COMMIT. – Tahun 2006, seorang profesor bernama Ivan Buddenhagen dari University Of California, Davis, mengunjungi Kota Palu. Dia melakukan perjalanan akedemik di Sulawesi. Dari Palu akan terus menuju Manado. Dan, di sinilah dimulainya masalah itu.
Prof Ivan ditemani seorang kolega dari Universitas Tadulako untuk membeli tiket pesawat Palu Manado. Harganya sekitar 800 ribu. Mulanya beliau setuju-setuju saja. Harga tidak menjadi masalah.
Namun, ketika ditunjukan tiketnya, beliau protes keras. Mengapa?
Ternyata, beliau diberi dua tiket yang kala itu diistilahkan dengan perjalanan per sektor. Tujuannya ke Manado, tapi lebih dahulu ke Makassar. Saat ini, kita sebut transit. Waktu itu juga sudah dijelaskan tentang transit. Tapi, profesor tetap bersikeras, mengapa harus ke Makassar?
Kalau untuk transit, mengapa harus diberikan dua tiket?
Beliau melanjutkan dengan kata-kata ini. “Bila terjadi sesuatu pada diri saya saat berada di Makassar, negara saya akan menyalahkan saya. Sebab, Makassar bukanlah destinasi dari tugas pokok saya,” katanya.
Pihak travel mengatakan bahwa sudah demikianlah aturan mainnya dari perusahaan penerbangan.
Dengan sedikit bentakan, beliau berucap cukup keras dan tegas. “Di sinilah masalah pemerintah mu,” serunya.
Dia tujukan ucapan itu kepada pihak travel.
Tapi, saya kira untuk seluruh rakyat indonesia agar diteruskan ke pada pemerintah. Karena itu, artikel ini saya tulis.
Pemerintah, kata Prof Ivan, memiliki satu hak yang tidak boleh dimiliki oleh pihak lain, selain pemerintah. Hak itu bernama hak pemaksaan. Pemerintah boleh memaksa pihak manapun untuk dan atau atas nama kepentingan publik atau banyak orang.
Beliau lalu menengok ke Nur Edy, sang akademisi yang menemaninya.
Ilmuan, kata beliau, tidak boleh menjadi penonton di tengah dinamika kebijakan publik. Ilmuan harus menjadi penggerak bagi lahirnya warga negara aktif (active citizenship).
Ingatan saya pada cerita tentang prof Ivan ini mencuat kembali ketika tiket pesawat terbang menghebohkan Indonesia saat ini.
Harga tiket pesawat melambung tinggi tidak terkendali. Tinggi di luar kewajaran di musim sepi penumpang. Sangat mengecewakan, karena di daerah yang baru dilanda bencana pun, tiada ampun. Padahal, di situ berdatangan para relawan yang bekerja sukarela atas nama kemanusiaan. Dan, umumnya mereka naik pesawat.
Parah, bahkan memalukan sebagai bangsa, ketika orang Indonesia di Sumatra harus mengurus tiket untuk dapat penerbangan murah dalam negeri.
Mereka melintas ke Malaysia atau Singapura untuk sampai ke Jawa. Sejak Indonesia merdeka, sepertinya baru kali ini ada kejadian begini.
De facto, mengindikasikan bahwa kita telah pecah, karena butuh paspor untuk saling mengunjungi.
Menyedihkan, karena ini dilakukan akibat kebijakan yang membuat masyarakat kehilangan daya beli. Lebih cilaka lagi, kebijakan itu adalah kebijakan dari dunia usaha. Dan, pemerintah diam tidak berdaya ataukah tidak perduli?
Wallahua’alam.
___
Penulis: Muhd. Nur Sangadji (Dosen Universitas Tadulako, pendiri Yayasan COMMIT)
editor: K. Azis