COMMIT – Amat banyak program pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau yang telah dijalankan tapi belum mencapai tujuan yang diharapkan. Perencanaannya tidak tepat sementara di sisi lain, partisipasi masyarakat kurang, baik dalam proses perencanaan hingga penentuan anggaran. Ini bisa dilihat dari rasa kepemilikan dan tanggung jawab sosial yang rendah.
Kedua, cara atau pendekatan fasilitasi belum mengubah perilaku masyarakat, malah menimbulkan ketergantungan dan merusak sumber daya pesisir dan laut seperti maraknya destructive fishing.
Bantuan pihak luar termasuk dana desa belum mengubah aspek mendasar dalam masyarakat: kapasitas untuk mengubah diri sendiri atas dinamika perubahan eksternalnya. Cara atau metode yang ada tidak berbasis fakta atau realitas dan belum berorientasi pemandirian.
Oleh sebab itu, diperlukan kapasitas terbarukan untuk para fasilitator pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau termasuk menyiapkan fasilitator melalui pelatihan-pelatihan bagi mahasiswa atau fresh graduate, terkait kemampuan observasi, wawancara faktual dan kemampuan memfasilitasi masyarakat untuk mengambil keputusan sendiri.
Demikian tiga kesimpulan webinar ‘Belajar dari Pengalaman Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pulau-pulau di Indonesia’ yang digelar Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) Sulawesi Tenggara, Ikatan Sarjana Kelautan (ISLA) Universitas Haluoleo, Yayasan COMMIT dan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, 15 Agustus 2020.
Ada dua narasumber yaitu Kamaruddin Azis dari Yayasan COMMIT Makassar sekaligus Koordinator Bidang Komunikasi, Organisasi dan Ketenagakerjaan DPP ISKINDO serta Laode Hardiani, fasilitator SAFE Seas DFW Indonesia dan Yayasan Plan International Indonesia yang berbagi cerita tentang pengalaman fasilitasi royek PRAKARSA di pulau-pulau kecil terluar (PPKT).
Tidak kurang 30 orang menghadiri webinar yang dipandu Jawadin, peneliti DFW Indonesia yang juga anggota ISKINDO Sultra.
La Ode Muh Yasir Haya, Ph.D, ketua jrusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UHO kala memberikan sambutan menyebut bahwa partisipasi masyarakat merupakan kunci dalam program pemberdayaan di pesisir dan pulau-pulau.
“Sudah banyak program di pesisir dan pulau tetapi banyak target yang tidak tercapai, ini bisa dikatakan perencanaan tidak tepat,” kata anggota Dewan Pakar ISKINDO ini. Yasir menyebut bahwa sesuai pengalamannya, ada beberapa isu di pesisir dan pulau yang membutuhkan pendekatan, perlu perhatian banyak pihak termasuk mahasiswa dan alumni.
“Rasa kepemilikan masyarakat atas program atau proyek sangat rendah, banyak pula yang trouble,” katanya akademisi yang pernah meneliti isu destructve fishing di Selat Makassar ini.
Dengan webinar ini, Yasir berharap peserta terutama mahasiswa dan alumni UHO dapat berperan serta dalam memfasililtasi pemberdayaan masyarakat.
“Dari 160 sarjana Kelautan UHO, paling hanya 3 sampai 4 orang saja yang aktif dalam progam-program pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau ini atau bekerja di LSM,” sebut jebolan Universitas Hokkaido Jepang ini.
Yasir menyebut hal tersebut perlu ditingkatkan sebab ranah kelautan dan perikanan merupakan bidang yang bisa menjadi arena pengabdian dan kontribusi alumni Kelautan.
Refleksi dari lapangan
Sebagai pembicara pertama, Kamaruddin Azis menggambarkan aneka proyek di pesisir dan pulau-pulau yang diikutinya serta dinamika lapangan saat bekerja di pesisir dan pulau-pulau. Proyek=proyek tersebut umumnya diinsiaisi oleh pihak luar, Pemerintah atau donor, atau kolaboasi dengan swasta. Menggunakan dana hibah atau loan, atau bersumber APBN-APBD.
Dia menyinggung tentang dua ranah perencanaan, teknokratik dan partisipator serta menyatakan perlunya kolaborasi dua aras tersebut.
Kamaruddin menyebut masih banyaknya proyek atau program di pesisir tetapi tidak berfungsi atau operasional. Mulai dari Puskesmas, pasar ikan, pangkalan pendaratan ikan, hingga jalan rusak tanpa perhatian masyarakat untuk memperbaikinya.
“Kenapa masyarakat tidak ikut mengambil tanggung jawab? Karena mereka tidak dilibatkan dalam perencanaan terutama penentuan anggaran. Kalaupun dilibatkan pun, penentuan waktu, lokasi, bukan ditentukan oleh mereka tapi orang proyek,” katanya.
