Gula Aren Sandaran Ekonomi Dusun Oloh

COMMIT – Sekretaris eksekutif COMMIT, Kamaruddin Azis berkunjung ke Kabupaten Situbondo dalam bulan Maret 2020. Ada banyak temuan dan inspirasi selama berkunjung ke Kabupaten di Jawa Timur berjuluk Bumi Sholawat Nariah ini. Simak yuk!

***

Bupati H. Dadang Wigiarto, S.H bersama pejabat OPD Situbondo menapaki jalan menanjak menuju jantung Dusun Oloh, Desa Patemon, Situbondo, 18/03/2020. Matahari beringsut ke barat saat mereka sampai di rumah tujuan. Tetamu lalu duduk selonjoran, membuang penat.

Desa Patemon sungguh istimewa. Menurut penuturan warga, di desa ini ada jalur yang pernah dilewati tokoh Situbond, K.H. R. Syamsul Arifin, Kiai As’ad, Kiai Fawaid, Kiai Azaim pada sekira 4 tahun lalu. Para Kiai melintas dari Patemon menuju Desa Kukusan di balik gunung dan memberi nama jalur ini ‘Jalur Bismillah’.

Siang itu, Bupati dan rombongan yang duduk melantai di teras rumah dijamu manis minuman aren. Belasan gelas tersedia, nampak dua wadah berisi cairan nira hasil sadapan warga setempat.  “Minum bang, ini nira yang ditampung warga,” kata Mashudi biasa disapai Cak Udi, aktivis LSM Situbondo yang menemani penulis.

Di halaman rumah, di depan mata tetamu, Husaimah, perempuan paruh baya, bergegas memasang tungku pengapian. Dia hendak memasak cairan nira yang dibawa pulang suaminya, Misto, dari hutan Oloh.

Perempuan lainnya, Sutinah, 28 tahun, bersiap memasukkan kayu bakar dan menata penampung nira untuk dituang ke wajan masak. Suami Husaimah kembali ke hutan untuk mengambil bumbungan tersisa. Bumbungan adalah wadah penampung yang terbuat dari bambu ukuran besar, semacam bambu petung.

Butuh waktu sejam untuk pulang pergi ke lokasi pengambilan nira di hutan Oloh. “Kadang lebih pak, bisa sampai sejam ke lokasi pengambilan. Di lokasi palingan 30 menit sebelum balik lagi ke sini,” ucap Husaimah terkait usaha suaminya.

Usaha ini menurut Mat Ali, Kepala Dusun Oloh telah berlangsung turun temurun. Ada seratusan warga Dusun Oloh yang menjadi pelaku usaha pembuatan gula aren. Bukan hanya suami atau pria tetapi para istri juga ikut serta termasuk Sutinah, gadis desa bahkan usia kakek-nenek.

“Untuk menampung cairan aren, ada penampung dari bambu memanjang seukuran satu meter, inilah yang dipasang pada saat pagi hari lalu diambil pada sore hari,” kata Mat Ali. Selain mengambil cairan enau, warga juga menggunakan daun enau untuk pembungkus gula aren.

Nampak beberapa orang membawa bumbungan dari arah timur. Ada yang menggunakan kendaraan roda dua ada pula yang jalan kaki. Berkendara sembari memboyong bumbungan di pundak. Ini tentu cukup unik dan menantang sebab medan yang dilalui adalah jalan mendaki.

Menurut Mat Ali, saat kaum pria ke hutan memasang wadah penampung cairan aren, di rumah ibu-ibu atau perempuan menyiapkan wadah pemasakan, menyiapkan pembungkus bakal gula aren dan segala pernik pengolahannya.

“Inilah sumber pendapatan warga kami sedari dulu, semuanya,” tutur Mat Ali.

Husaimah dan Sutinah baru saja selesai memasang tungku. Mereka bersiap memasak air nira untuk jadi gula aren. Nira yang diperoleh Misto, suami Husaimah kira-kira ada 4 liter dari satu bumbungan.

“Suami saja keluar lagi ngambil,” kata Husaimah. Maksudnya ke hutan lagi ambil bumbungan tersisa. Menurut Husaimah, hari itu, 18 Maret 2020, suaminya berangkat sedari pukul 6 pagi. “Pulangnya setengah sembilan. Jadi kalau perjalanan bisa dua jam, kalau di hutan palingan 30 menit.”

Sementara itu Mat Ali, Kepala Dusun Oloh menyebut bahwa lokasi pengambilan nira warganya berlokasi di Hutan Polaseng. Bisa dtempuh 30 menit dari tepi kampung atau bisa berjam-jam untuk sampai di inti hutan.

Mat Ali menyebut dari tahun ke tahun, warga Oloh yang mengambil nira kian bertambah. Dia bahkan mengingat nama-nama warganya yang sering ke hutan.

“Selain suami Husaimah, nama-nama warga yang ke hutan Oloh adalah Firman, Ahmadi, Suyono, Bakir, Meliono, Abdurrahman, Syamsul, Posiana, Jatmo, Faiza, Syamsul, Fauzan hingga Haji Fauzi. Lebih seratusan orang,” kata Mat Ali. “Semua warga Oloh sudah pernah ambil gula aren. Lebih 192 warga adalah pencari dan pengolah gula aren.”

