‘Pepper’ dan Produk Ammanagappa yang Dirindukan

SOROWAKO, COMMIT – Saat ini, harga lada atau merica (pepper) sedang bagus, setidaknya jika dibanding ketika harganya rontok ke belasan ribu per kilo saja. Jika mengintip laman Alibaba, bubuk lada hitam diganjar US$ 6 hingga 10 perkilogram. Kalau kurs 14.000 berarti 84 ribu hingga 140 ribu perkilo.

Di pasar Sri Lanka, bubuk kasar ‘bulk’ dihargai hingga 140 ribu/kilo. Jika dalam ton ditaksir seharga antara 14 hingga 24 juta perton dengan minimun order 18 ton.

Lada atau merica adalah komoditas andalan Indonesia meski masih kalah mutu dan kuantitas dari Vietnam.

Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, terdapat 167.615 hektare lahan yang menghasilkan 82.963 ton lada di Indonesia pada 2016. Sementara menurut International Pepper Community, secara total produksi lada dunia tahun 2016 sebanyak 351.700 ton.

Sulawesi Selatan berada di peringkat ketiga dalam jumlah produksi setelah Lampung dan Bangka Belitung.  Luwu Timur adalah salah satu produsen utama di Sulsel.

Menurut penelurusan COMMIT di Luwu Timur, saat ini harga perkilo mencapai 45 hingga 50 ribu per kilo, tergantung kualitasnya.

Itu sebagai gambaran saja. Mari kita ke Wawondula, Kecamatan Towuti, Luwu Timur mengamati bagaimana geliat usaha kecil dan menengah dalam memainkan peranan meningkatkan nilai ekonomi pala.

***

Aneka saset hingga botol isi lada nampak di lemari ruang tamu rumah di Jalan Terong No. 10 Desa Wawondula, Kecamatan Towuti, Luwu Timur. Hari itu, pagi masih muda di bahu Pegunungan Verbeek, Luwu Timur, ketika di ruang tengah rumah Rosalina, tujuh perempuan sibuk mengemas lada ke dalam botol.

Semuanya mengenakan jilbab, terlihat rapi dengan mask dan kaos tangan ketika disambangi Kamaruddin Azis dari Yayasan COMMIT menyambanginya pada Kamis, 15/11.

“Beginilah proses pengemasan lada. Ini mau dikirim ke Makassar. Setelah pengisian ini lalu dimasukkan ke karton, isinya 48 botol,” jelas perempuan bernama Sarinah dengan semangat. Dia berjilbab pink.

Tentang lada TowutiQu (dok: K. Azis)
Tentang lada TowutiQu (dok: K. Azis)

Lada TowutiQu sebagaimana nampak tertulis di spanduk di depan rumah itu adalah produksi Kelompok Ammanagappa, anggota Asosiasi UKM Mutiara Timur dan selama ini didampingi Pemerintah Luwu Timur berserta PT Vale.

“Produk kami ada dua, ada bubuk lada hitam dan lada putih. Tagline-nya, Pedisnya Dirindukan,” jelas Rosalina, perempuan lainnya.

Jika tertarik memesan lada, ucap Rosalina, bisa menghubungi nomor 085142516802 atau datang langsung ke Jl. Terong Wawondula, Towuti, Luwu Timur. Bisa pula melalui email ammanagappa_01@01@live.com.

Bermula dari rumpian

Denyut produktif Lada TowutiQu saat ini bermula dari sekelompok ibu-ibu yang mengorganisir diri dalam tahun 2010 sebagai kelompok pekebun lada. Ketuanya Rosalina, sekretaris Sarinah sementara bendahara bernama Yani.

“Kami mengelola kebun sendiri, membentuk kelompok setelah menyadarai bahwa harga lada sangat tidak pasti. Tidak stabil. Jadi alasan berkelompok agar ada nilai tambah pada lada,” jelas Rosalina (40) yang biasa disapa Ros ini.

“Ibu-ibu awalnya pada ngerumpi pagi. Mereka mengaku waktu terbuang. Ketika anak-anak sudah ke sekolah mereka hanya bisa ngerumpi. Bu, perlu kita tolong cari pekerjaan,” kenang Ros atas permintaan ibu-ibu di sekitar rumahnya.

“Akhirnya begitu yang terlihat tadi, mereka jadi bisa mengisi waktu, memproses lada, mengolah, masukkan di paket, dikirim. Pendapatan bertambah terus meski sarana prasarana pengolahan kami belum lengkap,” imbuh Ros saat ditemui dalam perjalanan menuju Desa Libukan Mandiri, kawasan Mahalona.

