Kabar Desa: Membaca Denyut Mattiro Bone

Komunitas yang mendiami pesisir Sulawesi Selatan, seperti di pulau-pulau milik Kabupaten Pangkaje’ne Kepulauan tidak bisa dipisahkan dari narasi kelindan sumber daya, tata kelola dan pertarungan adopsi prinsip-prinsip pemanfaatan.

Guru Besar Sosiologi Pertanian Universitas Hasanuddin, Prof. Darmawan Salman dalam bukunya Sosiologi Desa, Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas menyebut desa adalah arena pertarungan setidaknya tiga paradigma melalui teori pada subyek yang bisa dikaji.

Yang pertama adalah teori Marx yang bertumpu pada struktur dan relasi-relasi yang ada, pada penguasaan faktor produksi, tata produksi dan formasinya. Di desa, praktik dan gejala itu bisa ditemukan. Kedua, terkait paham Liberalisme yang mendorong penguasaan pasar sebesar-besarnya oleh individu, bagaimana dimanifestasikan, dipraktikkan, disalurkan.

Yang ketiga adalah teori Foucault yang menekankan semangat ‘politik wacana’ untuk mendorong majunya ‘kekuatan pengetahuan’ sebagai pusat perubahan sebagaimana banyak didorong oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil atau LSM.

Ciri umum desa pesisir

Kembali ke desa atau kepulauan. Pada ruang dan waktu, secara sosiologis, desa pulau juga terbentuk sebagai komunitas, yang menunjukkan daya tahan dan kelihaian berkembang, meniti kehidupan layaknya komunitas lain di daratan utama pulau besar.

Disebut secara sosiologis karena sedari awal, mereka adalah sekelompok warga yang berinteraksi ‘interpersonal’ dan bersepakat memilih pinggawa, papalele, pemimpin, menata kehidupan dengan memanfaatkan ketersediaan sandang pangan, papan dan hamparan sebagai kediaman, sebagai dusun, sebagai desa, sebagai pemerintahan.

Mereka menjadi satu kesatuan, kesatuan hukum. Di desa, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri sebagaimana disebutkan Karto-hadikoesoemo, (1984).

Mereka menjadi desa yang menurut UU No. 6/2014 sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.

Jika menelusuri daya tahan mereka, dapat disebut bahwa mereka punya daya tahan, telah bulat tekad mendiami pesisir, pulau-pulau meski sumber daya terbatas. Air minum tak cukup tersedia karena dalam pulau mereka air begitu payau.

Untuk minum, mereka menampung air hujan, ketika tak hujan, mereka harus ke daratan utama untuk mengambil atau membeli air. Mereka harus berpikir untuk menjamin ketersediaan sumber daya yang vital bagi kehidupan mereka ini.

Secara umum, pada kebutuhan yang lain, karena lahan tak mendukung untuk usaha pertanian dan perkebunan, mereka yang tinggal di pulau-pulau Makassar atau Pangkaje’ne Kepulauan dan sebaran pulau-pulau lainnya di Nusantara, terhubung dengan sumber-sumber pangan seperti daratan utama Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Papua, Maluku.

Masyarakat desa memboyong kayu dari hutan Kalimantan, Papua, Sumatera, dan lain-lain, untuk konstruksi rumah, membuat perahu, buat dermaga, mereka juga membeli beras, garam, terigu, kebutuhan rumah tangga dari pasar-pasar di daratan utama.

Tentu saja, denyut kehidupan mereka tak lepas dari dinamika, perubahan-perubahan dan rencana-rencana. Mereka berproduksi, menangkap ikan-ikan, untuk keluarga, komunitas di desa, dan juga untuk pasar. Mereka juga terhubung dengan aktor-aktor Pemerintahan, ke ibukota kabupaten, ke kecamatan.

Itulah yang disebut Prof Ohama Yutaka, penemu konsep Participatory Local Social Development (PLSD) sebagai pola relasi hubungan individu dan rumah tangga, komunitas, lokal administrasi dan pasar lokal.

Di Sulawesi Selatan, terdapat ribuan desa pesisir dan pulau-pulau, pada lingkungan geografis berpesisir-pulau kecil, juga pada dataran rendah, persawahan, pedalaman hingga dataran tinggi. Mereka membentuk rantai ekonomi dengan berproduksi, mendistribusikan barang dan juga untuk konsumsi.

Mereka, seperti disebutkan di awal tulisan ini, membentuk jalinan sosiologis dengan membentuk struktur, bagi peran atau fungsi, menjalin kerjasama, menghadapi dan mengelola konflik serta merawat interaksi.

