Caccarita LSM Kelautan: Eksistensi, Jejaring dan Urgensi Reposisi Peran

Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia bekerjasama LSM seperti Lembaga Maritim Nusantara (Lemsa), Yayasan Nypah, DFW Indonesia, YBLI Kendari, Blue Forests dan Yayasan COMMIT menggelar bincang daring ‘LSM’ Kelautan. Menggunakan diksi ‘Caccarita’ sebagai singkatan ‘cerita-cerita’, serupa sosodara dari kata saudara-saudara. Acara berlangsung Rabu, 20 Mei 2020 dari pukul 16.30 hingga 20.00 Wita. Berikut laporannya.

Ada apa dengan LSM?

Di tengah kompleksitas agraria hingga pesisir dan ruang laut nasional, berpuluh tahun silam satu persatu organisasi masyarakat sipil lahir. Mereka hadir mengisi ruang-ruang pemberdayaan sosial-ekonomi hingga pembelaan akan nasib lingkungan. Nama-nama seperti Walhi, Kehati hingga belakangan nama Kontras adalah contoh LSM yang tumbuh ini.

Di beberapa provinsi, tumbuh pula jaringan atau forum LSM, termasuk yang berafiliasi pada ceruk isu tertentu seperti jaringan advokasi tambang, pendidikan, pesisir-laut (pela) hingga forum kesehatan.  Sebagai contoh, di Sulawesi Selatan muncul Forum Informasi dan Komunikasi Organisasi non-Pemerintah (FIK-ORNOP) sejak pertengahan tahun 90-an yang diskenariokan jadi ‘jembatan’ sekurangnya 40-an LSM.

Pada tingkat LSM sebagai organisasi bebas, mereka masuk pada beragam isu atau pemihakan, pada isu ekonomi, pemberdayaan nelayan, penguatan kapasitas petani kakao, promosi sanitasi dan kesehatan lingkungan hingga pembelaan ODHA, orang dengan HIV-Aids.

Tahun berganti, waktu berputar, eksistensi LSM ini seperti mendapat ‘ujian dan pujian’ ketika Masa Reformasi. Disebut demikian sebab LSM tumbuh menjamur, tumbuh bak cendawan hingga kemudian memunculkan skeptisisme, apakah mereka sungguh punya nyali visioner atau sekadar memanfaatkan momentum euforia demokrasi. Apakah mereka murni mendorong semangat kemandirian atau hanya manuver politik untuk ‘perayaan dan pengayaan diri sendiri’.

Belakangan, tidak sedikit dari mereka ditemukan hanya menjual isu kemiskinan sebagai penggadai proposal atau agenda-agenda perubahan kepada donor, kepada pemilik modal, kepada perusahaan-perusahaan atau kepada tokoh tertentu melalui CSR atau dana hibah. Tidak perubahan fundamental di tengah komunitas atau pihak yang diwakilinya kecuali disparitas yang langgeng.

Situasi ini semakin memburuk di pertengahan tahun 2000-an ketika miliaran dana mengguyur desa-desa yang selama ini kerontang oleh input pembangunan. Dana desa jadi petunjuk bahwa peran LSM telah bergeser di tengah melimpahnya sumber daya uang di tengah masyarakat desa.

LSM yang selama ini bergerak dari pembuat proposal karena didasari kepedulian pada situasi rentan sosial-ekonomi-ekologi mau tidak mau perlu mengambil sikap: bergeser ke pola partnership pasif, menunggu proyek datang, proaktif, bertahan, atau memilih redup sebelum benar-benar mati.

Melirik LSM Kelautan

Penggambaran di atas menjadi latar diskusi online yang digelar beberapa pekerja LSM Kelautan bertajuk ‘Caccarita LSM Kelautan’ via Zoom, 20 Mei 2020.

Diskusi dihadiri perwakilan Yayasan Konservasi Laut Indonesia, Yayasan COMMIT, Destructive Fishing Watch Indonesia, Lembaga Maritim Nusantara, Yayasan Nypah, YBLI Kendari, Blue Forests dan beberapa praktisi yang pernah atau sedang bekerja pada beberapa LSM internasional seperti TNC, WWF, CI, Rare, hingga CTC.

