Pohuwato, COMMIT – Tarsius, satu-satunya famili yang bertahan dari ordo Tarsiiformes. Saat ini jumlahnya terbatas dan ditemukan di pulau-pulau Asia Tenggara, salah satunya di Sulawesi dan yang paling khusus di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo.
Karena kelangkaan dan kekhasannya itu, Irfan Saleh, Kepala Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan (Baperlitbang) Kabupaten Pohuwato, bersama beberapa pejabat eselon II Kabupaten melakukan observasi ke lokasi hunian Tarsius. Berharap melihat Tarsius meski hujan jadi penghadang.
Bertemukah Tarsius? Berikut laporan Irfan Saleh ke pembaca COMMIT yang ditulis dengan gaya reportase memikat.
***
Kamis, 9 Januari tahun 2019 kami melaksanakan ekspedisi Tarsius yang saat ini dinobatkan sebagai primata terkecil dunia.
Tim ekspedisi difasilitasi Perhimpunan Burung Indonesia dan terdiri dari Kepala Baperlitbang bersama 2 staf, Asisten Ekbang, Kepala Dinas Pemuda Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan bersama 2 staf.
Turut hadir dua orang mitra pariwisata Nou dan Uti, fotografer dan beberapa jurnalis serta manajer program berikut seluruh tenaga ahli dan lapangan Burung Indonesia.
Misi kami di samping simulasi perjalanan wisata ekoturisme, juga ingin melihat langsung fakta di lapangan terkait keberadaan Tarsius yang banyak disorot perhatian itu.
Selain itu mengamati kondisi lapangan, fasilitas penunjang dan yang paling penting seberapa tinggi komitmen masyarakat dan pemerintah desa atas keberadaan si mungil ini.
Perlu persiapan
Sesuai arahan Tim Pemandu Burung Indonesia, kami harus ada di desa sebelum ashar. Berdasarkan informasi itu, seluruh tim saya informasi via WA grup untuk berkumpul di Bele Maleo atau Rumah Burung Maleo.
Itu merupakan nama kantor Burung Indonesia yang berada di Desa Marisa Utara, Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato.
Pukul 14.00 kami berkumpul kemudian diberikan informasi terkait tips dan SOP pengamatan.
Setelah mengerti, kami kemudian membagi tim ekpedisi menjadi tiga kelompok dengan cara seluruh peserta berhitung mulai dari angka 1, 2,3 kemudian diulang lagi hingga selesai.
Seluruh yang angka satu masuk Kelompok 1, demikian seterusnya.
Tepat jam 14.30 kami bergerak menuju Kecamatan Taluditi. Perjalan sekitar satu jam, kami tiba di kantor camat. Camat sudah menunggu karena memang sudah diinformasikan sebelumnya via WA. Bahkan ada surat resmi pemerintah kabupaten.
Di samping kantor camat ada mesjid kecamatan, kami melaksanakan shalat ashar secara berjemaah. Setelah itu melanjutkan perjalanan ke Desa Makarti Jaya, sekitar 20 menit perjalanan.
Suasana di Makarti Jaya
Kami tiba tepat 14,50, berkumpul di rumah Pak Slamet, mantan Penjabat Kepala Desa Mekarti Jaya yang saat ini kembali menjadi staf di Kecamatan Taluditi.
Para fasilitator Burung Indonesia yang bertugas di lapangan membagikan perlengkapan sepatu boot dan kaus kaki panjang. Karena jumlahnya terbatas, maka saya menyarankan perempuan saja yang pakai. Kami pakai sepatu biasa saja.
Setelah itu, kami langsung berkumpul sesuai kelompok karena harus menyesuaikan dengan dead line waktu yang diberikan jam 15.30 harus bergerak agar bisa sesuai dengan waktu tarsius keluar dari sarangnya dan bisa dilihat.
Kami ada 3 kelompok dan masing-masing kelompok didampingi satu orang guide yang kebetulan semuanya laki-laki dan merupakan warga desa Mekarti Jaya.
Serentak ke lokasi
Jam 15.30 kelompok satu yang terdiri dari 12 orang bergerak lebih awal dan jeda per kelompok adalah 10 menit.
