Bolano, Pada Danau-Danau yang Meronta

Palu, COMMIT – Aziz Gapnal, kontributor COMMIT di Sulawesi Tengah, berbagi cerita tentang sebuah desa di pesisir timur Sulawesi Tengah. Desa yang pernah dikunjunginya dalam tahun 2004-2005. Namanya Desa Bolano, Kecamatan Bolano.

Kepada kita semua, dia menuliskan hasil pembacaannya pada dimensi sumber daya, tata kelola dan kelembagaan yang ada di Bolano.

***

Kecamatan Bolano adalah salah satu Kecamatan yang berada di Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah. Kantor Camat ada di Desa Bolano. Kecamatan ini merupakan hasil pemekaran Kecamatan Bolano Lambunu.

Selain Desa Bolano, ada beberapa desa lainnya, seperti Beringin Jaya, Bolano Barat, Bolano Tengah, Bolano Utara, Lembah Bomban, Sama Bahari hingga Desa Wanamukti Utara. Dari namanya jelas ini merupakan corak lokasi transmigran.

Bolano berasal dari kata Boano (bahasa asli Volano) yang berarti danau. Ada cerita yang menyebut asal mula masyarakat Bolano dari Kampung Lampasio di Toli-Toli. Bahasa Boano/Bolano pun beda dengan bahasa lain di Kecamatan Bolano, maupun di Lambunu, bahasa Bolano mirip bahasa Toli-Toli.

Selain bahasa, pembeda lain tentang Bolano adalah kekhasan danaunya. Sedikitnya ada 5 danau yang berada dalam wilayah Bolano, yang menerima segala laku manusia di sekitarnya, yang menetap dan yang ‘dari atas’.

Satu di antaranya telah kering. Satunya lagi, pinggirannya telah ditanami jagung berubah fungsi. Jagung menjadi alternatif ekonomi yang mengubah parasnya.

Nursayang

Ada satu yang masih berfungsi untuk budidaya ikan dan kadang ditaburi udang, tapi kepemilikannya telah berubah menjadi milik pribadi. Di sini, jelas sekali ketokohan dan kekuatan modal menjadi faktor kunci dalam ‘menguasai’ faktor-faktor produksi.

Danau yang satu telah masuk wilayah transimigrasi – Pemerintah sekali lagi ingin menunjukkan niat baiknya, gagasan perubahan – dan  danau yang satunya lagi jadi area buaya yang kini sedang dalam status sengketa antara masyarakat Bolano dengan pihak BKSDA Sulteng.

Sengketa itu bermula dalam tahun 2005 ketika Pemerintah menetapkan kawasan itu secara sepihak sebagai suaka marga satwa. Mungkin ini yang disebut pendekatan ‘top down’ ya? Dan, di sisi lain, sebagian besar warga merasa tak diikutkan di proses konsultasi.

Salah satu danau yang dimanfaatkan untuk lokasi wisata, pemancingan, adalah Danau Huinting di Bolano Barat.

Di grassroot, tata nilai, jalan kemandirian, kelangsungan hidup, menjadi pilihan bagi masyarakat.

Dua komoditas khas Bolano tetap di sanubari warga, tetap dipertahankan kelestariannya oleh masyarakat Bolano yaitu kepiting bakau  dan hutan sagu. Inilah yang membuat mereka tetap bersatupadu sebagai komunitas.

Kabar baiknya, sesuai dengan catatan sejak datang ke sana di pertengahan tahun 2000-an itu, beberapa ibu eks anggota ‘Credit Union’ Desa Bolano telah menuai sukses.

Saya memperoleh informasi tentang koperasi ini sejak kunjungan 2004 itu, koperasi kredit rupanya masih diminati warga setempat hingga sekarang meski di beberapa tempat hidup segan mati enggan.

Salah seorang warga yang saya kenal bernama Jumriah menangguk sukses dengan menyandarkan hidupnya ke lembaga keuangan itu. Dia telah memiliki kendaraan pribadi roda empat hasil dari berdagang sagu dengan sentuhan manajemen.

Siang itu, saya melihat Nursayang, pengurus CU Bolano sebelumnya yang baru pulang berjualan sayuran di pasar. Dengan berdagang sayur-sayuran, dia berhasil membangun rumah baru yang pembangunannya kini sedang memasuki tahap akhir.

Saya juga mendengar dari Mohan (37), bahwa ibunya kini sudah menjual makanan khas (bahasa Tialo: Labole), penganan berbahan sagu di area perkantoran kabupaten Parigi Moutong.

Jelas bahwa sagu merupakan salah satu fondasi kehidupan masyarakat setempat. Dari sini, urusan ekonomi dan tatanan sosial mereka bersatu padu, pengolahan sagu telah menjadi tradisi masyarakat Bolano yang menjadi alas hidup bersama.

Lantaran itu pula, mereka tak sungkan melakukan moratorium hutan sagu jika dianggap ada yang perlu diwaspadai ke depannya. Moratorium berarti tidak ada pengambilan sagu dan itu dihormati karena masih kuatnya adat istiadat.

O iya, informasi terbaru lainnya yang saya dapat dari Bolano di awal tahun ini, sebagian besar area program percetakan sawah baru beberapa tahun lalu yang disertai pembangunan saluran irigasi, kini ditanami jagung karena memang dasar keahlian masyarakat bolano adalah berkebun bukannya bersawah.

Yang memiriskan, Program Kota Terpadu Mandiri yang digadang-gadang semasa kepemimpinan Cak Imin mendadak diam, bisu, mangkrak. Masyarakat Bolano menolak karena mereka lebih menginginkan perlindungan untuk area perlindungan kepiting bakau.

Begitulah cerita ‘permukaan’ yang saya temukan ketika tandang ke Bolano.

Bolano menunjukkan ke kita tentang daya tahan warga, tentag komunitas yang menggantungkan masa depannya dari alam, dari danau, dari sagu, dari pesisir.

Pada sisi yang lain, kita juga melihat bagaimana pihak luar, Pemerintah, Kementerian, KSDA, tak pernah diam menawarkan gagasan atas nama pembangunan. Diterima atau tidak, berhasil tidaknya, nanti dulu, yang penting jadi program.

___

Penulis: Aziz Gapnal

Editor: Kamaruddin Azis