COMMIT – Ibarat nakhoda kapal kayu yang berlayar di tengah badai pandemi Covid-19, para leaders kini harus memastikan arah, memeriksa perbekalan dan memastikan kemudi tetap kuat meniti goyangan, awas pada arus dan angin yang meliuk ganas. Kompas harus ada di dekatnya.
Tak ada kompas, bintang-bintang jadi sandaran, tapi badai selalu tak menghadirkan bintang. Sensing nakhoda adalah benteng terakhir, saat badai datang doa biasanya muncul meski mata penumpang tidak pernah lepas dari pelampung, jeriken hingga segala yang mengapung.
Nakhoda tak terlatih atau pernah magang tapi malas masuk, bersertifikat tapi catutan, berpotensi membawa kapal karam.
Yang terlatih dan terbiasa ‘di samudera luas’ biasanya akan bisa membawa bahtera ke tepian atau setidaknya mengamankan muatan dan awak kapalnya sebelum dia sendiri memilih hancur lebur.
Karena menyebut nakhoda, mari kita bayangkan situasi pesisir dan laut, masyarakat pulau-pulau kecil di tengah pandemi Covid-19. Seperti kita tahu banyak yang telah terpapar dampak langsung dan tidak langsung. Kita sebut saja daya tahan maritim kita, maritim, kata yang selalu buat bangga sebab kita lama dikenal sebagai bangsa pelaut meski pernah abai bertahun-tahun karena memilih agrisentris atau terrestrial based.
Pembaca sekalian, terutama yang akrab ke pesisir dan pulau-pulau kecil kita.
Pahamilah bahwa krisis pangan sedang di depan mata. Tanpa dimaklumatkan pun, kondisi saat ini menghadirkan persoalan di mana-mana. Maka, dalam keadaan super genting begini, nakhoda memang perlu memahami konstalasi yang ada, dia harus paham sumber daya tersedia dan berani menentukan arah. Kapal ke pantai atau tetap optimis di tengah badai sembari secara perlahan dan pasti menuntun pelayaran agar terhindar dari hempasan pemungkas.
Saya membayangkan jika saja Menteri Pertanian SYL (semoga tidak) menyetop kegiatan cocok tanam dan ‘memilih berjarak’ dengan petani, membatasi cocok tanam yang melibatkan 3-4 orang, atau katakanlah MKP Edhy menahan beroperasinya 200-300 saja kapal untuk tidak melaut.
Jika itu diberlakukan maka akan ada 5.000-10.000 ABK kapal ikan kena dampak.
Nah, kalau masing-masing kepala keluarga sebagai ABK maka ada, katakanlah 10.000 ABK x 4 orang di rumahnya maka 40.000 orang kena dampak. Belum lagi dampak turunan lainnya.
Para nakhoda di kursi Pemerintahan setingkat Menteri pasti sedang atau mungkin sudah membatalkan proyek fisik secara nasional. Meski kemudian dia bakal dihadang berita bahwa hingga kini sudah ada banyak pemutusan hubungan kerja.
Proyek yang belum atau baru mulai tender pasti minggir. Ini ditujukan untuk menyiapkan dana demi mengisi gap, mengurangi kelaparan, mencegah PHK dan membantu penanganan orang sakit atau yang musibah kematian.
Para nakhoda yang masih ‘steady’ pasti sedang mengintip sektor lain, katakanlah melihat sektor seperti pariwisata, otomotif, manufaktur, transportasi termasuk penerbangan yang sudah tumbang, apalagi kemarin, penerbangan secara resmi ditutup untuk beberapa daerah yang memberlakukan PSBB.
Nakhoda, yang masih merasa harus penuh tanggung jawab untuk membawa unit kerja, atau organisasinya atau bangsa ini sekalian pasti sedang membayangkan beban atau PR setelah tiba di tepian – semoga badai ini cepat berlalu – bahwa bahtera Indonesia akan butuh dana besar agar bisa survive, bisa memperpanjang napas perjalanannya.
Nakhoda-nakhoda yang memegang kendali urusan makanan, kesehatan, dan telekomunikasi masih ada harapan tetapi yang diceritakan di atas seperti pertanian termasuk perikanan berada di persimpangan jalan.