Kamaruddin Azis, sekretaris eksekutif Yayasan COMMIT yang memantik diskusi menyebutkan bahwa sesungguhnya ada yang menarik bahwa nadi LSM tetap berdenyut. “Saat ini, ada banyak informasi terkait geliat LSM Kelautan, mereka punya media publikasi, penggalangan partisipasi publik mereka eksis di tengah pandemi, tetap berkegiatan,” katanya.

Meski demikian, menurutnya ini terkesan terpolarisasi. “Belum fokus untuk misi perubahan. LSM Kelautan di Sulsel memang masih ada, masih bertahan tetapi pertanyaannya, seberapa kreatif mereka menggalang sumber daya untuk perubahan atau menjadi bagian dalam perbaikan di ruang pesisir, laut, pemberdayaan masyarakat di tengah pandemi atau di situasi normal?” katanya.

Dia coba menghangatkan diskusi dengan mengatakan, “Masih menarikah isu lingkungan (laut) di tengah gempuran isu-isu politik praktis? Apa-apa saja aksi LSM Kelautan di Sulawesi Selatan terhadap pandemi, kegiatan internal dan eksternal (publik)? Isu-isu apa yang menjadi fokus saat ini atau mereka sudah meredup?”

“Lalu, seperti apa gambaran kapasitas aktivis dan LSM Kelautan saat ini. Bagamana kiat berjejaring di tengah pandemi? Seperti apa peluang kerja kolaboratif di pesisir dan laut di tengah pandemi?”

Merefleksi kapasitas dan daya jangkau

Peserta pertemuan itu beragam, ada pejabat eselon di Kemenkomarinves, ada akademisi Universitas Haluoleo Kendari, ada aktivis LSM, anggota Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO), anggota ISLA Unhas, praktisi, tenaga ahli pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga pengusaha atau praktisi bisnis kelautan.

Fachril ‘Ophay’ Muhajir, direktur Nypah berbagi cerita tentang sejarah dan kapasitas organisasinya. Menurutnya Nypah berdiri untuk bisa bekerja pada dua alam, darat dan laut. Berfokus pada riset, survey, pemetaan dan GIS. Dia mengaku belajar dari pendahulu Nypah seperti Ridwan Salim dan Ramlan ‘Junkis’ Jamal terkait GIS. Meski demikian, hal yang disebutnya perlu mendapat perhatian bersama adalah regenerasi organisasi LSM Kelautan.

“Meski bukan hal yang utama tetapi regenerasi perlu mendapat perhatian. Selama ini keaktifan organisasi biasanya saat ada proyek, ada gula ada semut,” kata pria yang aktif di Nypah sejak 2010. “Jadi memang harus ada penggeraknya supaya banyak yang datang. Ini juga sekaligus penggerak organisasi. Hal kedua adalah terkait kondisi keuangan.”

M Rizki Latjindung, pilar Lembaga Maritim Nusantara (Lemsa) saat ini mengakui sejauh ini organisasinya tetap jalan meski memang ada beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian. Terutama kualitas program yang dihasilkan (proposal, implementasi hingga evaluasinya). Lemsa sebagaimana menjadi visi misi organisasinya telah mengambil bagian dalam berbagai program atau kerjasama kelembagaan.

“Kami aktif dalam pelatihan penggunaan drone, ini buah dari jaringan dengan Komunitas Anak-anak Kelautan,” ungkapnya. Komunitas yang dimaksud adalah jejaring mahasiswa dan alumni Kelautan yang mempunyai semangat dan minat yang sama serta terhubung dengan Lemsa.

“Selain itu, kami juga sempat kontak dengan akademisi Politani Pangkep, Pak Paharuddin Doddy dan Pak Yusran (Uccank, Blue Forests) terkait peluang kerjasama pengguaan drone dan isu-isu lainnya,” imbuhnya.

Seperti Ophay, Rizki juga bercerita bahwa di tengah kondisi pandemi seperti ini, kedua lembaga aktif menyusun proposal program untuk dikirim ke beberapa mitra potensial yang bertema Kelautan atau riset dan pemberdayaan masyarakat.

Sementara itu, Adi Zulkarnain, ‘darah muda’ Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia berbagi cerita bahwa selama ini dia aktif menjadi bagian dalam diskusi, sharing antar beberapa LSM seperti dengan Lemsa, dengan Nypah.  Dia juga mengaku sebagai ‘yunior’ sangat banyak belajar dari senior-senior di Kelautan Unhas.

