SELAYAR, COMMIT – Sudah lama warga Makassar dimanjakan jeruk Malangke saban bulan. Jeruk yang datang dari jazirah Luwu ini nyaris tiap hari diperjualbelikan di beberapa sudut kota dengan harga spesial bahkan dijual sangat murah pada setiap kilonya.
Sudah berton-ton dijual, di jalan utama kota seperti Pettarani hingga Urip Sumoharjo. Belakangan ini jeruk lainnya datang lagi, Jeruk Bali. Bukan jeruk besar tetapi seukuran Jeruk Malangke tapi lebih terang dan kuning.
Keduanya sangat berbeda dengan jeruk Selayar yang hanya dijumpai dalam beberapa keranjang bambu barang bawaan penumpang dari Kota Benteng di terminal Mallengkeri. Keberadaannya nyaris tak terlihat. Produksi amat terbatas.
Jika jeruk Malangke dalam setahun dapat berbuah dua kali, jeruk Selayar hanya sekali. Tapi soal aroma, jeruk Selayar tidak boleh dipandang sebelah mata. Mesti dua mata.
Jeruk Selayar telah menjadi buah bibir sejak dahulu. Warnanya yang cerah, segar dengan ukuran yang relatif besar seperti jeruk dari luar negeri itu, terlihat sebagai jeruk asli, jeruknya jeruk dengan cita rasa menawan.
Jika jeruk Malangke lazim disuguhkan di café dengan cita rasa juice maka jeruk Selayar, indah ditata dan dicicipi di meja layaknya makanan para raja atau penguasa tempo dulu. Isinya yang padat, bening dengan rasa manis optimum membuatnya layak dikenang dan diceritakan.
Aroma khas jeruk Selayar layak disandingkan dengan jeruk sunkist dari benua seberang yang diminati banyak orang kota itu.
Kesan indah masa lalu, sejarah gemilang yang mulai redup serta cita rasa yang mulai mengkhawatirkan hingga dikeluhkan banyak pihak mesti mendapat perhatian. Setidaknya, pentingnya membaca situasi bagaimana orang-orang di Selayar tetap bertahan, menaruh perhatian pada komoditi mengagumkan ini sebelum senja kelam itu benar-benar tiba.
***
Saat saya mulai rajin ke Selayar pada awal tahun 1996, ada dua komentar sekaligus permintaan dari para sahabat jika saya bilang hendak ke Selayar. Emping atau jeruk!
Emping selalu jadi ole ole saat saya pulang mengunjungi Selayar antara tahun 1997-2003. Saat itu jeruk yang sempat meraja selama tahun 70-an hingga 80-an dianggap sudah mati berdiri. Entah apa penyebabnya.
“Jeruk Selayar nyaris musnah dimangsa penyakit batang,” itu yang kerapa saya dengar. Sejarah indah jeruk dari bumi Tana Doang berangsur sirna digerogoti penyakit tanpa obat, yang oleh orang setempat disebut penyakit tua’ tua’.
Berbeda dengan pohon emping yang masih dijumpai di beberapa daerah ketinggian nan dingin di timur kota Benteng namun jika mengunjungi pasar utama di Selayar, seperti pasar dekat terminal Bonea, mereka tak bisa menampik serbuan emping dari Jawa Timur.
Semakin banyaknya penjual jeruk Selayar di beberapa sudut Kota Benteng saat saya berkunjung pada awal Agustus tahun lalu memberi saya inspirasi untuk melihat bagaimana wujud kebun dan bagaimana tanaman jeruk ini seperti kembali booming di Selayar. Khususnya tahun ini.
***
Dibonceng motor oleh Sultandar, seorang kawan dari Benteng saya menuju kawasan Batangmata Sapo. Kami melewati daerah Onto yang berbukit. Kami melewati ruas jalan selebar empat meter. Kawasan Onto merupakan perkampungan tua. Daerah yang dingin.
Menurut Andi Jamaluddin,Yunus dan Rajab, kisah jeruk Selayar mulai dikenal pada awal tahun 70-an.
Saat itu warga beramai-ramai menanam pohon jeruk yang ukuran buahnya berdiameter 7-9 centimeter saat dipanen. Sempat booming hingga tahun 80-an namun mengalami kemunduran produksi pada tahun 90-an. Saat itu banyak pohon yang mati.
“Ancaman tanaman jeruk di sini adalah penyakit tua’ tua’,” kata Rajab sambil memperlihatkan contoh batang pohon yang basah seperti lem bening.
“Saya juga tidak tahu kenapa disebut tua’ tua’. Mungkin karena bentuknya yang seperti cairan kental putih bening menyerupai tuak,” katanya.
Bagi pak Yunus, pengalaman berkebun jeruk telah dilakoninya sudah belasan tahun. Namun dia tidak mengurusnya dengan rutin. Yunus adalah pegawai pada kantor Bappeda Selayar dan pernah menggaji tenaga kerja di kebunnya.
