UU Desa dan Kegalauan Yusran Darmawan

Kampanye ICW (foto: DetikNews)
Kampanye ICW (foto: DetikNews)

Setelah menulis bersobek-sobek pengalaman dan telaah, seperti “Sesobek Refleksi Tentang Pelatihan HMI, Sesobek Catatan Bung Karno, Minggu ini, sahabat keren saya Yusran Darmawan menulis tentang ‘Sesobek Kenyataan di Desa-Desa Kita’.

Dia galau setelah membaca betapa UU Desa 6/2014 tak berjalan efektif. Sayapun menulis ini karena merasa berada di koridor yang sama.

Pada mulanya, Undang-Undang Desa diharapkan bisa menumbuhkan kemandirian, membangun kekuatan di desa-desa, juga posisi tawar masyarakat desa atas kota. Pada mulanya, pemberian dana desa diharapkan akan menjadikan desa sebagai kekuatan ekonomi baru. Ternyata, semuanya tak sesederhana itu.  Yusran menulis begitu.

“Desa kehilangan otonomi, sebab tunduk pada sejumlah aturan dan pengawasan yang justru sengaja dibuat orang kota demi meminggirkan orang desa,” tulisnya.

***

Bagi Yusran, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014 sebab desa-desa dilihat sebagai entitas yang otonom. Desa-desa hendak dikuatkan sebab dianggap sebagai kekuatan republik di garda depan. Desa diberi ruang untuk melakukan perencanaan. Desa pun diberi anggaran dana desa untuk mengimplementasikan perencanaan.

Dia merasa realitas di desa di tiga tahun implementasi UU Desa menunjukkan kerumitan dan tak adil bagi warga desa itu sendiri. Orang luarlah yang memperoleh banyak keuntungan, pihak yang disebutnya sebagai ‘orang kota’.

Demi menguatkan argumentasinya, Yusran mengutip curhatan kawannya yang kepala desa.

“…Akibatnya pengelolaan dana desa oleh pemerintah desa dikepung dari berbagai sisi lembaga pengawasan. Mulai dari pengawasan daerah (Inspektora, Saber Pungli oleh Polres, TP4D oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten, pers/wartawan, LSM, dsb). Masih ditambah tim pengawasan dari pusat yang terdiri dari BPKP kepanjangan tangan dari BPK, KPK, Satgas Dana Desa yang dipimpin oleh Mbah Bibit Samat Riyanto (mantan Komisioner KPK).”

Jika yang dimaksud orang kota seperti yang dituliskan di atas seperti orang luar yang mengawasi kinerja entitas desa, seperti organ Pemerintah Daerah, LSM, Kepolisian, Saber Pungli, hingga BPK dan KPK maka sesungguhnya belum mencakup seluruh aktor yang terkait dengan implementasi UU Desa seperti tenaga pendamping, konsultan teknis kabupaten hingga provinisi yang memang bertanggungjawab dalam perencanaan.

Apa yang diutarakan oleh kawan Yusran tersebut sungguh menggetarkan dan bikin keder.

Disebut demikian sebab persoalan memang lebih banyak berkelindan seputar kepala desa. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa ada 110 kasus penyelewengan dana desa dan alokasi dana desa dalam kurun waktu 2016 hingga 10 Agustus 2017.  Terdapat 110 kasus dan pelakunya rata-rata dilakukan kepala desa.

“Dari 139 aktor, 107 di antaranya merupakan kepala desa,” kata peneliti ICW, Egi Primayogha, di kantornya, Kalibata, Jumat (11/8/2017) dikutip dari DetikNews. Dari 110 kasus tersebut, jumlah kerugian negaranya mencapai Rp 30 miliar. Data tersebut ia akui berdasarkan berbagai sumber media hingga data aparat penegak hukum.

Jika membaca laporan ICW tersebut maka sebagian besar merupakan ‘perilaku pribadi’ ketimbang ‘dokumen perencanaan yang buruk’. Perencanaan benar yang salah karena sebagian besar di digelapkan, disalahgunakan.“Ada penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, mark up anggaran, laporan fiktif, pemotongan anggaran, dan suap,” begitu rilis ICW.