Sutinah, perempuan yang menemani Husaimah mengaku baru setahun ini aktif mengolah gula aren. “Suami saya setahun lalu 2019 mulai sering ke hutan,” kata Sutinah.

Potensi

Penulis mencatat bahwa selama ini, warga jarang menakar hasil perolehan nira dengan literan atau kiloan tetapi mereka menggunakan bambu bumbungan sebagai penanda atau rujukan. “Satu bumbungan ini diperkiran 4 liter kalau penuh,” imbuh Mat Bey, aparat Desa Patemon yang juga datang ke Oloh menyambut rombongan Bupati.

“Ada warga yang pernah dapat 12 bumbungan. Paling pendeknya 4 liter, jadi kalau 12 bumbungan bisa dapat 48 liter. Ini yang pernah saya lihat,” kata Mat Ali.

Warga pembuat gula aren (dok: K. Azis)

Mat Ali bilang bahwa sekira 1 liter cairan nira bisa menghasilkan 10 biji gula aren. “1 bungkus gula aren yang dijual berisi 10 biji. 1 kilo kadang ada 3 bungkus,” ujar Sutinah menambahkan.

Warga Oloh bisa mengantongi ratusan ribu dari hasil penjualan gula aren. Mereka menjual ke ibukota kecamatan Patemon atau langsung dikirim ke Situbondo.

“Tapi lebih banyak yang datang ke sini membeli. Harganya 9 ribu perbungkus. Tadi pagi saya jual 100 biji, dapay uang 900 ribu. Itu hasil penjualan gula aren. Jadi harga perbungkus 9 ribu kadang juga 8 ribu saja,” kata Sutinah. 100 biji setara dengan 3 kilogram lebih gula merah atau kurang lebih 40-45 ribu perkilo.

Untuk dapat 100 biji tersebut, Sutinah menyebut tergantung kekentalan dan proses pengolahannya. “Kadang dapat 10 biji, kadang pula dapat 15 biji,” imbuhnya.

Produksi perorang ditaksir antara 10 hingga 20 biji perhari, jadi kalau dihitung kasar, katakanlah perorang bisa produksi 15 biji maka perbulan mencapai 450 biji gula merah, jika ada 192 warga maka total produksi gula aren mencapai 86.400 biji gula merah.

Jika 1 kilo diperoleh 30 biji gula aren maka mereka produksi 2,88 ton gula aren perbulan atau setara dengan harga Rp. 115,200,000 juta nilai penjualan per bulan dari gula aren di Dusun Oloh.

Disaksikan Bupati Sutubondo, tangan Husaimah menari di atas potongan bambu kecil sebagai bahan pencetak gula aren. Nira yang sudah mengental di tuang di potongan bambu. Dengan telaten dia menuang dan mengukur hingga penuh. Ini bagian penting dari proses pembuatan gula aren itu, memasak nira, mencetak lalu mendinginkannya.

Sesekali dia dicandai oleh para tetamu. Dia tertawa dan sesekali membalas dengan aksen Jawa Timuran khas Madura.

Tantangan

Sejauh ini, menurut Mat Ali, potensi pemanfaatan hutan aren di Hutan Polaseng cukup besar dan berdampak positif pada kehidupan masyarakat setempat. Ada 15 hektar pohon aren yang menjadi sandaran mata pencaharian warga Oloh.

“Kami sangat mendukung mata pencaharian ini, bahkan sudah ada Peraturan Desa yang mengatur pemanfaatan hutan aren ini. Warga tidak bisa menjual pohon ke luar kampung (pembeli dari luar). Sudah ada Perdes berarti kami menyadari pentingnya hutan ini,” turut Mat Ali.

Meski begitu, Mat Ali tidak menampik bahwa jumlah pengolah nira dari tahun ke tahun juga bertambah. Selain mempertahankan luas hutan, dia juga berharap arealnya nira atau aren bisa diperluas pula dengan menanam pohon tambahan.

Sementara Mat Bey berharap ada dukungan bagi pengambil dan pengolah nira ini.  “Semoga ada dukungan bagi pelaku usaha gula aren agar bisa bisa menambah pendapatan masyarakat Desa Patemon secara luas,” ucap Mat Bey, Kaur Pemerintahan Desa Patemon terkait usaha gula aren warga desanya.

Bupati Situbondo mengaku bangga atas daya tahan warganya. Menurutnya ini merupakan modal penting menuju apa yang disebutnya sebagai kemandirian.

“Ini contoh potensi sumberdaya alam Situbondo yang harus dijaga dan dikembangkan. Saran saya ke depan, kita bisa kembangkan produksi ‘gula semut’. Produk yang dapat meningkatkan harga jual gula olahan kita,” kata H,. Dadang Wigiarto menitip pesan ke Kades Patemon, Mudhar yang disaksikan Kadis Pertanian, Sentot dan Kadis Perindustrian Abdul Kadir J. (*)