Nirwan Dessibali, Direktur YKL menambahkan bahwa fokus YKL saat ini memang pada pengembangan kapasitas internal dan kemampuan eksternalnya dalam berjejaring sekaligus menghasilkan ide program dan peluang kerjasama.

“Kami memang masih fokus pengembangan kapasitas. Jika terkait ide dan program kami menjadi bagian dalam Program Pesona Pinisi meski terhenti karena pandemi. Ini tidak lagi jalan. Ada juga beberapa usulan program yang masih menunggu kabar dari mitra,” ucapnya terlihat optimis.

Selain itu, Nirwan juga berbagi pengalaman bahwa sejauh ini, di tengah pandemi, telah ada 5 seri diskusi online yang diselenggarakan oleh YKL. Pihaknya juga aktif berjejaring dengan Yayasan Pandu Laut, Marine Science Diving Club (MSDC) Unhas, Unit Selam Kampus Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan termasuk dengan Kemajik FIKP,” tambahnya.

Akhsan Nur Iman dari Yayasan Blue Forests membagikan cerita tentang kiprah organisasi yang lekat dengan pernik mangrove ini. “Seperti ikut kegiatan seminar-seminar nasional dimana salah satu advisor kami, Yusran Nurdin Massa telah hadir sebagai pembicara di sana. Terkait pandemi Covid-19, memang ada beberapa program yang terdampak seperti rencana program di Kubu Raya Kalimantan Barat. Programnya ditunda,” kata pria yang biasa disapa Achank ini.

“Demikian pula PKS atau perjanjian kerjasama denga salah satu pihak di Palembang, ini juga terdampak dalam arti belum dijalankan karena pandemi. Rencananya kerjasama dengan Blue Venture,” ucapnya.

Dari Kendari, Pakar Kelautan Universitas Haluoleo yang juga merupakan alumni Kelautan Unhas angkatan 1992, Dr L. M Yasir Haya angkat bicara. Dia mengaku tetap memantau dinamika LSM terutama bidang Kelautan. “Yayasan Bina Laut Indonesia (YBLI) berdiri tahun 1999 dan pernah kerjasama dengan Proyek IMACS Usaid dalam tahun 2013 tetapi setelah pergi studi di Jepang, kegiatannya nyaris berhenti.

“Kami juga salah satu pendiri Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia,” imbuhnya. DFW adalah salah satu LSM Indonesia yang belakangan ini banyak tampil pada isu-isu praktik IUUF dan Destrictive Fishing serta advokasi isu awak kapal perikanan asing dan dalam negeri.

Koordinator DFW, Mohammad Abdi Suhufan yang ikut dalam Caccarita ini berbagi informasi terkait program DFW dan bagaimana memastikan keberlanjutan program organisasi.

“DFW sejatinya adalah organisasi konsorsium yang ditopang oleh beberapa LSM termasuk YBLI. Hingga kini kegiatan DFW banyak ditopang oleh individu terbaik dari beberapa LSM anggota meski demikian terkait kaderisasi atau regerasi memang ini menjadi isu juga,” kata Abdi.

Terkait peluang agar LSM Kelautan bisa survive di tengah krisis atau non-krisis, menurutnya memang diperlukan ide-ide dalam wujud proposal program.

“Membuat proposal ini juga membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit terutama person yang kapabel dan mampu mengkomunikasikan ke pihak donor dengan baik. Ada satu proyek yang membuka ruang untuk LSM Kelautan bisa ikut di dalamnya yaitu ATSEA 2-UNDP, LSM yang berkonsorsium rasanya bisa menjadikannya pilihan untuk bisa ikut seleksi di proyek ini,” ucapnya.

Pandangan berbeda disampaikan oleh Atjo Alam, sosok yang merupakan Dirketur Agro Marine ini menyebut bahwa salah satu persoalan bagi LSM Kelautan yang ada adalah terkait kelengkapan administrasi yang kurang.  “Banyak LSM kita yang enggan memenuhi ini. Perlu menyiapkan SITU/SIUP dan melapor ke PTSP jika ingin mendapat ruang di program Pemerintah,” ucap atlet bulutangkis ini.

Salah seorang mantan direktur YKL Indonesia, Andi M Ibrahim merespon bagus diskusi tentang LSM Kelautan ini dan menyatakan bahwa memang diperlukan agenda bersama di antara LSM Kelautan. “Perlu membangun budaya, membangun bersama. Ini juga bisa menjadi pintu untuk memastikan agar regenesasi tetap jalan. Ada saling topang,” tegas alumni S2 di Belanda ini.

