Cerita Buol dan Tragedy of the Common

COMMIT – Akademisi Universitas Tadulako, Ir. Muhd. Nur Sangadji, M.Sc, merefleksikan pokok-pokok pikirannya terkait situasi kontemporer dan masa depan Kabupaten Buol. Berikut paparannya.

***

Di paruh akhir bulan Ramadan 2019 ini, saya berkesempatan berjumpa Sofyan Djalil, menteri Agraria dan Tata Ruang. Saya hadir mendampingi Bupati Buol, Rudi Rauf.

Mengapa harus  turut serta? Karena, saya diamanahkan selaku ketua tim penyusun KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). Satu dokumen yang mutlak ada sebagai jaminan keabsahan dokumen perencanaan pembangunan seperti RTRW, RDTR, RPJP, RPJM  dan tematik lainnya.

Begitulah perintah dari sejumlah regulasi, di antaranya, UU 32, 2009, PP 46 2016 dan Permendagri 07, 2017. Semuanya tentang Lingkungan hidup dan KLHS.

Jadi, Menteri Sofyan dalam paparan awal, memberikan pencerahan yang sangat menarik.

Dia menguraikan bagaimana sebuah negara dipicu untuk maju. Dia bilang, negara yang maju umumnya ditunjang kokoh oleh kehadiran corporate (perusahaan). Kecuali di beberapa negara Europa Timur seperti Norwegia dan Swedia. Di negeri negeri ini, beliau menyaksikan sendiri, justru koperasi yang berkembang. Dan, koperasi yang menjadi soko guru ekonomi kita, malah lesu.

Hal lain yang juga sangat menarik adalah uraian tentang terjaganya lingkungan hidup. Dia berpandangan bahwa kawasan yang dikelola perusahaan akan lebih terjaga dibandingkan dengan pengelolaan rakyat (publik).

Maka Bupati Buol membeberkan fakta kebalikannya. Kelapa sawit yang ditanam perusahaan di Buol, justru ditemukan hingga tebing terjal dan bantaran sungai. Sesuatu yang tidak dibolehkan dari aspek kaidah lingkungan.

Sebenarnya, pikiran Menteri ini sudah lama menjadi diskursus dunia. Adalah Garret Hardin yang ikut mendorongnya melalui buku yang berjudul “Tragedy of the Common”.

Dalam buku ini, Hardin mengurai tentang bahayanya penguasaan SDA tanpa kepemilikan atau kepemilikan bersama. Beliau memproduksi kalimat yang sangat terkenal, “Everybody property, no body property”. Bila semua orang merasa memiliki maka tidak ada yang memiliki.

Pikiran Hardin tersebut ikut mendorong privatisasi penguasaan SDA di dunia melalui Corporate. Memang, di sejumlah praktik, terbukti benar namun di balik lingkungan yang terjaga, muncul konflik lain dengan masyarakat lokal berkait, sengketa ruang nafkah mereka. Kasus, Mr. Lucas asal Italia di Pulau Tanjung Keramat Togean dan Waya Masapi di Danau Poso bisa menjadi contoh.

Pikiran Hardin ini disela oleh Elianor Ostrom, penerima hadiah Nobel di bidang Ekonomi tahun 2009.

Dia mengurai tentang pemerintahan dan kepemilikan bersama. Ostrom berpandangan,  asalkan diberdayakan dengan tata kelola yang baik. Penyerahan kepada publik akan lebih baik.

Masyarakat, di manapun, akan punya institusi, sumberdaya dan nilai (ORN, organization, resources and norm). Memberdayakannya, akan punya efek manfaat yang sangat dahsyat. Pemerintah yang cerdas akan hadir di sini untuk ambil peran.

Banyak misal yang bisa ditunjukan bagaimana kebijaksanaan pengelolaan SDA ini oleh komunitas lokal dengan pengetahuan lokalnya (indigenous knowledge).

Justru, kearifan lokal ini hancur atau dihancurkan setelah bersentuhan dengan penguasaan eksternal di luar sistem lokal. Konsesi lahan atas nama pertumbuhan ekonomi adalah bukti paling konkret.

***

Terlepas dari semuanya berkait tata kelola SDA, ada sejumlah hal yang patut diperhatikan.

Pertama, daya dukung lingkungan. Kedua, konflik sosial. Bila, daya dukung lingkungan sudah terlampaui, maka baik perusahaan maupun masyarakat tidak boleh masuk. Inilah daerah yang harus dijaga (conserve) sebagai kawasan lindung (protected area).

Maka, untuk Kabupaten Buol yang didominasi pegunungan, curah hujan tinggi, tektonik merupakan daerah yang berisiko tinggi bila hutannya hancur. Hitungan KLHS mengisyaratkan bahaya serius.

Indeks kawasan lindung hanya 0.53 (idealnya di atas 1). Hampir semua kecamatan terancam krisis air. Hingga, 2032, kabupaten ini tidak mampu menyuplai pangannya sendiri. Nah lho?

Indeks CCR (carrying capacity ratio) lahan basah untuk pangan, kurang dari 0,5 (idealnya di atas 1).  Ini, belum termasuk risiko hancur atau gagalnya tiga bangunan irigasi (suplai air untuk 3000 an Ha sawah) dan kehilangan kekayaan biodiversitas (tidak terhargakan), apa bila hutan masih mau dibuka dalam skala besar (ekstraktif).

Menteri Sofyan yang memiliki banyak pengalaman meretas konflik, menawarkan Win Win Solution (WWS).  Saya berpandangan bahwa, WWS bukan sekadar mempertemukan hubungan antar aktor (pemerintah, perusahaan dan masyarakat).  Tapi juga, antar orientasi pembangunan (pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan Lingkungan hidup). Titik keseimbangannya bernama “Sustainable development”.

Maka, saya mengusulkan, pertama, pihak perusahaan mengoptimalkan kebun sawit yang sekarang mereka miliki, tanpa perlu ekspansi lahan baru lagi.

Kedua, pihak pemda bersinergi guna kelancaran investasi untuk keuntungan bersama. Ketiga, Dinas Kehutanan mengkaji kembali alasan yuridis, teknis hingga ekologis berkait izin pelepasan status hutan.

Keempat, Dinas ATR tidak terburu memproses penerbitan HGU baru, tanpa mendalami aspek ekologis, teknis, sosial dan ekonomi secara memadai.

Secara umum, saya hendak mengusulkan kepada Bupati Buol, Kadis Kehutanan Provinsi, Kanwil ATR, Gubernur, Menteri Kehutanan, Menteri ATR dan Presiden RI, dunia usaha dan rakyat jelata. Mohon selamatkan Buol dan wilayah lain di Indonesia.

“A priori”, semuanya hanya akan tinggal menunggu giliran bencana. Cukuplah sudah, konflik Poso dan bencana Palu menjadi cermin Indonesia hingga kini. Ke depan, kita bangun negeri dengan lebih bijak untuk keselamatan dan kesejahteraan bersama. Aamiin. (*)

Editor: K. Azis