Isu Kelautan-Perikanan dan FGD yang Keliru

Wada Nobuaki, guru ‘Meta Fasilitasi’ asal Jepang yang pernah melatih saya di Selong, Lombok Timur, 4 tahun lalu menyatakan bahwa masyarakat yang kuat adalah mereka yang cekatan membaca dan mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi bahkan beratus tahun ke depan.

Oleh sebab itu, seorang pendamping masyarakat, seorang fasilitator, seorang pekerja sosial, perencana, pengambil kebijakan harus mampu menyiapkan masyarakat dengan kemampuan menganalisis gejala-gejala isu di tengah mereka sehingga mampu mengambil tindakan terukur, kreatif dan di atas kaki sendiri.

Salah satu tips-nya adalah ketika berada di tengah masyarakat hindari penggunaan kata-kata sulit, tak familiar dan tidak datang dari lingkungan mereka.

Wada bahkan mengatakan kata ‘pembangunan’ sesungguhnya tidak datang dari dalam komunitas atau masyarakat.

‘Kata itu datang belakangan, ketika agenda industrialiasi atau modernisasi a la Barat yang menggunakan konsep ‘developmentalism’ sebagai kendaraannya, melalui proyek-proyek, melalui banyak agen pembangunan.” bagitu lisannya.

Singkat kata, kami diingatkan untuk tidak menggunakan kata partisipasi, pemberdayaan, sosialisasi, mobilisasi, observasi bahkan FGD atau focus group discussion.

“Kalian bisa menggunakannya kalau di atas naskah kerja perencanaan, di depan mitra atau donor, tapi jangan dengan masyarakat desa sebab mereka tak familiar. Kalian harus mampu menggunakan kata yang paling mudah dimengerti oleh mereka, itu saja,” kurang lebih begitu sarannya.

FGD yang Keliru

Kemarin, 12 Februari 2018, sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengingatkan saya tentang istilah FGD di sela acara pertemuan para pihak, nelayan ex cantrang, pengusaha perikanan, perbankan, KKP, Perindo, Perinus dan masyarakat luas di GMB III KKP.

“Saya lihat kesan birokrasi, kesan seperti FGD itu masih ada terus. Ini bukan forum bisnis tapi seperti forum grup discussion. Bukan itu sebenarnya yang saya inginkan,” katanys.

Susi terlihat kesal sebab forum bisnis yang digagas dua tahun lalu itu tak memberi kemudahan dalam tumbuhnya investasi di sektor kelautan dan perikanan.

“Forum bisnis yang harusnya bisa melakukan transaksi bisnis dan program yang bisa membantu niat kita untuk menggerakkan industri, program pemerintah bisa jadi stimulus, bukan hanya sekedar jadi forum kita bicara atau mendengarkan, tapi do something atau take action,” sebutnya.

Omongan di atas menghantar saya pada kehendak Wada dalam memfasilitasi masyarakat desa secara metodologik, termasuk di pesisir dan pulau-pulau.

Seperti Wada, Susi nampaknya ingin bahwa peserta pertemuan, para pihak terkait industri perikanan untuk memberikan solusi dan melaporkan kemajuan rencana aksi bisnis, jadi ada rencana aksi berikutnya dan dipantau secara teratur.

Menurut Wada, bukti keberhasilan fasilitasi masyarakat desa adalah ketika mereka sendiri yang melakukan pembacaan peristiwa, harus mampu melakukan pembacaan realitas, melakukan pengecekan fakta, menghitung unsur-unsur pembangunan, mendiskusikan gejala, mengidentifikasi persoalan.

“Menyelesaikan persoalan dengan gaya sebagaimana dokter bekerja,” katanya.

Menurut Wada, dokter, bagaimanapun ahlinya selalu melakukan tiga alur ini, mengamati (observe), meraba gejala, bertanya (to ask, to interview) untuk memastikan sejarah penyakit, memastikan sejarah pemanfaatan sumber daya dan apa saja yang telah dilakukan, kapan, di mana, berapa, dengan siapa. Lalu yang ketiga adalah ‘to analyze’.

Analisis, menurut Wada serupa membongkar sebuah telepon genggam yang rusak. Tidak boleh tidak, bongkar!

“Supaya kalian lihat di mana sumber masalahnya, kalau ada yang perlu disolder, solder!, kalau ada yang perlu diganti, ganti!” begitu pengandaiannya.

FGD yang dinginkan Susi adalah bagaimana memberikan solusi pada ruas-ruas persoalan yang ditemui di sepanjang dua tahun terakhir. Bukan FGD sekadar seremoni dan hanya membeberkan keluhan tanpa rencana aksi, pemantauan dan evaluasi.

