Poin Kunci dari Diskusi Daya Tahan Perdesaan Sulawesi di Tengah Pandemi Covid-19

COMMIT – Diskusi daring bertopik ‘Potret Perdesaan Sulawesi di Tengah Pandemi Covid-19: Daya Tahan, Fasilitasi Masyarakat dan Tantangannya’ telah digelar Yayasan COMMIT bekerjasama Bappeda Kota Palu, (3/5/2020).

Tiga pemantik diskusi yaitu Muhd Nur Sangadji, M.Sc, akademisi Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu bersama Irfan Saleh, S.Pt. M.Si, Kepala Baperlitbang Kabupaten Pohuwato, Gorontalo serta Sunarwan Asuhadi, M.Si, alumni pelatihan Community Facilitator JICA-CD Project di Kabupaten Wakatobi.

Diskusi yang dipandu oleh Ibnu Mundzir (Bappeda Kota Palu) dan Kamaruddin Azis (Yayasan COMMIT) ini bertujuan untuk memperoleh update atau gambaran situasi di perdesaan Sulawesi terutama di sekitar wilayah narasumber yaitu Kota Palu, Kabupaten Pohuwato dan Wakatobi.

“Topik diskusi mungkin terlalu ambisius tetapi kita ingin di tengah pandemi ini, suara-suara terkait desa dan daya tahannya juga muncul. Apalagi jika kita membaca ‘belakangan ini terkait saling sindir Bupati, atau protes kepala desa kepada Pemerintah Pusat terkait program bantuan,” kata Kamaruddin Azis, sekretaris eksekutif COMMIT yang membuka acara kemudian dilanjutkan Ibnu Mundzir.

Bertahan tapi rentan

Menurut Nur Sangadji, saat ini, di tengah pandemi, situasi diperparah oleh telah matinya relung-relung pertanian. “Kota-kota telah mereproduksi Covid-19 dan berdampak ke desa. Orang kota bermasalah besar,” kata jebolan Universitas Lyon Prancis ini.

Dalam bahasa filosofis, Nur menyatakan bahwa untuk jangka panjang desa-desa harus diselamatkan dengan terus menerus menjaga produksi pertanian hingga perikanan. “Pada tingkat masyarakat, warga desa termasuk kota, saat ini, warga tak lagi takut mati karena Covid-19 tetapi takut tidak makan,” tegasnya.

Dia memahami mengapa banyak bantuan dan mengapa banyak inisiatif untuk warga desa, sebagaimana adanya istilah ‘Tolare’ di Sulawesi Tengah, sebagai panggilan orang luar.

Meski demikian, di masyarakat seperti di Sulawesi Tengah, di tengah situasi itu, dia masih memperoleh inspirasi bahwa warga tak selamanya mau diberi bantuan. Mereka juga punya dignity. Ini disampikan dengan mengisahkan seorang kakek tua yang menolak diberi uang sesuai cerita koleganya.

“Saya merasa tidak melakukan apa-apa. Jadi saya tidak terima,” katanya menirukan sang kakek sebagaimana.

Dignity sudah langka tapi contoh dari Palu ini menunjukkan masih ada orang yang tidak mau mendapat sesuatu tanpa dia menghasilkan keringat, ini jiwa tani,” ujarnya.

Meski tidak secara eksplisit bahwa ada desa-desa yang bersoal atau terdampak parah karena pandemi namun secara umum, atau menyebutkan desa-desa mana saja yang tampil ‘jumawa’, Nur sesungguhnya hendak menyatakan bahwa desa-desa di Sulawesi telah semakin jauh dalam kerentanan dan nelangsa. Dia mengutip cerita Prof Mubyarto, sosiolog dan pemikir desa.

“Saat komputer ke desa, maka suatu saat gotong royong itu hancur,” kutipnya.

Sementara itu, Irfan Saleh, alumni Young Leaders Training Jepang yang juga alumni Diklat Perencana JICA CD Project (2008-2012) mengutarakan bahwa saat ini di tengah pandemi, ada banyak yang berubah di lingkup Pemerintahan Pohuwato.

“Setidaknya ada 4 hal, perencanaan tidak sesuai tujuan awal, project refocusing. Praktis 50-75 persen anggaran telah dipangkas untuk dialihkan ke ke tiga hal; kesehatan, pencegahan hingga penanganan pemakanan,” katanya memulai diskusi.

