Galesong Raya dan Isu Perebutan Ruang

Galesong, COMMIT. Runtuhnya peradaban dunia bermula dari kesewenang-wenangan. Bermula dari melemahnya daya dukung sumber daya alam dan manusia, dari melemahnya kerjasama sosial serta tidak adanya leadership dan koordinasi dalam menjawab tantangan perubahan zaman.

Terkait itu, Kamaruddin Azis menuliskan telisiknya pada situasi kampung halamannya yang bernama Galesong. Dia menyebutnya Galesong Raya. Berikut tulisannya.

***

Sejarah runtuhnya kebudayaan besar dunia berawal dari konflik pemanfaatan sumber daya, perebutan ruang dan keserakahan serta bencana alam.

Itu pula yang menjadi alasan mengapa banyak pihak menganjurkan perlunya para pemangku kepentingan untuk melihat kembali realitas mereka dan mengambil peran. Bagaimana mereka dan lingkungan menapak waktu, dalam mengelola hutan, tanah dan air.

“Sampai kapan sumber daya itu tetap tersedia sehingga harapan bertahan dan berkembang tetap terjaga. Meski mesin-mesin pembangunan juga terus berderap?”

Pertanyaan tersebut dikemukakan ketika melihat suasana kawasan Galesong Raya hari ini.

Tidak bisa dipungkiri, kawasan yang terdiri dari tiga kecamatan Galesong Utara, Galesong dan Galesong Selatan tersebut kini kian menggeliat dan seperti kemaruk merasakan lezatnya kue pembangunan sejak tahun 2000-an.

Data penduduk di Galesong Raya tahun 2015 menyebutkan mendekati angka 105 ribu dari total 286 ribu jiwa penduduk Takalar atau 36,7%.  Salah satu pemicunya adalah dibukanya akses Makassar – Galesong Raya via Barombong sejak awal tahun 2000-an. Galesong Raya menjadi daerah baru di selatan Makassar.

Orang-orang berbondong-bondong membuat permukiman, tak hanya Galesong tetapi juga Kecamatan Bajeng, Gowa, di timur.

Daerah yang sebelumnya disebut daerah ‘Texas’ itu, kini semakin bersolek dan menggeliat, tak lagi dijangkau dengan rakit atau harus memutar dari Kota Sungguminasa.

Terbukanya akses tersebut membuat harga tanah melambung tinggi. Yang dulunya hanya 10 juta untuk 10 x 10 meter menjadi 200-an juta. Naik 20 kali lipat. Bahkan ratusan kali jika menyasar di sekitar poros jalur utama.

Ikon ekonomi seperti perumahan, pom bensin, toko swalayan, rumah makan, hingga ruko-ruko bermekaran. Lahan-lahan pertanian dikonversi jadi permukiman, sawah yang selama ini terhampar menguning saban waktu mulai terganti permukiman dan pusat-pusat perbelanjaan.

Singkat kata, dibukanya akses jembatan telah menjadi pemicu menggeliatnya kampung-kampung di sekitar Aeng Towa, Batu-Batu, Sampulungang hingga ke selatan. Memicu meningkatkan tensi pamer kepentingan antar stakeholder.

***

Galesong Raya kini mempunyai kepadatan penduduk maksimum hingga 2500 jiwa kilometer persegi. Bandingkan Takalar secara umum yang hanya 500. Di ketiga kecamatan itu tidak kurang ada 50 ribu wajib pilih.

Pusat-pusat rekreasi seperti permandian tumbuh bak jamur di musim hujan. Tak heran jika tekanan pada lingkungan juga semakin besar.

Permukiman dan wahana permainan yang tumbuh pesat, berdampak pada produksi sampah terutama sampah plastik dan mempengaruhi daya serap tanah pada air.

Lebih dari itu, terjadi perebutan ruang antara kebutuhan permukiman dan lahan pertanian atau perkebunan.

Sungai-sungai yang dulunya masih dalam, kini mengalami sedimentasi, sampah plastik di mana-mana, air sumur dan sumber air kian keruh. Bahaya di depan mata. Orang-orang seperti tidak peduli pada gejala dan dampak buruknya.