Terkait pentingnya pemantauan rencana aksi ini, Wada mengambil contoh tentang pengetikan bagaimana proses pengetikan di komputer.

“Kalau ada yang terlihat bermasalah, lakukan backspace. Jangan berlama-lama atau menunggu hingga selesai masa proyek,” begitu katanya.

FGD menurut Susi, seharusnya dikondisikan dekat, akrab, tak berjarak, dan ada kedekatan minat pada pemecahan masalah. Susi ingin pertemuan menjadi produktif, ada solusi dari pelaku usaha, perbankan, BUMN hingga Pemerintah atau regulator atas implementasi peraturan yang sudah dibuat oleh KKP.

“Sampai hari ini, suasananya sampai pagi ini lebih kepada kayak seminar. Seminar sudah banyak. We don’t need seminar anymore. We need to do something,” sodok Susi.

“Kita selesaikan perang melawan illegal fishing. Ikan sudah banyak. Keluhan yang ada orang yang tangkap ikan susah cari pasar,” kata Susi.

Something is not right,” ujar Susi.

Susi mencurahkan isi hatinya terkait persoalan berlarut pemenuhan agenda pembangunan kelautan dan perikanan setelah keberhasilannya menegakkan aturan dan melarang asing untuk menangkap ikan di wilayah Indonesia.

Ke depan

Seperti Wada, nampaknya Susi juga ingin para pemangku kepentingan bisnis, para perencana, pengambil kebijakan lapis berikutnya di KKP, segera mengambil langkah-langkah terukur dalam membaca realitas, persoalan, gejala, menganalisis gap dan menyusun rencana aksi terukur dan menyelsaikan persoalan.

Tak sekadar ‘FGD’ yang dikesankan njlimet, tetapi datang melihat, mendengarkan aspirasi di tingkat lokal, di desa-desa pesisir, di PPI, di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu, di Pulau-Pulau Kecil Terluar, di semesta Kelautan dan Perikanan Indonesia untuk kemudian menggunakan pisau bedah, di manakah gerangan persoalannya.

Dari sambutan Menteri Susi yang menggunakan waktu kurang lebih sejam itu, saya berdiri di sudut ruangan, saya tiba pada tiga kesimpulan instan.

Pertama, kemampuan analitikal dalam mengurai sengkarut di sektor kelautan dan perikanan masih perlu ditingkatkan, seharusnya, masing-masing pihak menyiapkan pisau bedah analisis untuk mendedah kompleksitas isu kelautan dan perikanan nasional.

“Misalnya, jika pangkalan pendaratan ikan di Fandoi Biak tak maju-maju pembangunannya, di manakah gerangan isunya? Jangan-jangan ada soal status tanah? Atau kelangkaan pasokan BBM?”

Pisau kedaulatan telah bekerja dengan baik, pisau yang lain di manakah gerangan berada?

Kedua, ada yang perlu dibereskan di urusan pemantauan, to monitor, memonitong pekerjaan (rencana aksi). Saya khawatir, jika sudah dua tahun tanpa bukti progresif nyata, ada yang tidak beres di fungsi ‘backspace’ komputer para pihak.

“Jika tahu ada sekian ratus kapal ikan asal Pantura di Kepulauan Aru atau Papua sejak lama, sudahkah diantisipasi dengan penyediaan pasokan es, kebutuhan logistik hingga kemudahan perizinan melaut?”

Ketiga, ada harapan tersisa di 18 bulan masa kerja Menteri Susi, (semoga Allah SWT melancarkannya), untuk segera menggiatkan kerja blusukan ke 34 provinsi, mengecek dan mendengarkan apa aspirasi warga pesisir dan pulau-pulau (bukan pejabat semata).

Seperti anjuran Wada, mari segera melakukan pendalaman atas pengalaman usaha mereka, masyarakat, nelayan, pembudidaya, para pihak pada realitas dan isu kelautan dan perikanan itu.

Ingat, ini harus menggunakan metode observasi dan identifikasi fakta lapangan, bukan persepsi atau hanya di selesaikan di belakang meja, hanya demi mengejar cap SPPD. Jadi ketika berlangsung pertemuan atau FGD, semua peserta membawa pengalaman faktual, temuan, capaian, informasi perkembangan atau mungkin isu baru. Bukan misuh-misuh.

Pada saat yang sama, jelilah mendedah persoalan atau isu dengan basis fakta yang ada. Bukan AMSS, Asal Menteri Susi Senang, bukan dengan FGD yang keliru proses dan substansinya.

__

(Kamaruddin Azis, sekretaris eksekutif COMMIT/Blogger Kelautan)