Menurut ICW, dari sejumlah bentuk korupsi itu, ada 5 titik rawan korupsi dalam proses pengelolaan dana desa yaitu dari proses perencanaan, proses pertanggungjawaban, monitoring dan evaluasi, pelaksanaan, dan pengadaan barang dan jasa dalam hal penyaluran dan pengelolaan dana desa.

Siapa yang merencanakan?

Yusran menyebut peran orang kota (orang luar) yang telah sedemikian dominan sehingga harapan Pemerintah yang ingin agar pembangunan desa harusnya dibuat mudah justeru kebalikannya. Ada perencanaan yang rumit dan tak merefleksikan hakikat UU Desa.

Sampai di sini, harus ada pertanyaan lanjutan. Bagaimana seharusnya membuatnya mudah? Siapa yang buat mudah? Siapa yang seharusnya membuat rencana? Apakah regulasi dan kebijakan yang dipermudah? Perencanaan dan implementasi yang dibuat mudah?

Atau orang-orang yang terlibat di dalamnya yang harus ‘berpengetahuan, terampil, komit’ dalam memfasilitasi warga desa menggunakan sumber daya desanya? Menurut Yusran, bagi warga desa, jangankan membuat dokumen berisikan rencana, membuat tulisan di layar komputer pun mereka masih kebingungan.

Saya setuju sebagian, sebagian tidak. Kualitas proses perencanaan sesuai dengan kapasitas warga atau aparatur desa, amat berbeda yang di Jawa, Sumatera dengan yang di Sulawesi, Papua, Maluku atau Nusa Tenggara, karenanya tidak bisa digeneralisasi.

Jika membaca struktur perencanaan yang dimaksudkan di UU Desa dan turunannya, ini bisa dimentahkan oleh adanya pendamping desa dan sebagian besar Kepala Desa atau Kepala Kampung yang memang bisa tulis baca.

Kekhawatiran Yusran bisa dipahami tetapi bisa dibereskan jika desa punya fasilitator atau pendamping desa yang cakap, kapabel, atau terlatih dalam mengorganisasi warga desa dalam menyusun perencanaan.

Pada pengertian ini, substansi perencanaan adalah pada bagaimana fasilitator atau pendamping desa memfasilitasi warga mengidentifikasi sumberdaya, perubahan-perubahan terkuantifikasi semisal potensi lahan, luas kebun, jumlah kapal ikan, jumlah dermaga, jarak sawah ke pasar, jumlah rumah tangga dan segala parameter sosial, ekonomi hingga daya dukung ekologi.

Yusran melihat perencanaan bergaya teknokratis yang sedang mengurung desa karenanya perlu pihak yang bisa mempermudah fasilitasi perencanaan dari hulu ke hilir kegiatan dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan gelontoran Dana Desa atau Alokasi Dana Desa saban tahun.

Dia menulis. “Kita sedang menyaksikan satu jurang epistemologis yang cukup lebar. Bagi orang kota, dokumen perencanaan itu harus dibuat sebagai blue print pembangunan. Dokumen itu mewakili rencana yang akan mengubah nasib ratusan warga kampung. Tapi bagi orang desa, rencana itu terlampau kompleks untuk dipahami. Rencana itu disusun oleh orang pintar, yang hanya bisa dipahami oleh orang pintar pula,” tulisnya.

Jika demikian adanya, maka bisa jadi tidak ada guna penempatan pendamping desa yang harus memfasilitasi warga desa membaca potensi sumber dayanya jika tergantikan oleh selera orang lain (kontraktor perencana). Apa gunanya tenaga pendamping desa, hingga konsultan kabupaten, provinsi yang telah menghabiskan triliunan dana Pemerintah untuk gaji dan biaya operasional mereka?

Kenapa rencana itu begitu kompleks di mata Yusran dan kepala desa yang curhat itu?

Faktor penyebab

Berdasarkan hasil penelitian Yayasan COMMIT (2015) kerjasama dengan JICA, dimana penulis ikut di dalamnya, beberapa penyebab tidak efektifnya perencanaan di antaranya; pertama, terbatasnya waktu dalam menyusun perencanaan di tingkat desa.  Tenaga pendamping desa banyak yang telat menempati posnya karena persoalan administrasi.

