Pengamat Ekonomi, Abdul Rahman Farisi: Produksi RTP Sultra Naik tapi Dukungan Regulasi dan Anggaran Belum Optimal

KENDARI – Pada lima tahun terakhir, Rumah Tanggap Perikanan (RTP) Sultra naik lebih dari 2 kali dan produksi sektor perikanan kurang dua kali lipat. Produktivitas RTP menurun diikuti dengan menurunnya kontribusi Kota Kendari dalam produksi Ikan. Pada sisi lain, Kabupaten Buton dan daerah pemekaran seperti Muna Barat, Konkep, Buteng, Butur dan Koltim meningkat tinggi. Produksi RTP dan nilai produksi per rumah tangga serta kontribusi meningkat.

Demikian temuan dan sintesa Abdul Rahman Farisi, S.E, M.Se, pengamat ekonomi terkait geliat ekonomi berbasis kelautan dan perikanan di Sulawesi Tenggara saat mengikuti webinar Potret Pesisir dan Laut Sultra: dari Tata Kelola hingga Penyiapan SDM.

“Penurunan produktivitas ini bisa menjadi indikator bahwa perhatian pemerintah pada sektor perikanan di Sultra belum optimal, yaitu pada efektivtas regulasi dan anggaran,” tegas pria yang akrab disapa ARF ini.

ARF hadir sebagai narasumber bersama Ketua Ikatan Sarjana Kelautan (ISKINDO) Sulawesi Tenggara, Amadhan Takwier, S.Kel, M.Si yang memotret kondisi dan isu pesisir dan laut Sultra, Dr Abdul Manan, akademisi UHO Kendari yang mengelaborasi substansi dan praktik pembangunan Wakatobi yang bertumpu sumber daya kelautan, perikanan dan pariwisata serta Ir Abdul Halim, M.Si, mantan kepala Bappeda Konawe Kepulauan yang bersiap maju sebagai bakal calon Bupati Konawe Kepulauan ini.

Perkuat di pembiayaan

Berdasarkan pembacaan pada data perikanan Sultra antara tahun 213 hingga 2018, ARF menyarankan bahwa untuk mengangkat potensi kelautan dan perikanan Sultra perlu didukung oleh adanya lembaga keuangan. Ini yang perlu mendapat perhatian dan diperkuat dengan regulasi Pemda.

“Pemerintah bisa bersinergi dengan swasta untuk meningkatkan produksi dan nilai ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan Sultra. Lembaga keuangan harus masuk. Terkait harga produk perikanan seperti rumput laut, tidak bisa hanya dibebankan ke nelayan. Perlu input perikanan, perlu lembaga permodalan. Tidak lagi lewat rentenir, ini akan menurunkan cost,” katanya.

Fakta lapangan yang ditemukan ARF terkait dimensi perikanan adalah kapasitas tersedia dan kebutuhan nelayan. “Di Buton, nelayan-nelayan kita menangkap ikan cakalang, ikan tuna dari Laut Banda tapi mereka bilang kami tidak punya kapal besar,” sebut ARF yang mengaku pernah berinteraksi dengan banyak nelayan Buton dan menyerap aspirasi mereka.

“Jadi bagaimana mengoptimalkan sektor perikanan dengan mengoptimalkan lembaga-lembaga nelayan yang ada,” imbuhnya. Menurutnya, untuk menggerakkan ekonomi Sultra yang bertumpu pada kelautan dan perikanan, tidak harus semuanya bertumpu pada dana APBD, jadi ini bisa menjadi salah satu bagian dari perbaikan regulasi atau kebijakan pembangunan terkait pesisir dan pulau-pulau Sultra yang mencapai 651 buah itu.

ARF juga menaruh perhatian pada potensi pertambakan di Sultra, hal yang disebutnya perlu intervensi banyak pihak karena menjadi agenda nasional. Sekurangnya ada 7 kabupaten di Sultra yang disebut sebagai pamasok udang atau bandeng dan telah dikirim keluar daerah.

“KUR (Kredit Usaha Rakyat) sudah masuk sektor perikanan seperti di Jateng dan Kalbar, jadi bagaimana mendorong mereka untuk masuk di usaha-usaha seperti tambak. Bagaimana ini diatur dengan baik,” kata ARF yang mengaku sudah pernah bertemu Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo dan menangkap impresi menteri untuk mengembangkan potensi tambak Sultra ini.

Hal lain yang disampaikannya adalah bagaimana seperti BUMN bisa menjadi bagian dari usaha perikanan, bagaimana BUMN Perikanan bisa menjadi pengangga harga misalnya ketika harga rumput laut drop, mereka bisa intervensi.