“Saat itu nilainya berkisar antara Rp. 25 ribu hingga 35 ribu perhari,” kata Yunus. Yunus pernah membayar 16 orang warga setempat untuk membersihkan kebunnya.
Saat saya berkunjung ke kebun Rajab ditemani Andi Jamaluddin dan Yunus, terlihat hampir semua pohon jeruknya sebanyak 30 pohon berbuah lebat. Semuanya berbuah.
Ada yang menarik karena beberapa batang pohon yang berbuah adalah batang yang tumbuh dari akar baru. Batang utama telah dipotong. Mereka memotongnya karena telah digerogoti penyakit tua’ tua’.
“Ini panen yang ke-12 kalinya. Sudah dipetik sekitar 10.200 biji,” kata Rajab. Hasil kebunnya ini dipatok dengan harga Rp. 500 perbuah. Biasanya dia membawanya ke pasar Benteng. Pada jeruk yang besar berdiameter 7 centimeter dapat mengisi lassa atau wadah jeruk dari jalinan kulit bambu hingga sepuluh biji.
“Di sana sudah ada yang menunggunya,” ujarnya. Dia menjual jeruk ke Kota BentengSatu lassa sepuluh biji. Di Benteng, pada awal bulan Agustus, harga perbiji jeruk Selayar masih di kisaran Rp. 700-800 per biji.
Tanaman jeruk Selayar banyak dijumpai di wilayah utara dan selatan pulau. Kawasan utara seperti di daerah ketinggian Onto dan Batangmata, utamanya sekitar kelurahan Batangmata Sapo. Kawasan yang relatif sejuk ini adalah penghasil jeruk Selayar. Seperti yang saat ini saya kunjungi ke kebun Pak Yunus dan Pak Rajab. Mereka adalah dua orang pegawai pemerintah yang lahir dan besar di Batangmata Sapo.
Seperti halnya Yunus, bagi Hamid, kebun jeruk yang mereka manfaatkan saat ini adalah pemberian orang tua mereka.
“Praktis biaya tahunan usaha kebunnya hanya bayar PBB. Tahun ini cuma bayar 11 ribu. Ini dihitung dari luas seperempat hektar,” akunya.
“Sebelum panen kali ini, dia tidak pernah berkunjung ke kebunnya selama dua minggu,” tambahnya.
“Jeruk ini mulai berbunga setelah musim barat selesai, dan buahnya dapat dipanen setelah enam bulan,” imbuhnya.
Menurut Rajab pada tahun 2009 produksi jeruk Selayar sangat kurang. “Di kebun saya saja hanya panen sekitar 4 ribuan buah. Saat itu harganya dijual di kisaran Rp. 400-500. Mungkin karena tahun lalu kurang hujan,” jelasnya.
“Tahun ini berbuah banyak, karena tingginya curah hujan. Tapi curah hujan yang tinggi sepertinya juga berdampak pada rasa jeruk,” kata Hamid yang saat itu ditemani banyak anggota keluarganya di kebun.
Abdul Hamid, 47 tahun, adalah staf pada kantor Kelurahan Batangmata Sapo. Dia mengelola kebun ini dari orang tuanya sejak tahun 92. Hamid tinggal di dekat kantor lurah, tidak jauh dari kolam dekat mesjid. Kebun ini merupakan peninggalan orang tuanya yang bernama Patta Kanang.
“Hamid mengakui ada beberapa yang dia anggap jeruk asli Selayar adapula yang merupakan hasil okulasi. Ada beberapa warga yang sempat mengawinkan jeruk Jeneponto dengan jeruk Selayar,” katanya.
Untuk merawat kebun jeruk seperti penuturan Hamid mestinya harus telaten, saat ditanam lahan sudah harus bersih.
“Orang dulu, selalu pelihara kambing atau kuda di dalam lahan jeruknya,” kata Hamid. Itu sangat membantu membersihkan lahan kebun dari gangguan alang-alang dan semak belukar .
Apa yang dianjurkan oleh penyuluh Perkebunan adalah pentingnya merawat lahan dengan membersihkan lahan, memangkas dahan yang tak perlu dan jika tidak keberatan dapat memangkas batang yang terlalu banyak bunga atau buah muda.
“Mereka bilang, lebih bagus berbuah sedikit tetapi nilai jual besar,” katanya. Dia juga mengatakan bahwa dia sangat terbantu oleh hadirnya penyuluh di kelurahan. Di Kelurahan Batangmata Sapo terdapat pula penyuluh dari orang lokal.
“Dari mereka kami juga dapat informasi tentang jenis pupuk yang bagus untuk jeruk. Hari Sabtu lalu, saya membeli pupuk untuk lahan jeruk seharga 95ribu/50kg,” terang Hamid.
Saat ini banyak praktek sambung samping jeruk yang berbuah cepat seperti yang ditempuh Andi Syamsuddin, di daerah Garassik tidak jauh dari Batangmata Sapo. Di sana ada penyambungan jeruk dan telah berbuah walau pohonnya sangat pendek dan kecil. Harapannya agar senja kala itu bisa dihadang.