Kasus yang marak belakangan ini adalah tontonan tentang bagaimana orang-orang menguras isi pasir laut di beranda Galesong untuk kepentingan membangun Kota Makassar di utara. Beragam persoalan sosial, ekonomi dan lingkungan mengintai di sana.

Belum banyak yang berpikir bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini kondisi Takalar tak mengalami perubahan substantif kecuali dibombardir investasi kecil dan menengah.

Coba tengok. Indeks Pembangunan Manusia-nya masih bertengger di peringkat 20-an di Sulawesi Selatan.

Situasi tersebut akan terus memburuk dan melemahkan jika tak ada kesadaran bersama untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak bestari dan mulai menyiapkan kapasitas yang sesuai dengan tuntutan zaman, dengan pendidikan, dengan memupuk kesadaran sosial.

Berbenah di urusan pendidikan, perbaikan tata kelola kesehatan hingga meningkatkan daya beli untuk barang-barang produktif atau bernilai tambah.

Situasi Galesong Raya bisa jadi sebuah ironi di tengah peluang pengembangan wilayah dan investasi yang kian intens ke sana.

Mengancam sumber daya

Pada ruang dan waktu, kehidupan di Galesong Raya bergantung pada keramahan lahan-lahan perkebunan tanaman jangka pendek dan persawahan. Mulai dari Kampung Bontolanra di utara hingga Bontomarannu di selatan sejak lampau.

Bukan hanya persawahan tetapi geliat usaha kelautan dan perikanan. Kawasan Galesong Raya terkenal sebagai kampung para pemburu ikan, pemancing, purseseine atau gae atau rengge, penangkap kepiting hingga pencari telur ikan terbang. Jumlah nelayan aktif diperkirakan mencapai 30 ribu.

Kampung Beba di Galesong Utara adalah salah satu sentra perikanan dengan pengunjung ribuan perhari. Pembeli datang dari Gowa, Makassar hingga Jeneponto.

Di sepanjang pantainya terdapat ribuan kapal-kapal nelayan. Dari yang hanya 1 atau 3 groston hingga yang 50-an groston sebagai kapal purse seine atau penampung ikan. Mereka merambah Laut Flores hingga Papua Barat.

Di Papua Barat, menurut sumber Dinas Perikanan setempat, dari 400 kapal pencari ikan terbang asal Takalar, sebagian besar berasal dari Galesong Raya meski terkendala oleh aturan baru nelayan antar provinsi. Tanpa kapasitas memadai mereka akan tersisih.

Di bidang pertanian, persawahan membentang dari Bontolanra di utara hingga Bontomarannu di selatan. Ribuan hektar sawah di jalur ini adalah pilar perberasan di Takalar namun terancam oleh pertumbuhan kawasan. Oleh akses jalan raya yang semakin diperlicin dan dipoles layaknya kota.

Tapi yang namanya kota satelit atau berkembang, konsekuensinya selalu ada.

Saat ini luas lahan persawahan semakin berkurang hingga 30% sejak 10 tahun terakhir karena permukiman dan bisnis. Belum lagi ruas sungai yang makin sempit karena sedimentasi sehingga saban tahun banjir kian mudah menggenang permukiman warga.

Di pesisir, abrasi dan sampah rumah tangga jadi persoalan mulai dari Tamalate hingga Boddia di selatan. Tidak ada lagi laut atau pantai bersih karena semakin tidak terkontrolnya produksi sampah dan kelambanan penanganannya.

Jika tak ada upaya antisipasi dari warga, dari kelompok-kelompok masyarakat hingga Pemerintahan Desa dan Kecamatan, maka kelak, akan semakin banyak warga Galesong yang akan nelangsa karena kesulitan akses mata pencaharian. Mereka akan kehilangan sumber pendapatan atau akan tercerabut dari akar sosial budayanya karena tercampakkan oleh modernitas dan industrialisasi.

Masa depan Galesong Raya sungguh sangat mengkhawatirkan jika kita tetap membiarkan proses pembangunan yang serampangan dan menggila. Yang menerabas banyak sendi kehidupan warga desa dan kampung-kampung. Hanya mereka yang antisipatif yang bertahan.

Yang abai dan lupa diri pada kampung halaman hanya menunggu waktu untuk dilumat mesin-mesin perubahan yang tak kenal kompromi.