Ungkapan pahlawan Sam Ratulangi ini sepertinya relevan untuk kita cerna dan hayati. “sitou timou, tumou tou”. Manusia hidup, menghidupkan manusia yang lain.
Pembaca website COMMIT Foundation, salah satu pendiri yayasan ini, Muhd Nur Sangadji, akademisi Universitas Tadulako Palu menuliskan pandangannya tentang apa yang disebut ‘La Premiere Voyage’, atau kekayaan tak kentara. Dia suguhkan itu untuk sahabatnya, yang berulang tahun hari ini, 6 April, yang juga pendiri Yayasan COMMIT, Abdul Halim, di Langara, Konawe Kepulauan, tentu juga kita semua yang mencintai manusia, alam dan semesta isinya.
Bismillah!
Kapal baru tiba jam 22.00 lewat. Kegelisahan pertama terurai. Tapi risiko tertinggal pesawat adalah kegelisahan kedua. Adik-adik mahasiswa datang dengan wajah sedih. Mereka hanya mau bilang kamar sudah tidak ada. Saya bilang, “no problema”. Bergabung di dek bersama rakyat jelata itu, tidak mengapa.
Kita juga perlu merasakan bagaimana susahnya rakyat bepergian. Mereka tidak punya pilihan.
Tiba-tiba sirine ambulans mengaung -ngaung. Ada pasien dirujuk ke Luwuk. Pemandangan ini sudah biasa. Namun, saya menyaksikan perjuangan rakyat di daerah terpencil mencari kesehatan. Tentu, sangat mahal dan susah.
Malam itu, ada dua pasien yang ikut di kapal ini. Tidak ada tempat khusus, karena ini bukan ambulans laut. Kamar telah dibooking habis. Ada agenda kawan-kawan anggota dewan ke Jakarta. Kamar pasti terbatas. Barangkali, tidak semua tertampung. Mungkin ada juga yang tidur berjejer bersama saya di dek. Saya pikir, justru lebih alamiah. Wakil rakyat dan rakyat tidur di fasilitas yang sama.
Itu kesempatan untuk saling dekat dan saling berbagi cerita. Serapan aspirasi yang paling elegan tercipta sempurna.
***
Saya tidur bersampingan dengan pak Cun. Orang Kuandang, Gorontalo. Datang ke Taliabu untuk petik cengkeh di Kecamatan Lede. Beliau harus pulang karena anaknya sakit. Padahal, baru dua minggu bekerja di desa.
Di Kecamatan Lede, banyak kebun cengkeh. Setiap keluarga bisa miliki lebih dari seratusan pohon. Petani tidak punya cukup tenaga untuk memetiknya. Berdatanganlah tenaga kerja dari Gorontalo, Bau Bau, Kendari, Manado dan sekitarnya.
Mereka dihargai 5 ribu Rupiah per liternya. Dalam sehari setiap pemanjat bisa dapat 40 hingga 80 liter. Artinya, uang cash maksimum bisa mencapai 400. Ribu rupiah per hari, atau, kasarnya 12 juta per bulan. Bandingkan dengan ASN golongan IV seperti saya yang mencapai 5 jutaan.
Saya merenung dalam-dalam. Bagaimana bisa terkategori kabupaten tertinggal ? Sementara, rakyatnya mampu membuka lapangan kerja. Dan, memberikan pekerjaan itu pada rakyat lain, dari tiga provinsi lagi?
Biasanya, kita mengandalkan pengusaha besar. Membuka perusahaan dan pabrik untuk menyerap tenaga kerja. Di mana-mana di dunia ini, urusan ini bernama investasi. Didorong oleh pemerintah dengan berbagai privilege, diberi kemudahan agar investor mau datang. Dibentangkan karpet merah agar pengusaha tergoda hadir.
Di Taliabu untuk kasus ini, pemerintah tidak perlu melakukan semua itu. Investor dan atau pengusahanya adalah rakyatnya sendiri. Para petani perkebunan. Di sektor pendidikan ada istilah “peer education”. Dunia Penyuluhan mengenal terminologi, “farmer led farmer”. Intinya adalah menolong sesama. Rakyat menolong rakyat. Sam Ratulangi mewariskan kata bijak, “sitou timou, tumou tou”. Manusia hidup, menghidupkan manusia yang lain.