Lalu, ada persiapan PSBB dengan menggelar pemberian sembako sejak awal.  Kemudian, ada fakta baru betapa para ASN atau pegawai pemerintah lebih sibuk dibanding waktu sebelumnya.

“Kesibukan sangat padat dibanding situasi sebelumnya demi persiapan Gorontalo menjelang PSBB.  Lalu kita, juga harus memastikan masyatakat di desa (di Pohuwato) tidak terpapar dari orang kota,” ucapnya.

Terkait daya tahan desa di Pohuwato, dia menegaskan bahwa sejatinya, masyarakat di desa-desa yang masih punya lahan tidak terpengaruh. Terkait silang sengketa mengenai data dan ketepatan bansos, dia mengakui bahwa terkait pendataan di desa, memang ada suasana panik juga sebab harus mengambil keputusan cepat di tengah upaya antisipasi yang serba cepat.

“Kami telah membagi 17 ribu paket sembako sejak tahap awal.  Paket ini disiapkan dalam lima hari saja dan dijalankan dengan kolaboasi antara aparat keamanan, pemeritah kecamatan, desa dan Pemda,” lanjutnya.

Dia mengakui bahwa dari hasil evaluasi penyerahan bantuan sembako ini memang masih 1-2 orang yang dobel tetapi ini kemudian dibuatkan berita acara untuk menjadi dasar apa sesungguhnya yang terjadi dengan calon penerima ini.   “Kita berharap di tahap kedua lebih kolaboratif,” tambahnya.

Terkait dinamika bantuan di desa, menurutnya ini karena memang ada beberapa paket bantuan sejauh sini, baik dari Pusat maupun dari desa. “Ada beberapa yang datang mendadak, belum lagi nilainya yang berbeda-beda. Skema JPS ada 178 ribu, ada juga 200 ribu, ada 600. Beda Pusat dan daerah,” lanjutnya.

Terkait antisipasi konflik kepentingan atau kesimpangsiuran pelaksanaan pemberian bantuan Irfan berharap ke depan harusnya diserahkan ke daerah saja. “Biar bisa lebih terkendali,” katanya.

Terkait pandemi dan desa-desa, Irfan juga melihat ada yang menarik dimana banyak tumbuh relawan-relawan. “Misalnya mereka melaksanakan penyemprotan dan pemberian masker dan hand sanitizer. Munculnya gotong royong ini juga menarik, apa harus seperti ini (ada Pandemi) untuk kemudian muncul kegotong royongan?” tanyanya.

Narasumber lain adalah Sunarwan Asuhadi. Pria yang sukses memfasilitasi warga Desa Longa dalam menjaga hutan desa dan mengembangkan keswadayaan dan partispasi warga dalam mengantisipasi berkurangnya lahan hutan ini menyabut bahwa situasi dulu dan sekarang berbeda.

Dia menyebut bahwa memang ada pergeseran nilai dalam masyarakat. “Termasuk relasi mereka dengan yang dari luar desa, demikian pula jaringan pengaman. Poin pentingnya adalah perlunya kesadaran kolektif  kelompok,” katanya terkait isu-isu pembangunan termasuk pandemi di tengah masyarakat.

Dia juga menyebut bahwa untuk menghadapi isu yang ada di tengah masyarakat maka diperlukan solusi berjenajng.

“Pengalaman di desa kami, di Kelompok Kauluma, kita perlu rencana jangka panjang, menengah dan pendek,” imbuhnya.

Sunarwan juga bercerita betapa fasilitasi isu dan aksi masyarakat harus mempertimbangkan daya ubah dan daya jangkaunya. Termasuk relevansinya.  Tentang betapa pentingnya memahami modalitas sosial dan ketepatan solusi.

“Ini tentang modalitas sosial dan program yang dipilih. Contoh di desa kami, di Desa Waha, mengembangkan program pariwisata, dengan menyiapkan alat snorkeling, masker,” imbuhnya. Dia ingin menyatakan bahwa pada aspek lain  seperti ketahanan masyarakat desa, tentang pelestarian ikan, lahan dan hutan masih perlu diantisipasi dengan tepat.

“Oleh karena itu perlu perubahan paradigma untuk daya tahan,” kuncinya.

