Yang Berbeda dari Ponggok dan Srimartani

Yogyakarta, COMMIT – Ada dua desa yang menyita perhatian para pemangku kepentingan di Kabupaten Luwu Timur saat melakukan studi tiru ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kedua desa itu adalah Desa Ponggok, di Kecamatan Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah. Yang di kedua adalah Desa Srimartani, Kecamatan Prambanan, Sleman.

Berikut laporan Faizal Halim, fasilitator PKPM kepada admin COMMIT yang ikut dalam kegiatan tersebut.

***

Di Ponggok, warga disebut berhasil mengelola pemandian tua dari pemasukan Rp 5 juta per tahun menjadi sekurangnya 1 miliar per tahun. Mereka mengelola obyek wisata bernama Umbul Ponggok yang mempunyai fasilitas unik. Di dalam kolam ada sofa, motor, kuda lumping, ikan. Para pengunjung bisa berenang sambil selfie di dalam air.

Yang kedua adalah Desa Srimartani. Srimartani memiliki potensi pertanian, ada aktivitas peternakan, pasar desa, UKM hingga sumber mata air.

Demi mengelola potensi tersebut, mereka mendirikan Bumdes dalam bidang pengelolaan pasar desa, Pengelolaan sampah terpadu, pusat riset hortikultura, pengelolaan air bersih, etalase hasil produksi warga dan pelayanan jasa.

Pada kunjungan studi tiru tersebut, peserta yang datang dari unsur Pemerintah Kabupaten, Kecamatan, anggota sekretariat dan tim koordinasi Pengembangan Kerjasama dan Pemberdayaan Masyarakat (PKPM) Luwu Timur, bertemu Yani Setiadi S.Sos, Sekdes Ponggok yang juga ketua Asosiasi Sekdes Seluruh Indonesia.

Menurut Yani, sebagaimana dilaporkan fasilitator kecamatan PKPM, Faizal Halim, desa ini sesungguhnya bisa berubah karena adanya keprihatinan Pemerintah Desa terhadap para tengkulak, para rentenir yang datang menawarkan uang pinjaman sebesar 1 sampai 2 juta.

“Petani hanya buruh harian dengan upah 50 ribu perhari,  tentu sangat memberatkan untuk hidup.  Belum lagi bayar piutang, bayar bunga,  potongan,  dan lain-lain.  Akhirnya Bumdes mengambil dana sebanyak 100 juta dimana 70 juta untuk menutupi piutang masyarakat.  Sisanya untuk operasional Bumdes,” jelas Yani sebagaimana disampaikan ke peserta studi kaji tiru.

Tidak kurang 40 ribu wisatawan berkunjung ke Desa Ponggok saban bulan. Ada empat umbul atau pemandian alami yang dijadikan area rekreasi. Desa ini juga menghasilkan tidak kurang 9 ton padi setiap lima bulan. Tak hanya itu, ada sekurangnya 6 ton ikan air tawar dipanen setiap minggunya. Jika diakumulasi keseluruhan, pendapatan desa melonjak hingga Rp 4 miliar per tahun.

Sementara itu, Alwy Chaidir peserta asal Nuha menambahkan bahwa awalnya yang digiatkan adalah unit-unit usaha yang ada di sekitar Desa Ponggok lalu perlahan diambilalih Bumdes.

Menurutnya, pengelolaan sumberdaya air di Desa Ponggok bermula dari potensi sumber mata air sedalam 1-1,5 meter.

“Ini muncul di 8 titik, lalu Pemdes berinisiatif untuk menata menjadi tempat permandian yang kemudian dilengkapi dengan fasilitas seperti peralatan selam. Ada pelampung, snorkel, hingga sofa,” jelasnya.

“Dengan metode promosi melalui media sosial, lambat laun tempat wisata ini banyak dikunjungi masyarakat dari luar daerah,” kata Alwy.

Setelah tempat ini menghasilkan nilai APBDes yang lumayan besar, lanjut Alwy, kemudian diambil alih oleh Bumdes dan dibuatlah unit usaha lainnya seperti tempat pemeliharaan ikan, mini market desa, simpan pinjam, jasa penyewaan mobil dan lain sebagainya.

“Yang unik, dari dana yang dikelola oleh Bumdes ada 10 persen yang diperuntukkan untuk mengcover BPJS kesehatan masyarakat, pendidikan dengan program 1 desa 1 sarjana, perlindungan lansia dan rehab rumah. Tak hanya itu tetapi juga ada disiapkan internet gratis, jadi promosi menjadi lebih mudah,” tambahnya.

Dia menyebut bahwa intinya, komitmen Pemdes untuk menggunakan Dana Desa atau ADD seluruhnya ke rencana pembangunan yang telah disepakati. “Dan semua laporan penggunaannya ditransparankan ke masyarakat,” jelasi Alwy.

Di Desa Srimartani, mereka mengelola potensi dengan memaksimalkan keberadaan Bumdes bernama Srimartani Makmur.

BUMDes yang didirikan pada 2017 dengan usaha pengelolaan pasar desa menarik retribusi dari pedagang pasar untuk lods sebesar Rp.1.000 dan kios 1.500. Jumlah pedagangnya mencapai 130 orang.

“Dari dana yang dikelola dengan sharing dana desa kemudian dilakukan renovasi pasar desa,” tambah Alwy.

Bagi peserta studi tiru ini, hasil kunjungan dari Desa Ponggok dan Srimartani ini semakin memacu keinginan mereka untuk segera menyusun langkah strategis dan teknis PKPM.

“Hasil diskusi tadi malam, di sela makan malam, Pemda dalam hal ini Pak Budiman akan melakukan pertemuan secepatnya untuk membuat matriks hasil studi tiru. Lalu dikerucutkan menjadi sebuah rencana aksi sesuai informasi yang diperoleh. Eksekusinya harus cepat, kalau tidak akan kehilangan momentumnya, “ jelas Andi Narwis menirukan Budiman, anggota Tim Koordinasi PKPM Luwu Timur dari unsur Pemerintah.

“Pelajarannya adalah, membangun kawasan seperti ini sejatinya dibangun dari lingkup terkecil yaitu desa sebagai basis kemandirian,” ujar Narwis.

“Ponggok mampu membangun kawasan terpadu, mampu mengambil alih pesan Pemerintah Daerah dan Pusat, mereka membangun ratusan rumah untuk orang miskin, ada Jamkesdesa hingga alokasi dana 10% untuk CSR,” kunci Narwis.

Denny Patandung, anggota tim sekretariat dari Kecamatan Towuti mengatakan bahwa dari dua kunjungan ke Desa Srimertani dan Ponggok, dia menemukan adanya faktor kunci; sinergi!

“Ada sinergi antara masyarakat, BPD, Pemerintah Desa. Mereka punya komitmen dalam membangun desa. Ini relevan dengan kita di Luwu Timur, bahwa meski boleh dikata gersang namun mereka dapat anugerah air yang mengalir. Mereka ada inovasi, menjadikan sumberdaya alam itu jadi sumber pendapatan bagi masyarakat desa,” katanya.

Sementara Suarni Jufri, anggota tim sekretariat dari Kecamatan Nuha, tertarik dengan cara Pemerintah Desa menata pasar.

“Tertarik melihat bagaimana mereka menata pengemasan sayur dan barang jualan, sayur bisa bertahan hingga 4 hari meski tanpa masuk ke lemari pendingin, ada efisiensi, tidak mubasir,” katanya.

“Kuncinya ada kerjasama, ada kejelasan tugas dan bertanggungjawab,” pungkasnya.