Menurutnya, pelibatan itu harusnya sudah ada sejak awal. Pelibatan itu bisa dimulai dari terlibatnya fasilitator di tengah masyarakat dengan ikut membangun pertemanan dengan masyarakat. Fasilitator harus beradaptasi dengan lingkungan lokasi dampingan.
“Fasilitator bisa membangun pertemanan dan belajar dari keseharian masyarakat, ini butuh keterampilan,” imbuhnya.
Dia pun merefleksikan pendekatan proyek terbaik yang pernah diikutinya yaitu JICA Sulawesi Capacity Development Project (CD Project) dari tahun 2017-2012. Menurutnya, proyek ini menyasar penguatan kapasitas pengambil kebijakan, perencana dan fasilitator masyarakat dengan merujuk ke defenisi pengembangan kapasitas menurut defenisi JICA.
Dia menyebut urgensi kapasitas dan pentingnya belajar dari lapangan dengan mengutip defenisi JICA, 24 Juli 2006 bahwa proses pengembangan kapasitas adalah untuk menangani isu di suatu daerah yang dilakukan pada berbagai level, mulai darii individu, organisasi dan sistem kemasyarakatan secara terpadu.
“Perkuat kapasitas, siapkan ruang kolaborasi, dengan apa? Dengan program pengembangan kapasitas atau capacity development. Untuk apa? Agar mereka, masyarakat bisa menyelesaikan sendiri masalahnya, kalau sudah punya kapasitas, mereka siap berpastisipasi di perencanaan hingga evaluasi,” katanya.
Menurut, jika membaca pengalaman beberapa proyek, ada beberapa hal yang berkaitan dengan proyek, di antaranya waktu proyek yang pendek, keterbatasan dana donor atau pemerintah serta keterbatasan kemampuan keterampilan para fasilitator untuk menjalankan fungsi-fungsi advokasi.
“Tidak akan berhasil pemberdayaan masyarakat jika data dan informasi untuk perencanaan tidak berdasarkan fakta,” tegasnya.
Pengalaman di pulau-pulau kecil terluar
Laode Hardiani, fasilitator DFW Indonesia menyatakan bahwa untuk menjadi fasiliator, terutama proyek Pemerintah seperti PRAKARSA, seorang fasiilitator harus siap dengan kondisi lapangan yang serba terbatas.
Tugas Hardiani pada proyek PRAKARSA tersebut adalah menyiapkan masyarakat agar dapat mengelola fasilitas yang diberikan Pemerintah yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan desalinasi air. Meski mengakui tidak mudah, namun bantuan ini dapat menjadi alternatif pengembangan ekonomi bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau terluar.
“Kita harus beradaptasi dengan keadaan lapangan, dengan fasilitas terbatas. Harus banyak berinteraksi dengan masyarakat. Masyarakat pulau-pulau kecil terluar itu ramah-ramah. Mereka mau menerima kita dengan terbuka,” kata mantan fasilitator untuk Pulau Bras di Supiori, di Samudera Pasifik dan di Pulau Tanimbar, Saumlaki, Maluku Tenggara Barat.
“Kadang kita harus terjebak di lokasi, tinggal beberapa lama karena transportasi tidak ada, tidak ada kapal,” kata fasilitator yang kini tinggal di Bitung, Sulut untuk program advokasi awak kapal perikanan terkait kerja paksa dan human trafficking bidang perikanan ini..
Menurut Hardiani, adaptasi dan gaya pendekatan ke masyarakat sangat penting, sehingga fasilitator harus punya pula kapasitas untuk menjalankan fungsi ‘membangun pertemanan’ itu. Tugasnya saat itu adalah menyosialisasikan tujuan dan mekanisme proyek, mendampingi pengorganisasian pengelola fasilitas dan menambah kapasitas administrasi dan keuangan bagi kelompok.
Bagi Kamaruddin, itu merupakan bagian dari 5 siklus pelatihan fasilitasi masyarakat yang dilatihkan pada beberapa fasilitator masyarakat di JICA CD Project. Pada kelima tahapan ini, fasiltator masyarakat harus paham substansi dan terampil memfasilitasinya.
“Kelima siklus itu adalah pelatihan membangun kemitraan atau partnership building, analisis isu berbasis masyarakat, penyusunan rencana aksi masyarakat, implementasi dan monitoring serta evaluasi dan feedback,” tambah sekretaris eksekutif Yayasan COMMIT ini.
