakin yakinlah saya, bahwa Kawasan Adat Kajang tersebut memang memiliki keunikan dan keistimewaan tertentu, dimana setiap kedatangan pihak luar dari manapun asalnya maka harus mengikuti mekanisme yang sudah diatur oleh pihak Ammatowa.

Setelah ada komunikasi antara pihak Ammatowa dengan Bapak Mansyur Embas, maka pukul 13.30 rombongan kami bergegas menuju kawasan adat Kajang. Pintu ke ruang dalam Kajang telah terbuka untuk kami.

Perlu 30 menit perjalanan untuk kami sampai di rumah Kepala Desa Tanah Toa. Pimpinan Rombongan dan Bapak Mansyur Embas menemui kepala Desa untuk menyampaikan bahwa rombongan dari Unhas sudah tiba, selanjutnya kami disilakan memasuki kawasan adat Kajang.

Saat rombongan kami tiba di pintu gerbang Kawasan adat Kajang, semua anggota tim dicek oleh Bapak H. Mansyur Embas, apakah semua rombongan sudah memakai pakaian hitam atau putih. Satu persatu anggota tim ganti pakaian jika masih menggunakan warna lain selain hitam atau putih. Bahkan Prof. Pawennari Hijjang selaku dosen pembimbing kamipun rela mengganti pakaiannya yang semula menggunakan pakaian warna abu-abu menjadi warna hitam.

Dari proses tersebut semakin yakinlah saya bahwa adat di sini sangat kental untuk dipatuhi, bukan hanya oleh masyarakat adat Kajang itu sendiri tetapi pihak luar Kajangpun yang hendak memasuki kawasan adat kajang apapun jabatan dan pangkatnya harus tunduk pada aturan adat Kajang.

Sebuah pembelajaran yang luar biasa dimana masyarakat adat Kajang sangat mematuhi norma adat mereka sendiri bahkan dapat mengatur siapa saja yang hendak memasuki Kawasan Adat Kajang (Ilalang Embayya).

Secara geografis Komunitas adat tersebut memang berada di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba.  Mereka sudah mendiami kawasan adat tersebut sejak ratusan tahun yang lalu, namun mereka hidup berdasarkan aturan-aturan atau norma adat yang turun temurun dari leluhurnya yang disebut “Pasang”. Mereka memeliharanya melalui perbuatan, meskpipun hanya lisan proses transformasi pasang tersebut tetap berlangsung secara terus menerus.

Salah seorang remaja desa yang ditanya tentang pasang, diapun tahu betul beberapa pasang baik dari aspek pengetahuan lokal, maupun yang sifatnya pelanggaran. Sehingga keberadaan kawasan adat Kajang di desa Desa Tana Toa hanya sifatnya administratif. Kepala Desa Tana Toapun harus mematuhi norma adat jika memasuki Kawasan Adat Kajang.

Saat ini Kajang semakin gencar disebut-sebut banyak orang, masyarakat Kajang melakukan kepatuhan terhadap aturan lokal tersebut, sejak dulu sampai saat ini masih terjaga. Banyak pihak yang telah melakukan kunjungan, saat kami di sana menemui Ammatowa sekelompok mahasiswa dari salah satu universitas swasta di Makassar dan Jakarta pun datang menemui Ammatowa.

Mereka juga bertanya tentang kehidupan masyarakat adat Kajang. Bahkan secara spesifik mereka bertanya tentang hukum adat Kajang dikaitkan dengan hukum Negara. Kelompok yang lain bahkan bertanya tentang perspektif kesehatan masyarakat Kajang.

Semua pertanyaan tersebut dijawab oleh Ammatowa berdasarkan Pasang yang mereka pegang selama ini dan secara spesifik oleh masing-masing Galla yang memang bidangnya seperti; Galla Kajang termasuk Ada’ Tana (pemangku adat) menjalankan fungsinya di bidang hukum. Galla Pantama, menjabat sebagai kepala Desa Possitana. Ia jarang dalam hal ritual seperti akkattere (Aqikah), Anynyuru  Borong (pemilihan dan pelantikan Ammatowa). Galla Puto termasuk Ada’ Tana (pemangku Adat) di bidang diplomat, ia bicara sebagai juru bicara ammatowa.

Galla Lombo, bertugas mengurus masalah pemerintahan adat di daerah kekuasaan Ammatowa. Galla Lombo juga bertugas di bidang pelestarian hutan keramat (Borong Karama) seluars 300 ha. Atau sekitar 90 % dari seluruh hutan adat yang berada di wilayah Galla Lombo (Desa tanatowa)/

Yang lainnya adalah Galla Malelleng, bertugas mengurus pajak perikanan, Puto Mangga’, Galla Anjuru, Galla ganta, Galla bantalang, Galla Sapa, Tau Limaiyya, Bali Ada’, Panre Bassi, Lombo Karaeng, dan Abborong Ada.