Darinya diperoleh informasi bahwa pengiriman lada ke Giant, Alfamidi, Indomaret, Carrefour di area Sulsel baru bermula tahun ini.

“Kita penuhi dulu aspek legalitas sejak tahun 2016. Sampai tahun 2017 kita benahi PIRT, sertifikat halal. Kami beruntung sebab mendapat dukungan dan kemudahan dari Pemda Luwu Timur, dari dinas Koperindag, dari Dinas Kesehatan,” akunya.

Proses pengolahan

Idealnya, untuk pengolahan lada putih atau lada hitam diperlukan beragam alat bantu seperti mesin penghalus, oven pembuat steril, bebas bakteri, perlu pula alat pengelupas.

“Perlu mesin perontok, merontokkan lada dari tangkainya,” jelas Ros.

Setelah itu, jelas Rosalina, lalu dikupas dari daging, kalau mau dijadikan lada putih perlu alat cuci dan di-oven di suhu tertentu kemudian digiling, diayak.

Suasana di pengolahan lada UKM (dok: K. Azis)
Suasana di pengolahan lada UKM (dok: K. Azis)

“Kita perlu mesin kemasan. Ada dua tipe untuk lada saset dan dimasukkan ke botol,” tambahnya.

“Persoalan kita kadang kalau lagi butuh banyak botol, harga dipermainkan pedagang besar. Kalau saset tak seberapa, yang botol ini yang mahal,” tambahnya lagi.

“Kita tak bisa penuhi order 10 ribu botol lada ke Timika, Papua karena keterbatasan botol,” imbuhnya.

Saat ini TowutiQu atas dampingan Asosiasi UKM Mutiara Timur dan COMMIT, sebagaimana pengakuan Rosalina, mencoba naik ke pasar nasional.

“Salah satu syaratnya adalah harus punya keterangan BP POM, supaya punya produksi standar nasional,” ungkapnya.

Kedua lembaga yang disebutkan sebelumnya diharapkan dapat memberi dukungan untuk kesiapan manajerial dan pendampingan teknis.

“Masih panjang jalan ke sana, kita masih butuh banyak dukungan stakehoder,” lanjutnya.

Disuplai lada sekitar

Produksi dan suplai merica dari Towuti tetap terjaga meski harga belum sepenuhnya stabil.

“Saat ini lada amat melimpah, harga pernah sampai 100 ribu tetapi pernah drop hingga 18 ribu perkilo, sekarang lumayan bertahan di harga 45 hingga 50-an ribu/kilo,” kata Faizal, fasilitator pendamping Pengembangan Kawasan dan Pemberdayaan Masyarakat, yang saat ini sedang dijalankan di empat kecamatan yaitu Nuha, Towuti, Malili dan Wasuponda.

“Suplai lada ke kami datang dari kebun anggota dan kebun warga dari sekitar desa Baruga, Lioka, Asuli, Timampu hingga Pekaloa,” tambah Rosa.

“Skala Kecamatan Towuti lumayanlah, tugas kita membantu mendongrak harga, lebih tinggi dari harga pengepul karena kita beri sentuhan nilai tambah,” lanjutnya.

Untuk mempromosikan produknya, Ammanagappa bersama Pemerintah Kabupaten Luwu Timur pernah ikut pameran dagang terbesar di Indonesia berskala dunia, Trade Expo Indonesia (TEI) 2018 yang digelar di ICE BSD (Indonesia Convention and Exhebition Bumi Serpong Damai) dalam bulan Oktober 2018.

Rosa senang sebab saat ini anggota kelompoknya dapat merasakan manfaat ekonomi meski menurutnya belum seberapa.

“Selama ini kan tidak ada aktivitas ekonomi, bergantung pada pendapatan suami. Sekarang perorang bisa dapat sekitar 1 sampai 1,5 juta perbulan,” sebutnya.

Menurut Ros, jika sedang normal dimana semua karyawan berkerja 8 jam, bisa menghasilkan 50 karton perhari kali atau kalau dikali 48 botol per karton sama dengan 2400 botol perhari.

“Kalau dikali 25 hari kerja sama dengan 60 ribu botol perbulan. Ini target minimal,” imbuh Ros.

“Penjualan kami di Galeri UKM Mutiara Timur dan Koperasi Vale laris. Alhamdulilllah, harga kami kompetitif, di Alfamidi setahuku 20 ribu perbotol setelah dihitung pajak,”  pungkas Rosalina yang juga bergelar Sarjana Teknik Kimia dari Jurusan Teknologi Industri Universitas Muslim Indonesia, Makassar ini. (KAS)