Cerita dari Negeri Awan di Atas Gunung (Bagian 2)

Persawahan di Towuti (dok: F. Hailm)

COMMIT – Dari Faizal Halim diperoleh pula informasi bahwa orang-orang dari Ketinggian Tana Toraja banyak yang menetap di seberang danau. Mereka yang mendiami pesisir ini yang secara historis yang sangat terdampak oleh masuknya DI/TII nun lampau.

Kawasan di sekitar Verbeek, terutama di tiga danau Matano, Towuti dan Mahalona pernah menjadi wilayah operasi tentara republik Indonesia demi membatasi pergerakan anggota DI/TII pimpinan Qahhar Muzakkar di pertengahan tahun 60-an.

Seiring bertambahnya waktu, dari tahun ke tahun, seiring bertambahnya penduduk, kampung dan desa pun bermekaran.  Patut dicatat bahwa saat ini jumlah penduduk Luwu Timur tidak kurang 270 ribu jiwa.

“Patut dicatat juga bahwa desa-desa ini mengalami pemekaran seperti Loeha yang pecah menjadi Desa Ranteangin, Tokalimbo dan Bantilang lalu Masiku,” katanya.

“Lalu Tokalimbo pecah menjadi Bantilang, Bantilang kemudian pecah lagi jadi Desa Masiku, ini desa terakhir yang mekar,” tambahnya.

Nama-nama desa di Towuti mempunyai arti. Asuli pun ada artinya. Wawondula berarti pasir. Wawomeusa artinya awan di atas gunung, itu nama perbukitan di sepanjang Wawondula.

Beberapa tradisi dan upacara warga berbasis suku juga masih ada semisal pada pesta panen, beberapa tokoh masyarakat masih menganjurkan pelaksanaan kegiatan Maddero yang merupakan khas orang Padoe sementara warga asal Tana Toraja masih melaksanakan tari-tarian Mabbadong.

Beberapa praktik yang tak lazim juga ditemui di beberapa kampung seperti di Mahalona atau di seberang danau. Pada acara pesta, ada pembagian antara daerah yang bisa dilalui kaum perempuan dan laki-laki.

“Dipasangi kain, laki-laki lain, perempuan juga lain. Jadi saat memberi selamat, laki-laki menyalami laki-laki, perempuan ya perempuan,” kata Faizal. Menurutnya ini merupakan peninggalan dari ajaran DI/TII ketika beroperasi di sana.

Suasana pedalaman (dok: F. Halim)

Isu lingkungan juga acap menjegal rencana-rencana pembangunan semisal pembangunan dam. Hal ini dianggap perlu sebab beberapa desa mempunyai hamparan sawah seperti di Bantilang.

Ada ratusan hektar sawah di Tokalimbo, Ranteangin. Di Loeha juga ada. Yang paling luas adalah di Desa Bantilang dan Loeha karena terletak di samping danau.

“Di Tokalimbo ada tapi tidak terlalu banyak. Petani hanya panen sekali setahun, kadang dua kali itu kalau rajin,” katanya.

Itu pula mengapa pertanian padi organik menjadi salah satu alternatif di desa-desa ini terutama di Buangin dan Libukan Mandiri dan Desa Lioka.

“Mereka sudah panen padi organik belakangan ini,” lanjut Faizal.

Penamaan Towuti menurut Faizal bermula dari cerita ketika ada warga menemukan tebu tumbuh di atas danau, di daerah Beua.  “Di daerah itu, ada orang tiba-tiba teriak, To Wuti,” katanya.

Bahasa beberapa desa di Towuti berbeda, semisal bahasa di Desa Bantilang juga berbeda dengan bahasa orang Masiku.

Jalur-jalur atau letak desa di Towuti dapat dijejaki mulai dari titik semisal dari Desa Asuli. Menurut Faizal, setelah Asuli akan ada Desa Wawondula, kemudian jika belok kiri akan sampai ke Desa Matompi. Jika terus ke pelabuhan akan didapati Desa Timampu.

“Kalau belok kiri lagi akan dapat Desa Pekaloa, terus sampai ke Mahalona dan Desa Tole, Desa Kalosi, Libukang Mandiri dan Desa Buangin,” paparnya.  Faizal menyebut ada dua jalur lagi.

“Ada yang langsung ke Buangin, tembus ke Libukan Mandiri. Desa ini merupakan pusat kota Mahalona, di sana ada Puskesmas, ada pasar,” katanya.

Di Libukan Mandiri, terdapat dua dusun, yaitu Koromalai dan Ballawai merupakan lokasi transmigran atau lokasi SP4.

Lahan perkebunan dan rumah warga (dok: F. Halim)

“Ada 112 KK, ada mushalla, posyandu bantuan PMDM, taman bermain. Setahuku di lokasi itu warga dapat lahan 2 hektar, lahan basah dan lahan kering, 40 x 50 meter, dapat sawah atau kebun,” sebutnya.

Kegiatan transmigrasi ini menurut Faizal merupakan wahana kawin mawin juga. Antara suku setempat dan suku pendatang.

Ada beberapa warga dari luar dan misalnya menikah Wawondula atau di Langkea Raya namun dapat rumah di dalam lokasi transigrasi. Atau Desa Baruga namun dapat rumah di dalam, di lokasi transmigrasi.

Selain itu dalam prosesnya ada beberapa warga juga yang tak melanjutkan domisili di lokasi transmigrasi atau dengan kata lain menjual tanahnya.

“Ada 1-2 juga yang menjual lahan,” kata Faizal.

Yang patut dicatat juga menurut Faizal adalah bagaimana hutan lindung mulai dijejali jalan beton. Sepengetahuan Faizal ada jalan beton yang telah dibangun sepanjang 8 kilometer menuju Desa Mahalona.

Kebun merica di Towuti (dok: F. Halim)

Yang unik, kata Ical, pada beberapa titik kawasan masih menunjukkan jejak-jejak purba seperti tengkorak manusia di gua-gua.  Di Mahalona dan sekitarnya masih nampak pohon-pohon nira yang ditiriskan untuk memperoleh tuak manis.

“Mereka menggunakan bambu dan menampung sendiri utuk dibuat tuak manis, jadi mereka jual nira manis,” katanya.

Kecamatan Towuti dan Wasuponda dulunya merupakan bagian dari Kecamatan Nuha. Pemekaran berlangsung sejak tahun 1994 dan masih merupakan wilayah Luwu Utara. Dari Nuha kemudian mekar menjadi Wasuponda, Sorowako dan Wawondula.

Yang menarik menurut Faizal adalah heterogenitas di dalam kelompok-kelompok masyarakat suku Padoe. Agama menjadi sangat heterogen, kadang bapak Islam tetapi anaknya Kristen.

“Atau kakaknya Kristen namun adiknya Islam,” pungkas Faizal.