Pada saat Pertemuan dengan rombongan hanya Galla Puto yang banyak memberi informasi terkait pertanyaan-pertanyaan kami, setiap pertanyaan yang dijawab oleh Ammatowa yang akrab disapa Bohe dan Galla Puto, semakin kami larut dalam kehidupan adat Kajang dan selalu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang akan menelusuri lebih jauh lorong-lorong kehidupan masyarakat Kajang yang sangat bersahaya itu tetapi penuh makna.

Informasi baru yang kami dengar beberapa pihak sudah menyampaikan keinginannya untuk  berkunjung ke sana, bahkan Presiden Jokowi sendiri berencana juga berkunjung ke tempat tersebut.  Apa sesungguhnya yang menarik di Masyarakat Adat Kajang sehingga banyak pihak yang mau berkunjung termasuk Presiden RI Joko Widodo. Apa keunggulan dan keunikan apa yang dimiliki secara spesifik sehingga banyak pihak yang berminat mengunjunginya.

Masyarakat Kajang dan Tinjauan Teori Antropologi

Beberapa teori Antropologi yang kemungkinan relevan dari situasi kehidupan masyarakat adat Kajang adalah sebagai berikut;

Kebudayaan berfungsi sebagai mekanisme pengaturan adaptasi yang menyatukan individu ke dalam struktur social, yang dikenal teori struktural fungsionalnya Racliffe Brown. Teori ini menjelaskan tentang bagaimana pihak luar ketika memasuki suatu tempat yang berbeda dengan aturan adat yang dimilikinya, maka harus melakukan adaptasi terhadap aturan adat yang dikunjunginya.

Hal ini dilakukan untuk menciptakan keharmonisan kehidupan dimana pihak yang akan menerima mendapat penghormatan dan perlakukan sopan santun dari pihak yang mendatangi. Sebagai tamu seyogyanya menyesuaikan diri dengan kondisi atau adat istiadat bagi pihak tuan rumah yang hendak didatanginya. Bahan Kuliah Konsep-Konsep Kebudayaan, Prof. Supriadi hamdat,2012.

Sedangkan Kuntjaraningrat mengatakan bahwa keseluruhan dari kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan yang didapatnya dari belajar yang kesemuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat, dikenal sebagai teori behavior. Menurut pandangan teori ini mengatakan bahwa salah satu yang menyebabkan manusia melakukan suatu tindakan adalah melihat dari tindakan manusia lain yang membentuk lingkungan kehidupannya.

Sementara itu menurut Parsudi Suparlan, Kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan (kognisi) yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang dapat dijadikan sebagai alat untuk menginterpretasi dan mengolah alam lingkungan dimana manusia hidup. Teori ini dikenal sebagai teori kognitifnya Bapak Parsudi Suparlan.

Daerah Hukum Adat, “ atau rechstkring dalam bahasa Belanda, merupakan suatu konsep penting yang digunakan ahli-ahli Belanda pada zaman colonial dalam mendekati fenomena keragaman masyarakat dan budaya Indonesia. Konsep ini diusulkan oleh seorang ahli hukum Belanda, Van Vallonhoven, pada 1918 (Ter Haar, 1963). Daerah Hukum Adat” adalah sebuah kesatuan “ geografi-kultural”. Klasifikasi tipologi komunitas desa di Indonesia. Antropologi  dan kebijakan Publik, Amri Marzali, 2012: Hal.42.

Pasang Ri Kajang

Pasang ri Kajang atau pesan di tanah Kajang merupakan pesan leluhur yang sampai hari ini terpelihara baik dalam kehidupan masyarakat adat kajang. Pasang ri kajang digunakan oleh masyarakat adat kajang dalam melestarikan    dalam mempertahankan nilai-nilai budayanya hingga saat ini. Setiap individu sejak kecil, dibekali nilai-nilai budaya melalui enkulturasi (pembiasaan), sehingga konsep dan gagasan yang tertuang  dalam Pasang terpatri dalam pikiran dan kognisi (cultural knowledge) mereka[1].