Tanggapan peserta

Diskusi yang dihadiri tidak kurang 30 peserta dari berbagai wilayah ini berlangsung kurang lebih 2 jam. Peserta datang dari Selayar, Kota Palu, Makassar, Jakarta, Bandung, Manado, Bitung, Wakatobi hingga Matsuyama Jepang. Sangat luar biasa karena dihadiri pula unit kerja Bappenas bidang desa dan daerah tertinggal, Diah Lenggogeni.

Terkait paparan narasumber, terutama pada Kepala Baperlitang Pohowato, Irfan Saleh, Dr Syukur Umar, dosen Kehutanan Universitas Tadulako Palu menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang dikembangkan saat ini harusnya tidak sekadar respon sesaat tetapi harus berjangka panjang.

“Harus ada strategi jangka panjang, tidak sekadar temporer. Poin kedua adalah jembatan antara pertanian dan Covd-19 sebagai masalah globalisasi,” katanya seraya menyebut ini diindikasikan oleh adanya impor sebagai dampak negatif.

“Harga produk pertanian kita rendah, warga hanya sebagai price taker,” katanya.

Sementara itu, Dr Irwan Waris, Pakar Ilmu Politik Untad Palu, tertarik saat disinggung sebutan ‘Tolare’ atau Suku Terasing di Sulawesi Tengah, yang oleh Nur Sangadji sebagai salah satu contoh bagaimana orang luar memberi penilaian pada orang dalam (desa).

Menurut Irwan, istilah ini sudah sudah digunakan sejak lama. “Sejak lama dikondisikan untuk mereka, warga terasing dibawa ke kota. Mereka ini, suku terasing, melalui sekolah, melalui pendidikan,” katanya.  Meski demikian, Irwan cukup optimis dan mengatakan bahwa di tengah Covid, kita (desa-desa) masih cukup kuat.

“Yang lemah itu di perkotaan,” sebutnya. Dia juga menyebut bahwa soal data, soal validitas, soal perlu tidaknya data valid sudah lama dijadikan pokok bahasan tetapi masalahnya selalu sama.

“Pemerintah tidak kompak soal data. Pengalaman pada bantuan gempa Palu juga terkait data, data Pemerintah Pusat berbeda dengan daerah,” katanya.  Ada poin yang menarik disampaikan oleh Irwan, bahwa pembagian sembako sebaiknya tidak perlu lagi jika memang hanya menjadi masalah.

Pandangan Irwan ini diperkuat oleh peserta lain, Andi Alimuddin Rauf. Bahwa daya tahan di desa, baik di pertanian dan perikanan perlu djaga, perlu diantisipasi.

“Perlu mengantisipasi dampaknya ke nelayan dan petani, jadi memang diperlukan isolasi,” katanya. Soal data, sesuai pengalamannya berdiskusi dengan otoritas terkait, pihak ini mengaku bahwa 20 persen data yang ada tidak valid.

“Ada yang dapat bantuan dikategorikan miskin tapi motornya ada 8 unit,” ungkapnya terkait simpang siur dan urgensi data dalam penentuan bantuan.

Tanggapan optimis juga disampaikan Marlon Kamagi, praktisi pengolahan sampah, trainer, perencana pembangunan yang berbasis di Manado ini bercerita tentang posisi kotanya yang juga rentan karena kontak langsung ke Wuhan.

“Tanggal 23 Januari kita sudah mulai terasa pandemi ini. Sulut ini direct ke Wuhan sehingga tentu rentan,” katanya. Meski demikian, demi memperkuat daya tahan warga dia dan beberapa kawannya sedang mendorong budidaya sorgum, jahe, dan rempah.

“Ini karena kita perlu membangun kekuatan dari desa, termasuk bagaimana menjadi sentra pupuk organik, termasuk start up,” katanya.

Beberapa poin kunci

Tidak semua dimensi obrolan bisa dituliskan di sini tetapi setidaknya ada beberapa poin yang bisa disebut poin-poin kunci dan diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi siapapun terkait daya tahan perdesaan, fasilitasi masyarakat dan upaya mengatasi tantangannya.

Pertama, desa-desa di Sulawesi secara umum masih punya daya tahan tetapi membutuhkan difasilitasi, untuk mengantisipasi dampak buruk Pandemi Covid-19. Ini bisa dimulai dengan mencontoh apa yang ditempuh di negara-negara lain seperti upaya mendorong pertanian untuk skala rumah tangga yang Nur Sangadji disebut sebagai opsi ‘sub-sisten’.