Kelompok 1 saya yang pimpin dan guide-nya bernama Fauzan, karena orang Sunda maka bisa dipanggil Mang Fauzan.
Selanjutnya inilah dialog gaya ‘Wada’ kami selama petualangan yang berat tersebut
“Bisa diceritakan apa yang menyebabkan mang fauzan tertarik kegiatan seperti ini,” tanyaku memulai dialog sembari mengatur napas dan ritme kaki.
“Waktu itu saya diminta salah satu tenaga Burung Indonesia yang bertugas masuk ke hutan untuk pengamatan burung dan hewan-hewan lainnya untuk ikut mendampingi mereka. Dari sering mendampingi tersebut, saya merasakan sesuatu yang beda, nyaman skali perasaan saya di hutan apalagi begitu diperkenalan dengan berbagai macam keanekaragaman hayati, utamanya Tarsius ini,” jawabnya.
“Tahun berapa mang Fauzan mulai ikut?”
“Tahun 2016.”
“Sudah berapa orang turis asing yang dibawa ke pengamatan,” lanjutku.
“3 Orang.”
“Dari negara mana saja itu?”
“Dari Belanda 2 orang dan 1 orang dari Jerman.”
“Cara komunikasi?”
“Ya di situ masalahnya, tapi kalau Jerman agak mengerti bahasa Indonesia. Tapi tenaga Burung yang lainnya banyak yang pintar bahasa Inggris,” jawabnya.
Fauzan bercerita bahwa kedatangan orang asing tersebut pada tahun 2017, saat dia jadi pemandu.
“Berapa jauh ke tempat pengamatan mang?” lanjutku.
Pada saat yang sama, perasaan pegal mulai tiba.
Fauzan bercerita jaraknya sekitar 1 kilometer dan akan melewati 3 kali penyeberangan dan 3 kali tanjakan. Teman-teman yang mendengar langsung gaduh, karena sudah mulai terasa capeknya, saya juga sama.
Ha-Ha-Ha.
“Kebetulan sudah mulai gerimis, Mang. Kalau hujan kita masih bisa ada peluang melihat Tarsius?” lanjutku.
“Pangalaman saya kalau hujan lebat Tarsiusnya tidak keluar tapi semoga kita beruntung, hujan ini tidak bertambah dan kita bisa segera menemukannya,” tanggapnya.
“Jenis pohon apa mereka banyak tempati?” lanjutku.
“Pohon bambu, pohon rotan, pohon palem, juga biasanya ada di kebun-kebun coklat.”
“Apa saja ancaman bagi kehidupan dan tempat sarang mereka?” lanjutku.
“Paling banyak itu penggunaan obat serangga di kebun. Karena kalau mereka makan serangga yang sudah kena obat, maka pasti mati, selain itu jika rotan dan bambu diambil oleh masyarakat, karena belum semua masyarakat tahu terkait pentingnya Tarsius ini,” jelas Fauzan.
“Dalam satu tempat, berapa Tarsius yang tinggal di situ?”
“Kalau tempat saya memantau ini, ada 5 ekor.”
Saya masih terus bertanya mulai dari berapa jumlah anak, asal usul Fauzan, hingga pemilik rumah.
Fauzan menjawab tidak tahu pasti jumlah anak Tarsius tapi pengalamannya maksimal 2 ekor. Saat Tarsius memindahkan anaknya dengan cara menggigit di bagian punggung seperti cara kucing pindahkan anaknya.
Fauzan sebelumnya tinggal di Sulawesi Tengah dan tahun 2014 ke Pohuwato lalu bawa keluarga di 2015. Fauzan tinggal dengan istri dna anaknya 2 orang.
Tanpa terasa, tepat jam 16.10 kami sudah tiba ditempat pemantauan, kami distop oleh Fauzan, dan dia secara perlahan masuk ke bawah pohon bambu yang rimbun itu.
Hanya menunggu waktu 3 menit, Mang Fauzan sudah berteriak.
“Pak pak…pak, ini sudah ada satu keluar.”
Maka kami pun mendekat, tapi tidak lebih 4 orang. Saya mendahulukan teman-teman yang pegang kamera video, tapi karena yang pegang pakai baju terang (putih) kelihatan mencolok sehingga Tarsiusnya sembunyi lagi.