Selain itu, Pasang Ri Kajang masih dijadikan sebagai pedoman dan sumber hukum adat yang tetap dianut dan diyakini sampai saat ini. Umumnya berisi ajakan, larangan, dan pandangan-pandangan hidup bagi penganutnya. Oleh karena itu  Pasang Ri kajang disebutkan bahwa:

(Manna kodi, pasang tonji la’bi, la’bi hajji’a. Mingka nakodia nipa’pa-sangangngi jako gaukangngi). Artinya sekalipun buruk Pasang (pesan), tetap juga lebih baik, karena mengandung larangan melakukan hal yang buruk. [2]

Beberapa pasang yang mereka anut sampai hari ini terkait pengetahuan lokal (local knowlwdge)  khususnya terkait pengelolaan lingkungan hidup adalah:

“Punna nitabbangngi kajua ri boronga, angngurangi bosi, appaka anre timbusu” artinya; Menebang pohon di hutan berarti mengurangi hujan dan menghilangkan mata air”.

Sedangkan larangan dalam bentuk pasang tertuang seperti berikut ini; “Punna nitabbangngi kajua, nipappinrangngangngi, nasaba angngurangi borong, appakanre timbusu ere’, nakuwa turiolowa” artinya penebangan pepohonan dilarang karena dapat mengurangi hujan dan memghilangkan sumber mata air, sebagaimana pesan leluhur kita.

Dalam menjaga kelestarian alam ini mereka betul-betul patuh karena akan berkonsekuensi pada kehidupan mereka, antara pasang yang satu dengan pasang yang lain saling terkait. Baik antara Pasang yang sifatnya sebagai pengetahuan lokal maupun yang terkait larangan.  Misalnya Pasang terkait larangan melukai bumi. Karena Bumi ini mereka ibaratkan sebagai Ibu, kemudian pepohanan mereka ibaratkan sebagai pakaian yang berfungsi melindungi, sehingga di Kajang tidak ada sumur galian, semua sumber air berasal dari mata air yang mengalir dari sela-sela batu dan pepohonan. Sehingga dua sumur yang ada, airnya masih terus mengalir sejak dulu sampai hari ini.

Jika mereka merusak pepohonan di dalam hutan maka  konsekuensinya adalah sumberair akan semakin berkurang, yang otomatis mempengaruhi jumlah air yang tersedia untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Apalagi populasi mereka dari tahun ke tahun bertambah pula. Sehingga satu-satunya jalan adalah mereka harus menjaga peppohonan dalam hutan tersebut sebagai sumber mata air. Oleh karenanya tidak ada jalan lain kecuali mereka harus patuh pada Pasang, wajar jika sanksinya juga berat jika mereka melakukan pelanggaran berat karena akan berkonsekuensi pada kehidupan masyarakat kajang secara kolektif.

Satu saja sumber air yang berkurang debit airnya, maka akan mempengaruhi juga kehidupan  masyarakat Kajang   secara keseluruhan.

Pasang ri Kajang dalam Perspektif Teori Antropologi

Pasang mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat adat kajang, ada Pasang yang sifatnya sebagai pengetahuan lokal, ada juga pasang  sifatnya sebagai larangan.

Secara umum pasang mengatur tentang hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan Tuhan Maha pencipta (Tau Rie A’ra’na).

Sejak lahir sampai meninggal, semua diatur dalam pasang. Sehingga seluruh tindakan masyarakat hukum adat kajang didasarkan oleh pasang. Meskipun Pasang itu sendiri diwariskan secara turun temurun secara lisan, tetapi sampai hari ini tetap terpelihara baik. Bahkan  jika ada warga yang melakukan pelanggaran maka mereka mendapatkan sanksi. Ada beberapa sanksi yang diberlakukan dalam kehidupan masyarakat kajang[3].

Pokko Babbala, Jika ada salah seorang warga yang melakukan pelanggaran berat, maka dikenakan hukuman berat dengan cambokan pada bagian bawah cambuk atau denda 12 real setara 12 juta rupiah.

Tangnga Babbala, Jika salah seorang melakukan pelanggaran sedang maka diberi cambuk pada bagian tengah, atau denda 8 real setara 8 Juta Rupiah.

Cappa Babbala, jika salah seorang warga melakukan pelanggaran ringan maka cukup mendapat cambuk pada bagian ujung cambuk atau mendapat denda 6 real setara 6 Juta Rupiah.

Sebagai pemimpin adat tertinggi yang mengatur kehidupan masyarakat adat dipilih Ammatowa (pemimpin adat), biasa juga dipanggil Bohe Amma. Sangat dipercaya sebagai pemegang amanah. Dalam menjalankan fungsinya Beliau dibantu dewan adat yang dikenal ada limaiyya.

Ada dua bentuk ada limaiyya, yang pertama ada limaiyya ritana kekeya, dan ada limaiyya ri tanah loheya.  Keduanya diwakili oleh 5 orang Galla (setingkat perdana menteri) sesuai dengan tugas masing-masing yang ditentukan oleh Pasang Ri Kajang.