Kedua, Negara perlu memberi insentif untuk petani atau bidang pertanian atau produsen. Ini merupakan langkah penting di tengah upaya bersama melawan pandemi. Terkait ekonomi subsisten ini, Nur mengaitkan dengan tradisi lama di Palu, dimana Tolare ini datang ke kota dengan membawa hasil bumi dari lahan-lahan mereka, membawa komoditi dan dipertukarkan dengan produk kota, meski menurutnya saat ini sudah bergeser, dari membawa komoditi lalu menjadi peminta bantuan.  Hal yang menurutnya perlu diperiksa di pegunungan mengapa ini terjadi.

Ketiga, fasilitasi masyarakat menjadi niscaya di tengah pandemi. Tools atau metodologinya harus disesuaikan dengan kondisi yang ada tetapi yang pokok adalah ada transfer kapasitas. Misalnya, bagaimana ada muncul aksi tanggap bencana, bagaimana ada solusi dan penguatan kesiapsiagaan bencana.

Keempat, fakta lapangan menunjukkan bahwa virus Corona tidak melulu dari orang tetapi dari benda. Yang oleh Irfan Saleh disebut menyebar dari saprodi. Oleh sebab itu, perlu pengetatatan atas berpindahnya saprodi dari desa ke desa, dari desa ke kota atau sebalinya.

Pemberian bantuan juga merupakan salah satu pintu masuk menyebarnya virus oleh sebab itu, saran Irfan, petugas harus mengawasi dari mulai pengepakan hingga penghantaran bantuan.

Kelima, antisipasi atas perluasan pandemi merupakan tanggung jawab bersama. Meski demikian, setiap orang harus punya sikap mental yang positif dalam memandang dan mengantisipasi ketika gejala atau wabah ini ada di sekitar. Tidak panik dan tetapi ‘satu platform’.

Pengalaman di Wakatobi seperti pengakuan Sunarwan bahwa ada 13 warga yang pulang dari Kendari dan membuat heboh warga desa merupakan contoh berapa warga desa masih harus difasilitasi untuk punya cara atau respon yang terukur terkait Pandemi Covid-19.

Keenam, meski ada ungkapan bahwa warga yang selamat adalah yang fit atau ‘survival of the fittest’ namun perlu protokol atau protap yang ketat agar perpindahan virus ini bisa dicegah. “Perkuat pengawasan dan batasi perpindahan orang. Kita perlu waspadi arus mudik,” kata Gustaf dari Bandung.

Ketujuh. Data dan informasi adalah fakor kunci dalam perencanaan sehingga perlu dikawal dan dikelola dengan baik. Menurut, Sarman Samara dari Wakatobi, salah satu solsunya adalah memastikan bahwa ada operator atau penginput data yang bertahan lama menanganinya. Pemerintah harusnya menyiapkan ini secara sinambung.

Kedelapan. Pemerintah Pusat perlu konsisten dalam memberikan perlindungan ke warga di tengah pandemi termasuk suprastruktur dan infrastruktur pertanian hingga perikanan di desa-desa demi menjaga daya tahan yang ada.

Untuk lebuh mudahnya, Pemerintah Pusat bisa mendesentralisasi bantuan (anggaran dan perencanannya) dengan memberikan mandat penuh ke Pemda (utamanya di kabupaten/kota) tentu dengan syarat atau kriteria ketat.

Contoh baik mengenai konsistensi ini adalah Jepang. Menurut Siswan dari Prefektur Matsuyama Jepang yang juga alumni pelatihan fasilitator masyarakat di Pohuwato, Pemerintah Jepang konsisten dalam memberikan kompensasi ke warga, bahkan sesuai UMR.

“Warga tidak boleh mengambil lebih dari semestinya. Logistik diatur Pemerintah, tidak boleh ada pemotongan, maksimum 5 kg untuk beras, atau 1 boks untuk masker,” tutup Siswan.

Membaca penjelasan Siswan ini, yuk, kita tanya diri masing-masing, sudah komitmen dan konsistenkah kita saat menangani bantuan-bantuan sosial ini? (*)

Note taker: Kamaruddin Azis (COMMIT)