***
Saya mencari rumusan kalimat yang cocok untuk menggambarkan apa yang saya lihat di Taliabu.
Barangkali, adalah “miskin tapi kaya, atau kaya tapi miskin”. Bila ada diksi “Pengangguran yang tidak Kentara” (disguise unemployment). Maka, di Taliabu berlaku istilah “Kekayaan yang tidak kentara” (disguise luxury). Nyambunglah dengan asumsi tentang potensi yang tersembunyi. Kekayaan biodiversity yang berlimpah.
Ukuran indikator untuk mengukur tugas pemerintahan di seantero dunia ini selalu mengarah pada tiga soal. Mendorong pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja dan menekan pengangguran. Keseluruhannya berujung pada pengentasan kemiskinan dan pencapaian kesejahteraan. Pemerintah disebut sukses bila berhasil membereskan tiga soal tersebut.
Di kasus Kecamatan Lede Taliabu, tugas itu diambil alih oleh rakyat. Saya lalu bertanya, apa insentif yang telah atau perlu diberikan pemerintah? Tentu, kepada kaum tani yang sudah membantu tugas pemerintah ini.? Kasat mata bisa disebut. Bantuan sarana dan prasarana produksi dan pastikan jaminan pasar yang adil dan simetris.
Pertanyaannya, sudah sejauh mana dilakukan? Ini baru satu komoditi bernama cengkih. Bagaimana dengan komoditi yang lain?
***
Pagi itu, penginapan kedatangan tamu dari Jakarta. Satu rombongan dari Kementeri Pertanian (Perkebunan). Mereka datang untuk mengurus kelapa. Ini juga komoditas andalan. Saya berkesempatan cerita panjang dengan salah satu yang paling senior, Mas Heru. Beliau punya banyak pengalaman, mulai dari hutan, kebun hingga garam.
Mas Heru bercerita banyak tentang mengalaman mengadopsi pohon, menzonasi dan menginvestasi hutan buatan. Beliau juga bicara tentang program kemitraan dengan petani di masa orde baru. Pokoknya sangat menarik dan inspiratif. Banyak yang bisa diduplikasi sebagai “best practice”.
Waktu bekerja dengan UNDP untuk program City Development Strategy (CDS) tahun 2002, saya anjurkan pemerintah lokal untuk memburu para tamu hotel. Saya bahkan menggunakan istilah “menculik” para tamu ini untuk kongkow-kongkow. Mengapa.? Sebab, mereka yang datang ini, kaya dengan informasi, agenda dan jaringan (net working). Sayang, kalau disia-siakan. Mungkin bagian infokom bisa dititipi misi ini dalam tupoksinya.
***
Saya ingat cerita tentang Fadel Mahamad saat menjabat Gubernur Gorontalo. Satu saat beliau dengar ada orang asing tetentu, transit di bandara Gorontalo. Gubernur langsung mendatanginya. Pastilah tamu itu kaget, terperanjat dan kagum karena merasa dihargai.
Ujung dari obrolan tidak resmi itu, Gorontalo mendapat bantuan internasional yang sangat besar. Bukan langsung dari tamu asing itu. Tapi, dari jejaring yang dimiliki tamu asing tersebut.
Mengapa bisa terjadi Bro Halim? Bisa, karena orang asing itu telah menjadi promotor (meet maker) informal Pemda Gorontalo ke jejaring profesi dan bisnis beliau. Dan, semuanya dimulai dari langkah yang sangat sederhana.
Tapi, ini baharu mungkin, bila para pemimpin daerahnya visioner dan rendah hati serta mau belajar. Mampu keluar dari zona feodalistik yang biasa melingkupi karakter kepemimpinan “leadership attitude”.
Demikian., bro Halim dan pembaca semua.
Penulis, Muhd Nur Sangadji dapat dihubungi melalui email muhdrezas@yahoo.com
Editor: K. Azis