Adapun yang membantu Ammatowa selama ini dalam menjalankan Beberapa Galla yang ada seperti Galla Kajang termasuk Ada’ Tana (pemangku adat) menjalankan fungsinya di bidang hukum. Galla Pantama, menjabat sebagai kepala Desa Possitana. Ia jarang dalam hal ritual seperti akkattere (Aqikah), Anynyuru  Borong (pemilihan dan pelantikan Ammatowa).

Galla Puto termasuk Ada’ Tana (pemangku Adat) di bidang diplomat, ia bicara sebagai juru bicara ammatowa. Galla Lombo, bertugas mengurus masalah pemerintahan adat di daerah kekuasaan Ammatowa.

Galla Lombo juga bertugas di bidang pelestarian hutan keramat (Borong Karama) seluars 300 ha. Atau sekitar 90 % dari seluruh hutan adat yang berada di wilayah Galla Lombo ( Desa tanatowa). Serta Galla lainnya yang memiliki peran dan tugas masing-masing.

Dalam perspektif antropologi, Pasang yang sifatnya sebagai pengetahuan lokal menjadi dasar mereka melakukan tindakan sebagai wujud kebudayaan, merupakan hal yang sama padangannya dengan antropolog yang menjadikan pengetahuan (kognisi) sebagai  dasar melakukan tindakan atau perilaku.

Seperti perspektif Marsudi Suparlan yang mengatakan bahwa Kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan (kognisi) yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk social yang dapat dijadikan sebagai alat untuk menginterpretasi dan mengolah alam lingkungan dimana manusia hidup. Teori tersebut dikenal sebagai teori kognitifnya Bapak Parsudi Suparlan.

Sementara tindakan masyarakat Kajang yang didasarkan struktur fungsi dalam kehidupan social yang diatur oleh Ammatowa sebagai pemmpin tertinggi yang dibantu oleh para Galla sebagai perdana meneteri sangat sejalan dengan teori struktur fungsional R. Brown, hal tersebut dapat menjadi rujukan dalam mengenal karakteristik masyarakat adat Kajang dimana struktur fungsi dalam organisasi masyarakat hukum adat Kajang dijalankan.

Mereka tunduk pada Pasang ri Kajang, yang diawasi implementasinya oleh pemimpin adat tertinggi (Ammatowa) dengan dewan adat atau ada limaiyya. Mereka patuh menjalankannya karena ada sanksi jika melanggar Pasang tersebut.

Selain itu setiap orang yang datang ke kawasan adat Kajang, maka mau tidak mau mereka harus menyesuaikan diri dengan aturan dan mekanisme yang ada di Kawasan adat Kajang (Ilalang Embayya).

Lestarinya kehidupan masyarakat adat kajang karena diikat oleh Pasang ri Kajang secara turun temurun, sampai hari ini. Seluruh aspek kehidupan diatur mulai lahir hidup di dunia (lino) sampai meninggal dunia menuju kehidupan abadi (ahera).

Kesimpulan

Kepatuhan masyarakat adat kajang terhadap Pasang yang secara turun temurun dalam seluruh dimensi kehidupannya menandakan bahwa masyarakat adat kajang meyakini dengan kepatuhan tersebut mereka bisa selamat di kehidupan dunia maupun akherat.

Karena seluruh aspek kehidupan baik material maupun spiritual selalu berlandaskan pada nilai-nilai keselamatan. Konsistensi memilih hidup bersahaya bukan berarti mereka tidak memiliki apa-apa. Mereka memiliki hasil hutan, pertanian, peternakan, perikanan, tetapi menggunakannya secukupnya sesuai kebutuhannya. Tidak dalam kondisi hidup berlebih-lebihan meskipun sesungguhnya mereka mampu, tetapi mereka memilih untuk tidak melakukannya. Karena mereka menghindari sikap rakus.

Inti dari kehidupan mereka yang bersumber dari Pasang adalah bagaimana mereka membangun keharmonisan kehidupan dengan sesama manusia, kepada alam lingkungannya dan kepada Sang Maha Pencipta (Tau Ria A’Ra’na) semata-semata untuk mendapatkan kebahagian hidup dunia (lino) dan akherat (ahera).

[1] Lihat Profil Masyarakat Hukum Adat Kajang dan Karangpuang (Pawennari Hijjang, 2012, dkk. hal.36).

[2] Lihat Profil Masyarakat Hukum Adat Kajang dan Karangpuang (Pawennari Hijjang, 2012).

[3]  Hasil wawancara dengan Ammatowa, di rumah adat ammatowa diterjemahkan oleh H. Manyur Embas pada 5 November 2016.