Dengan mengikuti pelatihan yang digelar JICA CD Project saat itu, menurutnya, akan melahirkan fasilitator yang minimal mempunyai tidak kompetensi dasar, kemampuan melakukan observasi, melakukan wawancara faktual yang dicirikan dengan kemampuan menyusun pertanyaan faktual dan kemampuan memfasilitasi proses pengambilan keputusan.
“Tapi yang pokok adalah ajak masyarakat untuk menyiapkan data dan informasi faktual karena ini dasar dalam penyusunan program, lalu pastikan mereka ikut dalam penyusunan anggaran. Pada sisi lain, fasilitator harus mendorong kolaborasi antara apa yang difasilitasinya di level bawah dengan ” tegasnya.
“Pengalaman menjadi calon fasilitator masyarakat di JICA CD project saat itu sangat menarik karena kita dianjurkan datang ke desa, tidak bawa uang, tidak bawa proyek. Masyarakat desa yang diajak untuk membuat proyek sendiri,” akunya.
Pada webinar ini juga disnggung perbedaan pendekatan teknokratis, partisipatoris dan hakikat pemberdayaan masyarakat serta perangkat-perangkat yang diperlukan untuk seorang fasilitator masyarakat termasuk defenisi dasar fasilitasi dan bagaimana memandang masyarakat sebagai pelaku sekaligus obyek perubahan.
Respon peserta
Ada beberapa peserta memberikan tanggapan terkait tips kerja fasilitator saat bekerja di desa. Bagaimana menerapkan pendekatan pada masih adanya praktik destructive fishing seperti di Maluku Utara. Demikian pula sinergi dengan Pemerintah Desa dalam mengelola dana desa.
Paharuddn Doddy, S.T, M.Si, akademisi Politeknik Pertanian Unhas di Pangkep, Sulsel menanggapi diskusi terkait proses pemberdayaan masyarakat.
“Pendekatan apa yang paling pas dilakukan sesuai karakter sosial budaya kita. Apakah pendekatannya mulai awal hingga akhir (pengetahuan, kesadartahuan, kemampuan dan praktik partisipasi), atau berawal dari akhir – partisipasi, timbul kesadartahuan hingga terbangun tanggung jawab – atau ziqzaq kombinasi keduanya, dalam proses diberikan atau dikuatkan yang diperlukan sesuai kebutuhan,” tanyanya.
Hamka Karapesina, pelaku proyek SEA Project Usaid menanggapi proses pendampingan PPKT dan menceritakan betapa praktik destructive fishing masih ada di Maluku Utara.
“Apakah selama melalukan pendampingan di daerah PPKT pernah menemukan problem terkait masyarakat adat yang terisolir? Kalau ada bagaimana kiat dan strategi pemdampingan,” tanyanya.
“Maluku utara itu masih rawan destructive fishing, bagaimana kiat kiat sebagai fasilitator dalam melakukan penyadartahuan ke masyarakat di pulau kecil kecil agar bisa berperan mencegah kegiatan destructive fishing,” tanyanya.
“Salah satu karakteristik masyarakat pesisir dibanding masyarakat pedalaman adalah bersifat terbuka terhadap orang luar. Dampak pandemi Covid-19 ini sedikitnya telah mempengaruhi tatanan dan karakteristik sosial ekonomi masyarakat. Apakah perubahan karakter yang terbuka tersebut juga terjadi pada masyarakat pesisir terhadap fasilitator (orang luar)?” tanggap La Ode Muh Yasir Haya.
Beberapa poin sudah ditanggapi seperti dijelaskan sebelumnya. Khusus untuk isu destructive fishing yang masih ada, menurut Kamaruddin seperti isu yang terus berulang dan sudah lama jadi bahan perbincangan.
“Perlu strategi advokasi sebab kejadian-kejadian seperti destructive fishing melibatkan oknum aparat juga,” katanya.
Meski demikian, Kamaruddin menurut prinsip dasar fasilitasi ala Guru Wada Nobuaki, menyarankan agar isu-isu seperti ini dilihat sebagai bagian dari skenario global tentang industrialiasi, tentang modernisasi, tentang pasar global.
“Tugas kita sebagai fasililitator untuk menyampaikan situasi atau relasi seperti itu, sehingga kita menyiapkan mereka menghadapi segala kemungkinan dari pola seperti itu. Selebihnya, mereka yang putuskan,” imbuhnya.
Terkait betapa pentingnya fasilitasi masyarakat pesisir dan pulau-pulau ini, La Ode Muh Yasir Haya menyampaikan gagasan agar tips, teknik dasar fasilitasi ini dapat diberikan lebih rinci melalui kelas-kelas berikutnya.
“Bagus kalau dibuka kelas-kelas pelatihan fasilitator secara online, kelas basic, advanced dan seterusnya. Sebab tenaga-tenaga muda fresh graduate perlu dilatih,” katanya.