Pokok Pikiran Muhd. Nur Sangadji: ‘Sell My Self’

PALU, COMMIT – Muhd. Nur Sangadji, salah seorang pendiri Yayasan COMMIT yang berdomisili di Kota Palu membagikan pokok pikirannya tentang bagaimana kompetensi diri dimanifestasikan di tengah ruang kehidupan. Seperti apa sesungguhnya tantangan ‘produk-produk pengetahuan’ saat digelindingkan di tengah warga. Berikut tulisannya.

***

Dalam sebuah acara talk show yang digelar Komunitas Tangan di Atas (TDA), saya dibuat tercengang. Acara itu menghadirkan para pekerja UMKM sekota Palu. Didesain untuk topik Palu Bangkit. Saya diminta untuk membangun spirit berusaha dari para pegiat UMKM tersebut, pasca bencana Palu.

Tapi,  yang membuat saya  tercengang adalah lahirnya pertanyaan dari salah seorang pengusaha muda ketika itu.

Dia bertanya,  apa usaha atau produk pak Nur Sangadji  yang bisa dijual? Ini kata dia,  penting, supaya bisa dijadikan contoh. Saya sedikit bingung dan panik.  Tapi,  saya menjawab sekenanya.

Sekenanya, karena memang saya tidak mempersiapkan jawabannya. Spontan saya jawab, produk saya adalah diri saya. Dan saya menjualnya. I sell my self. Ya, menjual diri saya.

Nah, sekarang mereka yang tercengang. Tak menyangka itu jawabannya. Selama ini yang ada di benak kita, menjual diri itu amat negatif. Asosiasinya adalah PSK atau pekerja seks komersial.

Padahal menjual diri itu hampir mutlak bagi semua pekerja jasa, bahkan terutama politisi dalam konstestasi. Dan, birokrasi dalam pelayanan publik. Semuanya menyatukan paling kurang tiga hal yang saya sebut ICC (integrity, credibility dan capacity).

Benar,  Integritas, kredibilitas dan kapasitas. Ketiga hal ini menjadi ukuran kualitas individu seseorang. Biasanya rusak, ketika masuk unsur yang ke empat yaitu isi tas. Hal yang terakhir ini identik dengan materi dan pragmatisme. Money politic sebagai contoh kongkretnya.

Menjual diri itu membikin diri kita laku dibeli orang. Laku itu harus identik dengan disenangi,  diakui, dihormati, dipercaya bahkan dirindukan. Semuanya bermakna positif.  Laku juga bisa bermakna negatif. Yaitu, ketika kesenangan yang dibeli atau berbayar.  Kita memaksa orang menyenangi kita dengan membayar mereka.

Banyak produk ditolak orang bukan karena produknya semata. Tapi,  karena individu pemilik atau penjaja produk tersebut tidak disenangi perangainya oleh banyak orang. Mereka menjadi penyebar Info negatif yang paling efektif. Informasinya mengalir deras, maka produk kita pun ditinggalkan orang.

Kalau ada wanita penjaja seks, kita sebut PSK. Lantas, Dosen menjual diri disebut apa.?  Saya bilang pekerja Dosen Komersial (PDK) atau lebih halus dikit kita sebut pekerja Dosen Sukarela (PDS) . Atau, kalau mau keren dikit kita panggil dengan sebutan Volunteer Lecturers Worker (VLW).

Waktu terlibat dalam salah satu proyek JICA (Japan International corporations Agency),  kami memperkenalkan istilah pekerja pengembangan masyarkat,  community development worker, disingkat CD Worker.

Supaya spirit ini terpelihara, kami membangun dan menghimpun diri ke dalam wadah bernama COMMIT (Community Initiative for Transformation), berkedudukan di Makassar-indonesia. Terus aktif berkarya hingga kini.

Karena itu,  mungkin kurang pas disebut pekerja dosen professional.  Sebab yang ini terlalu berkonotasi komersial, mengejar profit melulu. Meskipun profesional itu “eligible to be payed”, layak memperoleh imbalan.  Tapi, volounteer itu,  meskipun layak, dia tidak bersedia menerimanya.

Menjual diri, tapi bayarannya tidak selalu berupa materi. Entahlah.