Kedua, ketika datang dengan waktu terbatas, pendamping akan kesulitan melakukan pembacaan sosial dan mengajak warga melakukan introspeksi diri, organisasi dan lingkungan.  Hal yang penting untuk menyepakati apa isu dan kebutuhan di tingkat desa sebelum menyusun rencana. Apatah lagi kalau memang tidak punya kapasitas (pengetahuan, skill, mental positif) dalam mendorong perubahan berbasis warga desa.

Alasan ketiga adalah banyak tenaga pendamping tidak paham filosofi pendampingan. Mereka lebih dekat ke Pemerintah Desa ketimbang dengan tokoh masyarakat atau masyarakat rentan karena menganggap lebih mempermudah urusan adminstrasi ketimbang berproses dengan warga yang pasti akan rumit dan rentan berkonflik.

Di beberapa desa di Jawa, Sumatera atau Sulawesi memang ada inisiatif perencanaan yang lebih longgar dan akomodatif tetapi bagaimana dengan pulau-pulau jauh seperti di Papua? Maluku? Ada pendamping yang menurut pengakuan kepala kampung tidak datang ke pulau dan hanya bersua di kantor SKPD terkait.

“Tenaga pendamping kampung kadang kesulitan kalau ke pulau, karena harus menunggu kapal perintis,” begitu kata Kepala Kampung Pulau Brass di Papua, William Msen tahun lalu.

Yusran mungkin benar, ketika mengutip telisikan Tania Li di buku Will to Improve (2012), ia menyebut rencana-rencana pembangunan itu sebagai teknikalisasi permasalahan, yakni serangkaian praktik yang menampilkan urusan yang hendak diatur sebagai ranah yang dimengerti, tegas cakupannya hingga mudah diamati unsur-unsur di dalamnya.

Dia ingin mengatakan bahwa cara fasilitator atau pendamping desa itu bekerja sebagai teknokrat ketimbang fasilitator tulen, yaitu yang mempermudah penerimaan warga dan telaten mengajak warga untuk berperan langsung dalam identifikasi, penentuan angka-angka, hingga melakukan sendiri.

Yusran nampaknya membaca bahwa sejauh ini banyak proyek di desa itu dikerjakan oleh kontraktor ketimbang menggiatkan masyarakat sebagai penentu, sebagai pelaksana dan sebagai pengawas. Makanya datanglah orang-orang proyek, perencana langit, pihak luar yang sok tahu, melalui gaya teknikalisasi itu.

“Orang-orang pintar dari kota datang ke desa laksana sinterklas yang hendak mengajari warga kampung untuk mengenali wilayahnya,” begitu tulisnya.

Sampai di situ saya sangat sependapat bahwa kualitas fasilitator atau pendamping desa adalah hal yang perlu dibereskan ke depan jika ingin mendorong semangat atau visi sebagaimana yang termaktub di UU Desa itu.

Bagi kita, tulisan Yusran, sangat positif untuk Pemerintah atau siapapun bisa melakukan introspeksi atau otokritik, mengkaji ulang bahwa praktik perencanaan yang sejatinya dilaksanakan secara partisipatif itu tak dilaksanakan dengan seksama dan perlu pembenahan.

Ada dominasi yang kuat dan arus politis dari atas melalui alat-alat perencanaan teknokratis, melalui kontraktor pesanan dan pendamping masih perlu diperkuat kapasitasnya dalam memfasilitasi warga mengambil keputusan penting dan mendasar.

Meski begitu, sesuai pengalaman penulis, tidak selalu juga tenaga pendamping desa sebagai persoalan, kadang pendamping desa sudah terlatih, punya kapasitas, terampil memfasilitasi namun saat finalisasi rencana aksi, yang menentukan kepala desa saja dan Pemerintah Kabupaten.  Warga tak lagi tahu nasib rencana mereka ketika disorong ke kabupaten.

Jika demikian adanya, sobekan kertas dari Yusran Darmawan itu harus dipajang di dinding birokrasi, jadi dasar pembenahan oleh para pengambil kebijakan dan perencana pembangunan desa di Kemendesa atau kantor-kantor pemerintah yang selama ini terlena dalam menjalankan amanat UU Desa itu. Kalau tidak, prahara lebih besar akan datang.

Gowa, 04/09

Kamaruddin Azis