Mereka juga mengkerangkakan nilai dan mentaatinya, ada norma, ada praktik pengetahuan dan juga proses belajar setidaknya merekonstruksi kejadian dan tantangan-tantangan yang dihadapi.

Pada alam, mereka mengeksploitasinya, Prof. Darmawan Salman sebagai pertukaran materi-energi-informasi antara sistem sosial dengan lingkungan fisik.

Tentang Mattiro Bone

Dengan membaca alur dan interaksi seperti tersebut di atas, maka tentu akan sangat menarik untuk dibandingkan dengan pulau-pulau atau desa pesisir, seperti Pulau Bontosua, Desa Mattiro Bone yang dikunjungi oleh penulils bulan lalu.

Kepala Desa Mattiro Bone – desa dimana Pulau Bontosua berada, Rusdi (36) menerima dengan hangat di rumah panggung yang sedang dipersiapkan untuk pesta pernikahan adiknya.

Dari Rusdi diperoleh informasi bahwa desa tersebut awalnya merupakan bagian dari satu desa bersama Pulau Sanane, kemudian berpisah. Sanane yang penduduknya lebih banyak dari Bontosua menjadi satu desa, Bontosua juga satu desa, Desa Mattiro Bone. Luasnya disebut 4 hektar dan terdiri dari dua dusun, dusun utara dan selatan.

“Jumlah penduduknya 1090 jiwa, terdiri dari 180 rumah,” kata Supriwandi (38), kepala dusun utara.

Pekerjaan utama penduduk – utama dalam pengertian lebih banyak menghabiskan waktu, adalah nelayan. Sampai di sini disebut bahwa menjadi nelayan adalah profesi untuk bertahan dan berkembang. Jumlahnya mencapai 90 persen. Sebagian lainnya sebagai pedagang, pegawai dan menjual makanan.

Sebagai pekerjaan utama, di Bontosua terdapat sekitar 30 unit perahu purse seine atau gae. Jika ini dikalikan katakanlah 12 orang maka tidak kurang 360 jiwa orang bergantung pada usaha ini.

“Selain itu, ada 97 perahu nelayan cumi, seperti yang kita lihat banyak sandar di tepi pantai,” lanjut Supriwandi yang mengaku orang tuanya berasal dari Tamangura, Galesong Selatan ini.

Sejarah Bontosua menurut warga pertama kali dihuni oleh warga bernama Saddiko. Menurut Haji Dolo, tokoh masyarakat setempat, pulau tersebut dihuni pertama kali tahun 50-an. Saddiko disebut datang dari Maros dan sebelumnya tinggal di Pulau Sanane sekira sejam perjalanan dari Bontosua.

Petang, setelah berbincang dengan Rusdi, penulis menyusuri jalan selebar 2 meter ke selatan.

Perkampungan terlihat padat, letak rumah tak beraturan. Hanya ada beberapa pohon raksasa yang nampak, salah satunya pohon beringin. Ada juga sukun dan ketapang, meski bisa dihitung dengan jari.

“Pohon tak sebanyak dulu, sebab banyak ditebang untuk membangun permukiman,” kata Kahar, pemuda setempat.

Di pantai, belasan perahu dengan lampu menggantung di pucuk tiang setinggi satu meter jadi obyek pemandangan. Inilah perahu yang digunakan mencari cumi tersebut. Di pulau terdapat masjid, yang letaknya selurus dermaga sisi timur. Dermaga tersebut sepanjang 30 meter dengan bentuk huruf T.

Rumah-rumah warga sangat dekat ke pantai, bahkan bersisian dengan bibir lautan. Terlihat pula tanggul yang dimaksudkkan sebagai pencegah abrasi meski di rataan terumbu atau reef flat terdapat pula tanggul bronjong di keempat sisi pulau. Jelas bahwa abrasi menjadi persoalan di pulau ini. Sebagian pulau telah terkikis hebat.

Sejauh ini tak mengapa sebab mereka punya Dana Desa yang bisa digunakan untuk membangun bronjong, membeli batu gunung dan melupakan hasrat purba untuk mencungkil batu karang.

Di atas Bontosua, terdapat puskesmas pembantu, kantor desa berikut ruang pertemuan. Terdapat sekolah SD tanpa SMP. Untuk lanjut SMP, anak-anak harus menyeberang ke Pulau Sanane atau pindah ke pulau lain tetapi sebagian besar tak lanjut. Kalau laki-laki ikut orang tua ke laut, sementara perempuan menunggu jodoh datang.