Menurut pria yang biasa disapa Ibe ini, diperlukan leadership dari yang peduli isu kelautan.

“Ketokohan-ketokohan kelautan terutama yang berpengalaman di proyek, yang bisa mementukan atau memberi referensi konsultan untuk proyek tertentu, lalu mampu memformulasi ‘best practices’ untuk kemudian dibagikan ke pihak-pihak lain terutama jaringan kelautan adalah hal-hal yang bisa terus menerus didorong,” katanya.

Ibe optimis bahwa pengalaman ‘tokoh’ kelautan sejauh ini bisa menjadi rujukan dalam menyusun langkah-langkah membangun kebersamaan itu.

Andi Nurjaya Nurdin, mantan fasilitator pada Lembaga Pengkajian, Pedesaan Pantai dan Masyarakat (LP3M Ujung Pandang, salah satu LSM Kelautan pendahulu di Idonesia mengapresiasi diskusi ini dan menyebut perlunya inisiatif dan keterhubungan antara aktivis LSM. Dia menyarankan agar LSM yang ada bisa mengisi gap dan mengambil peran pada konteks dan aras yang lebih tinggi (nasional).

Dari Kota Ternate, Cahyadi Rasyid, pria yang bekerja di Kemenkomarinves dan baru-baru ini mendapat mandat untuk ‘mengurusi’ budidaya perikanan menyebut bahwa sangat terbuka kesempatan untuk adanya kolaborasi lintas stakeholders.

“Mekanismenya bisa dimulai dari formulasi kebijakan, bagaimana memastikan bahwa kebijakan produksi mencapai 250 persen budidaya bisa ditopang oleh data, oleh informasi dan orang-orang yang meriset langsung ke lapangan. Kami menyusun strategi dan strategi ekstensifikasi budidaya perikanan tetapi tentu ini butuh masukan dari sisi sosial, ekonomi dan lingkungan,” jelasnya.

Misalnya, lanjut Cahyadi, bagaimana memastikan budidaya berjalan tanpa bertolakbelakang dengan isu lingkungan atau kebelanjutan fungsi mangrove di pesisir. “Tidak ada deforestasi di balik ide memperluas budidaya udang hingga 1000 hektar misalnya,” tambahnya.

Dia menyebut bahwa terkait agenda budidaya ini memang salah satu yang perlu diperhatikan adalah carrying capacity lahan. “Ini membutuhkan masukan, kami sudah membangun komunikasi dengan LIPI, BPPT dan BRSDM terkait aspek ini,” lanjut mantan Kabid Budidaya di DKP Morotai Maluku Utara ini.

Update dari lapangan

Diskusi berjalan menarik karena ada update dari lapangan. Ada dua pembicara yang mendapat perhatian penuh saat ini, keduanya Syamsul Bahri yang bekerja di TNCI di Kepulauan Natuna.

Dia ada di Ranai saat mengikuti diskusi ini. Lalu yang kedua, Kasman. Anak muda kelahiran Gowa, jebolan Ilmu Kelautan Unhas ini memasuki tahun keduanya bekerja untuk CTC Coral Triangle Center di Kepulauan Sula. Melanjutkan petualangan seniornya yang sudah lebih dulu merambah riset kelautan seperti Muhammad Syakir Doger, A. Yasser Fauzan, Uya Usman, Ondo, Wawan Mangile hingga Abdi Wunanto Hasan,

“Saya sedang meriset perikanan skala kecil. Fokus pada pelaporan dan manajemen diri. Area kerja kami di WPP 711 dan mengkaji dinamika perikanan pada ukuran kapal 1 hingga 30 GT,” jelas Syamsu Bahri, pria yang biasa disapa Cambang ini.

“Mengapa saya bisa sejauh ini? Salah satunya karena saya belajar aspek keuangan organisasi di Ibu Ocha dan sama Pak Rappunk untuk urusan identifikasi ikan dan terumbu karang,” jelas Cambang yang menangguk canda tawa dari peserta lainnya.

Sementara itu, Kasman menyebut kiprahnya sejauh ini karena dia belajar sejak awal pada beberapa senior di Kelautan Unhas, sejak kuliah dan pasca kuliah. “Saat ini saya sudah di tahun kedua. Saya bekerja sejak awal 2019 karena ada rekomendasi senior Abdi Wunanto Hasan yang lebih dulu kerja di Papua Barat,” katanya.

