Pernikahan Ekologi dan Demokrasi

COMMIT – Muhd. Nur Sangadji, bisa dihubungi di email muhdrezas@yahoo.com, dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako berbagi perspektif dengan kita tentang pernikahan ekologi dan demokrasi. Simak yuk!

***

Beberapa malam lalu, saya diminta menyampaikan sambutan keluarga pada sebuah acara resepsi pernikahan. Kebetulan yang menikah adalah ponakan isteriku. Pasangannya,  anak sahabatku saat kuliah bernama Wismoyo. Prosesi resepsinya sedikit unik dan heroik karena diisi dengan upacara penghormatan ala militer.  Ini karena permaisurinya anggota kepolisian dan prianya ASN alumni Akademi Pemerintahan. Saya menambah  keunikannya dengan sambutan Keluarga bertajuk Ekologi dan Demokrasi. Sesuatu yang mingkin tidak pernah ada dalam acara resepsi pernikahan di manapun. Sambutan Keluarga pernikahan pakai judul. Tajuk Ekologi dan Demokrasi ini, sebenarnya saya ingin menjadikan gerbang untuk menasehati kedua mempelai. Sengaja,  karena pernikahan ini terjadi beberapa bulan sesudah peristiwa ekologi besar berupa bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi. Resepsi malam itu juga bertepatan dengan debat Calon Presiden  dan Wakil Presiden untuk tahap terakhir. Dan, 4 hari lagi akan ada pemilihan umum. Peristiwa demokrasi terbesar di satu negara. Bertemulah dua kejadian besar: Ekologi dan Demokrasi. Lantas, apa hubungannya dengan pernikahan? Pernikahan itu membentuk keluarga baru yang kokoh. Sedangkan,  peristiwa ekologis dirancang Tuhan untuk, agar alam menemukan kestabilan baru yang dinamik secara natural. Sementara Pemilu,  bisa dimaknai sebagai upaya konstitusional guna membentuk kekokohan ideologi, politik, sosial, budaya dan hankamnas satu negara. Lazimnya sebuah peristiwa ekologi, alam memberi contoh tentang interaksi benda di dalamnya. Benda mati (a biotik) yang digetarkan oleh pencipta disambut oleh benda hidup (biotik) dengan prilaku ketahanannya masing masing. Laut yang sedang marah memunculkan performance badai dan ombak. Bahkan tsunami, seperti yang baru saja dialami Palu dan Donggala. Namun, tidak terdengar kabar ada ikan yang jadi korban. Begitu juga dengan badai atau tornado sekalipun. Jarang kita dengar ada burung yang mati karenanya. Entahlah, kalau alam telah lebih dahulu kirim signal ke hati-hatiannya kepada mereka (animal warning system). Ini istilah rekaan saya saja. Akan tetapi,  saya menyaksikan dengan teliti dan dengan tanda tanya. Setiap kali ada getaran gempa saat itu, sebelumnya ayam telah lebih dahulu naik ke pohon. Perilaku yang hanya dilakukannya menjelang magrib dalam keadaan normal. Mereka mengadaptasi peristiwa alam ini dengan instingnya. Manusia yang punya akal, mengantisipasinya dengan alat dan teknologi.  Tapi, sering lalai saat kejadiannya tiba. Alam mengajari kita tentang harmoni dalam keadaan bencana sekalipun. Alam juga beritahu kita tentang kekayaan perbedaan (biodiversity).  Indonesia memiliki perbedaan terbesar pada aspek ini. Karenanya,  digelari “Mega Biodiversity”.  Dia menjadi kuat dan stabil karena komposisi yang berbeda itu secara ekologi. Lalu,  analogi ini saya sandingkan untuk beri sedikit wejangan pada kedua mempelai. Seperti alam raya, rumah tangga juga akan diserang badai dan tsunami kehidupan. Maka, belajarlah dari burung dan ikan. Mereka berdamai dan harmoni dengan cara adaptasi, antisipasi dan mitigasi melalui instingnya. Jadi, manusia dengan akalnya mestinya lebih bisa berdamai dan harmoni, baik dengan alam maupun dengan sesamanya. Ada nasehat Indah dari tanah seberang : “Harmony come from the feeling of understanding. And, the fundamental of understanding is willingness to listen” (Harmoni atau damai datang dari perasaan untuk saling mengerti. Dan, hakekat yang paling dalam dari saling mengerti itu adalah kemauan untuk saling mendengar). Kalimat bijak ini bisa kita panjangkan. Saling mendengar itu lahir dari keinginan untuk saling menghargai akan perbedaan. Inilah yang memunculkan cinta kasih. Saya bilang pada kedua mempelai  untuk saling berkata : “I love you because we are different” (saya mencintaimu karena kita berbeda). Sangat penting, sebab, di buku yang berjudul, “community development : community based alternatives in an age of globalization”, ife (2002) mengingatkan: “It has become clear that the current social, economic, and political order has been unable to meet two of the most basic prerequisites for human civilization: the need for people to be able to live in harmony with their environment and the need for them to live in harmony with each other”. Intinya, Ife menasehati bahwa saat ini, kita terancam oleh dua kegagalan: hidup harmoni dengan alam (ekologi) dan dengan sesama manusia (demokrasi). Dan, karena momentumnya bersamaan dengan pemilu,  saya Ingin  teruskan kalimat-kalimat bijak tersebut kepada kita semua,  warga negeri Indonesia. Tetaplah saling mencintai sebagai anak bangsa,  meskipun kita beda pilihan politik, dalam pencoblosan besok,  17 April 2019. Karena, hanya dengan bagitu, kita tetap kuat sebagai Bangsa berdaulat. Semoga. (*) Editor: K. Azis