“Banyak yang kawin muda, istri saya usianya 15 saat kami menikah,” kata Yoga, nelayan setempat.

Yoga menyebut dirinya sebagai orang Makassar, yang berbahasa Makassar. Warga Mattiro Bone menggunakan bahasa Makassar meski asal-usul mereka juga beragam. Sebagian mengaku keturunan Mandar, Bugis Pangkep dan Maros namun dominan dari Makassar dan Takalar, terutama Galesong.

“Pengaruh Makassar dan Galesong sangat kuat di sini. Orang Cambaya, Makassar yang membawa gae (purse seine) tahun 80-an, lalu datang orang Galesong yang membawa gae dan jadi anak buah kapal,” kata Haji Dolo Muin.

Bertumpu di ruang laut

Bontosua tidak bisa dilepaskan dari menggeliatnya usaha perikanan yang menggunakan pukat cincin atau purse seine. Dengan ini pula yang membuat strata sosial menjadi meningkat, berpredikat Haji dan pengusaha yang mampu mempekerjakan belasan orang di atas satu perahu.

Dengan pasar, mereka terhubung dengan Kota Makassar, Pangkep, Maros dan Takalar (Beba, Galesong). Ke Makassar, membeli kebutuhan rumah tangga dan air. Beras, telur, terigu hingga bahan bakar minyak. Mereka menjual ikan ke TPI Rajawali, Paotere dan Beba di Takalar.

“Untuk urusan administrasi, kami ke Pangkaje’ne,” kata Rusdi, Kades Mattirio Bone. Meski menurutnya, warga lebih nyaman dan dekat ke Makassar.

Untuk sekolah, mereka harus puas karena ada SD, meski jik tertarik lanjut ke jenjang SMP mereka harus ke Pulau Sanane atau Balang Lompo.

“Hanya keluarga yang mampu yang bisa menyekolahkan anaknya, ke pulau lain. Kalau setengah-setengah, lebih baik ke laut, jadi nelayan,” kata Yoga, nelayan yang mengaku menikahi istrinya yang berusia 15 tahun, tidak lama setelah tamat SD.

Sebagian besar warga Bontosua mengaku desa bisa berkembang sebegini baik karena bertumpu pada usaha perikanan seperti gae dan sebagai pemancing cumi. Sejak tahun 80-an.

Yang mereka hadapi saat ini adalah situasi yang jauh berbeda dengan tahun 80-an dan 90-an. Warga semakin banyak, rumah-rumah yang semakin memadat, drainase yang rumit, aspek kesehatan yang mengkhawatirkan seperti diare dan muntaber. Terbatasnya MCK dalam rumah menjadi alasan mereka masih jongkok di permukaan air laut – ada bilik di atas laut.

Demikian pula kompetisi di ruang laut, beroperasinya gae sejak tahun 1980-an kini diuji oleh alat tangkap seperti parere atau mini trawl.

“Mereka mengaduk lautan,” kata Haji Dolo (67) yang nampak galau dengan adanya mini trawl itu. Sejauh ini bibit konflik mulai terendus. Beberapa orang mulai berinisiatif untuk melakukan perlawanan pada praktik pemanfaatan seperti yang diperankan Pak Ridwan melalui kelompok konservasi ‘Komando’. Ridwan giat berpatroli atau minimal mengingatkan nelayan untuk tidak melakukan aktivitas merusak lingkungan laut.

Kita bisa menarik simpulan sederhana. Bahwa realitas kehidupan di Pulau Bontosua, Desa Mattiro Bone sangat dipengaruhi oleh ketersediaan ruang, ketersediaan sarana prasarana dasar seperti pendidikan dan kesehatan serta dinamika pemanfaatan sumber daya laut.

Sebagai komunitas, sebagai warga desa, mereka harus mulai memeriksa, pada aspek mana yang bisa mengganggu ketenteraman sosiologis mereka. Jika ada yang merugikan atau membuat ketidakseimbangan kehidupan, harusnya mereka mengambil inisiatif untuk membereskannya.

Ada yang bisa membayangkan situasi Pulau Bontosua, 10 atau 20 tahun ke depan?

Pada kualitas relasi mereka pada aspek administrasi, dengan Kades, Camat hingga Bupati. Pada seberapa mampu mereka mengimbangi perilaku pasar yang sangat liberalistik.

Atau, seberapa mampu mereka bertahan di kompleksitas dan tantangan kehidupan yang semakin bergerak ke poros ‘wacana’ seperti yang banyak didorong organisasi masyarakat sipil itu?

___

(Ditulis oleh Kamaruddin Azis, Sekretaris Eksekutif COMMIT)