“Ini manfaat dari jejaring senior,” balasnya saat ditanya bagaimana bisa sampai Bula dan menjadi staf di salah satu organisasi lingkungan laut.

“Posisi saya di Kepulauan Sula, Maluku Utara, sebagai asisten koordintor konservasi laut. Ada beberapa kegiatan yang kami fasilitasi, dimana saya belajar di dalamnya, yaitu konsultasi publik tentang MPA, hingga proses menuju penetapan Menteri. Saya juga menjadi bagian dalam melatih penduduk setempat terkait konservasi dan pemantauan,” paparnya.

Kasman mengaku senang sebab ada banyak bekal keilmuan diperolehnya selama mahasiswa dan berguru pada seniornya seperti terkait Ilmu GIS, pemetaan hingga teknik memfasilitasi pertemuan.

“Saya belajar GIS dari kak Risal di Nypah. Saya belajar bagaimana memfasilitasi pertemuan dari senior. Untuk bisa bekerja seperti ini memang kita perlu bekal banyak keahlian termasuk mengatur pertemuan dan berinteraksi dengan masyarakat,” imbuh anak muda yang mengaku kemungkinan besar akan bertugas di lokasi baru tahun ini untuk bidang biodiversity.

Titik kritis LSM

Andi Yasser Fauzan, sosok yang pernah kerja di TNC mengaku bahwa organisasi seperti LSM berbasis laut memang perlu lebih kreatif sejak awal. “Terkait ungkapan ada gula ada semut, mungkin kurang tepat sebab setahu saya peran NGO tidak selalu pada proyek tetapi bagaimana menciptakan peluang atau mengambil inisiatif pada isu yang belum disentuh secara umum,” katanya.

Yasser juga melihat peran NGO luar sebagai hal yang perlu menjadi cermatan bersama. “Saya lebih melihatnya sebagai bagaimana data diperoleh dan dimanfaatkan. Sejauh ini kita agak keteteran di sini. Ini data untuk siapa? Lalu bukankah pendataan ini adalah keahlian kita semua juga?,” ucapnya retoris.

“Hal ketiga, dari sisi jejaring, LSM Kelautan maupun pribadi-pribadi sudah mantap. Sudah OK. Kita hanya perlu lebih pede, lebih percaya diri saat bertemu pihak lain, berbagi gagasan dan mengartikulasikannya dengan baik,” tambahnya.

“Saya juga ingin menyatakan bahwa praktik dan teori itu penting. Ini berarti bahwa studi, kajian, perlu back up pencapaian akademik juga,” ucapnya. Pandangan kritis juga disampaikan Cikal, dia menyoal eksistensi LSM yang mulai bergeser dan berganti peran strategisnya.

Yusran Nurdin Massa, mantan Direktur YKL dan Blue Forests membaca bahwa yang diperlukan ke depan terkait eksistensi LSM dan dinamikanya adalah perlunya LSM yang ada untuk fokus di isu-isu lokal ketimbang yang makro.

Dia menegaskan perlunya memperkuat basis. basis kerja, basis isu dan basis partnership-nya dengan masyarakat atau pihak-pihak yang menjadi bagian dalam fungsi dan pengembangannya. “Kita memang perlu beradaptasi tetapi perlu pula reposisi peran sebab suasananya sudah berbeda,” sarannya.

Yusran menjelaskan bahwa justifikasi dari reposisi peran itu karena situasi berubah. Pola kerja berubah dan tantangan juga berubah. Menurutnya, pada isu-isu ruang laut dan pesisir, ada baiknya mengisi gap pada agenda kolaborasi. Membangun jejaring atau memfasilitasi isu lokal merupakan prasyarat untuk kemudian dibawa ke wacana kolaborasi ini.  Apa yang disebutkannya ini merupakan pesan bahwa upaya meningkatkan kapasitas LSM (diri dan organisasi) adalah niscaya dan pada saat yang sama saling terhubung dan berbagi pengalaman serta daya kritis.

“Tanpa fasilitasi dan pengalaman bekerja pada isu-isu lokal, kita tidak akan bisa masuk di agenda kolaborasi pembangunan kelautan saat ini dan nanti. Saya kira, pada situasi inilah seharusnya muncul peran LSM-LSM Kelautan itu,” tutupnya.  (*)