Kami harus bersabar di tengah-tengah hujan yang makin deras tapi tertolong oleh rimbunnya bambu yang jadi atap langit sehingga tidak terasa.
Pemantauan terus berlangsung walau hanya 1 ekor yang baru muncul tapi selang 20 menit kemudian muncul lagi satu ekor tapi masing sangat malu-malu dan bersembungi di belakang pohon bambu sehingga sulit mengambil gambar yang bagus.
Namun tepat jam 18.05, satu ekor Tarsius keluar dari sarangnya dan hinggap di bambu yang dekat kami menunggu dengan sabar.
Momen itu dimanfaatkan oleh tim yang memang bertugas memfoto dan satu kegembiraan luar biasa yang mereka rasakan ketika memperoleh gambar close up Tarsius.
Setelah tercapai target, kami pun kembali pulang dengan menyusuri sungai dan tiba di rumah Pak Slamet sekitar jam 18.45 menit.
Sepanjang perjalanan pulang kami sangat senang, gembira walaupun harus melewati medan berat, berbecek karena baru selesai hujan. Di perjalanan itu Mang Fauzn menceritakan bahwa kami beruntung bisa ketemu tarsius walau cuaca seperti ini, kelompok lain belum tentu dapat.
Mengamati Tarsius itu hanya boleh di dua waktu yakni saat jam 6 pagi ketika mereka kembali ke sarang, artinya dari desa kita sudah harus star jam 4 subuh, kemudian sore mulai dari jalam 17.00 – 18.00.
Di rumah Slamet, teman-teman lain sudah tiba lebih awal dan benar dugaan dari Mang Fauzan bahwa dua kelompok ini tidak ketemu Tarsius dan mereka sepakat melanjutkan lagi besoknya.
Di rumah itu kami harus bersih-bersih badan kemudian ganti pakaian, setelah itu makan malam, setelah makan malam pertemuan dengan masyarakat dan pemerintah desa.
Bertemu Kades dan masyarakat
Jam 20.10 WITA kami memulai dialog dengan Kepala Desa dan Ketua BPD serta 20 orang tokoh masyarakat Mekarti Jaya.
Saya didaulat memberi pengantar, saya menyampaikan desa ini harus beryukur diberi anugerah oleh Allah SWT, satu spesies langka dimana gara-gara spesies ini kita bisa bersilaturahmi seperti ini.
Saya menyampaikan bahwa dari 104 desa/kelurahan di Pohuwato, hanya satu desa ini yang kami pilih untuk dikunjungi seperti ini.
Oleh sebab itu, tidak ada jalan lain kalau desa ini mau ramai, mau berkembang, mau maju, maka jagalah karunia ini, karena kalau spesies ini hilang maka tidak ada lagi yang bisa dibanggakan.
Saya mengatakan bahwa kedatangan ini karena mendengar pemerintah desa mau mengembangkan ekowisata di sini.
“Info itu saya dengar langsung sama pak kades ketika berkunjung ke sini. Insiatif desa ini kami sambut sehingga kami berkunjung ke sini,” kataku.
Pak Kades berterima kasih atas kunjugan tim kabupaten bersama Burung Indonesia.
“Sepertinya kita sudah konek ini, gayung sudah bersambut, maka kami ingin segera hal ini bisa diwujudkan bersama.” kata Kades.
Setelah itu, Kadis Pariwisata memberikan sambutan tentang pentingnya komitmen pemerintah desa dan masyarakat untuk menjaga dan melestarikan Tarsius ini. Lalu ditambahkan oleh ibu Asisten Ekbang dan juga dari Burung Indonesia dengan penegasan yang berorientasi pada pelestarian dan perlindungan habitat Tarsius.
Kami pulang dengan rasa senang, melihat Tarsius dengan mata kepala dan memperoleh simpulan kerjasama antara kami, Pemeirntah desa dan masyarakat untuk untuk menjadikan desa Mekarti Jaya menjadi Desa Ekowisata.
Masyarakat desa bersama Pemerintah setempat akan berbenah, membuat desa ini bersih dan asri, ramah serta akan merintis lahirnya Perdes perlindungan habitat Tarsius.
Keren bukan?
___
Editor: Kamaruddin Azis