Bisa bertahan atau menghindari tidak tumbang sudah lebih dari cucup. Bisa saja tumbang jika pencadangan, tata kelola logistik tidak bagus, karenanya para nakhoda harus pandai-pandai (dan berani) untuk mengambil sikap agar tidak menghantar bahteranya ke ambang prahara.
Apa yang santer diberitakan minggu ini bahwa dana pembangunan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah dipotong 1,8 triliun dari dari Rp 6,4 T adalah cobaan berat untuk nakhoda, untuk kru kapal dalam mencapai visi-misi organisasinya.
Konsekuensi pengalihan anggaran itu bisa jadi berdampak pada program-program seperti bantuan kapal, alat tangkap, asuransi nelayan, bahkan perbaikan 26 pelabuhan perikanan yang sudah direncanakan.
Pengalihan demi membantu Negara via Kementerian Keuangan untuk melawan Covid-19 tentu ini merupakan cobaan besar untuk kita semua yang selama ini intim dengan isu-isu kelautan dan perikanan; sektor rentan tapi kadang diabaikan rezim pendahulu.
2 juta kena PHK
Kita semua, yang di pesisir, di pulau, di desa-kota, mafhum bahwa Covid-19 belum jelas kapan berakhirnya.
Presiden Joko Widodo mengatakan puncaknya adalah Mei dan diharapkan Juli sudah landai. Namun pakar-pakar sebagian mempunyai perkiraan berbeda Ada yang menyebut akan selesai hingga akhir tahun, bahkan ada yang menyebut 1-2 tahun.
Oh no! Jangan sampai Ya Allah!
Pamahaman kita bahwa kapasitas ekonomi nelayan atau awak kapal perikanan kita masih terbatas, lalu membayangkan ribuan nelayan tidak melaut implikasinya sungguh luas dan dalam, ketahanan pangan pasti terganggu.
Kondisi sosial-ekonomi di desa-desa nelayan akan guncang. Guncang dalam pengertian beban hidup semakin besar, kekerasan rumah tangga, perceraian, kriminalitas, konflik, rebutan sumber daya akan menjadi hal-hal yang muncul di depan mata.
Di sisi, kita sepertinya ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Masih ingat bahwa Indonesia, dapat predikat baru sebagai kategori negara maju? Please deh, rasanya kita perlu sekali lagi melihat ulang berapa jumlah orang miskin kita, seperti apa standar kesehatan kita, bagaimana cashflow negara kita.
Dengan predikat itu, kita rupanya diintai beban baru dan harus mawas diri. Bunga-bunga pinjaman rendah dan paket-paket grant atau hibah dari donor pembangunan internasional akan langka masuk ke tanah air. Kan sudah maju? Yang ada adalah bunga tinggi, semua serba dikomersilkan dan jika tak mampu memenuhi kewajiban, mekanisme pasar akan berlaku, pailit dan direbut hak-haknya. Ini pula yang sepertinya jadi pemikiran nakhoda kita – semoga Menteri SMI bisa tegar di sini.
Pembaca sekalian, bukan hanya Joko Widodo, SMI, SYL atau Menteri Edhy yang diuji, semua kita, nakhoda-nakhoda sungguhan dan kiasan, awak, dan semesta kita, sedang dirundung badai dan hanya perlu kerjasama canggih dan kesabaran tingkat tinggi.
Begitulah, siang ini, saya membayangkan pada suatu masa di tahun 2000-an di Laut Flores, saat melintas di antara Pulau Kayuadi dan Pulau Selayar. Saat kami di atas kapal kayu Haji Dassik, warga Pulau Rajuni Taka Bonerate yang berukuran 30 groston dan membawa semen dari Makassar. Awan gelap menggantung, badai menghadang saat perahu kami di tengah perjalanan.
Tapi luar biasa, semua yang sebelumnya tidur lelap, baik penumpang perempuan, orang tua dan kanak-kanak bahu membahu membantu nakhoda. Ada yang menguras air yang masuk di ruang mesin, sebagian lainnya membantu menurunkan layar. (*)
Kamaruddin Azis
Tamarunang, 25/04/2020