MAKASSAR, COMMIT – Di mana-mana orang bicara Big Data, data, data, data. Big Data adalah istilah yang menggambarkan volume data besar, baik data yang terstruktur maupun data yang tidak terstruktur.
Sejauh ini, orang-orang menyebut bahwa Big Data telah digunakan dalam banyak bisnis maupun proyek pembangunan, tetapi pertanyaannya, benarkah di situ simpul persoalan (atau kebutuhan) pembangunan nasional kita?
Relevan dengan itu, Admin mewawancarai Direktur Eksektutif COMMIT, Ashar Karateng, terkait data, dimensi dan substansi informasi dan kaitannya dengan perencanaan pembangunan daerah. Tidak spesifik mendedah dimensi teknis Big Data tetapi pada makna filosofis operasional di baliknya.
Ashar adalah master fasilitator yang banyak bekerja untuk proyek JICA di Indonesia yang telah mengampu ratusan pelatihan fasilitator masyarakat dan perencanaan pembangunan daerah.
Penting mana sesungguhnya, sumber, data, informasi atau apa?
Kita perlu data dan informasi tapi masalahnya, orang tidak bisa hanya menggunakan data yang merangkum banyak hal tetapi yang lebih penting apa yang harus dilakukan oleh pemiliknya, bisa masyarakat, bisa perusahaan, bisa lembaga LSM. Bagaimana menggunakannya, menganalisisnya. Oleh unit atau organisasi yang ada dengan data tersebut.
Mengumpulkan data dan informasi dengan benar serta kemampuan kita membaca data adalah hal-hal yang selama ini banyak diabaikan. Paling tidak jika membaca metode, gaya, cara dan trend berkait kebiasaan dan laku para perencana, pendamping atau fasilitator masyarakat,
Bisa diberikan contoh?
Saya ingin memulai dari sini. Contohnya, kita atau banyak perencana yang masih tidak paham dan membedakan apa itu angka buta huruf serta melek huruf. Menghitung angka buta huruf hanya berlaku untuk anak 12 tahun ke atas.
Jadi kalau dikatakan angka buta huruf 20%, maka itu berarti 20% dari penduduk usia 15 tahun. Siapa yang dimaksud buta huruf? Iya, pada yang tidak bisa baca huruf Latin. Nenek saya bisa membaca Al-Qur’an tapi mungkin saja tidak bisa baca huruf latin.
Pengertian melek huruf adalah bisa membaca dan menulis. Jadi kita harus paham pengertian angka buta huruf dan mengetahui cara menghitungnya. Melek huruf dan buta huruf sering dianggap sama baik oleh perencana maupun fasilitator desa.
Apa manfaatnya bagi perencana atau fasilitator proyek di daerah?
Angka buta huruf dan melek huruf itu harus ditahu angka ini ada di mana, dan yang tahu tentang ini harus kita semua yang ada di Pemerintahan.
Angka makro kabupaten penting untuk diketahui, tetapi itu tidak ada gunanya bila kita tidak mengetahui tempatnya, ranahnya, atau letaknya. Hanya dengan mengetahui tempatnya, maka kita akan dapat mengintervensi.
Itu sama halnya dengan mata pencaharian dan cara kita memberi label pada warga atau penduduk.
Maksudnya? Bisa dijelaskan?
Ambil contoh, orang Galesong, mata pencaharian utamanya apa? Ketika kita mau mendata atau mengetahui mata pencaharian seseorang, maka kita dulu yang harus paham apa maksudnya itu.
Mata pencaharian berdasarkan standar statistik adalah jumlah waktu yang digunakan dalam sehari atau waktu tertentu. Oleh karena itu, di masyarakat kita harus hati-hati.
Saya pernah punya pengalaman ketika pergi ke Pulau Barang Lompo, yaitu salah satu pulau di Depan Pulau Makasar.
Saya ke sana, 1 jam pertama saya gunakan untuk berkeliling pulau. Di satu titik saya melihat seseorang sedang memperbaiki perahu. Jam 9 waktu itu. Saya duduk 15 menit, dan orang itu juga selama 15 menit memperbaiki perahu. Lalu saya pulang, dan kembali ke tempat itu pada jam 12.
Ketika kembali pada jam 12 tersebut, saya melihat Bapak tadi masih membuat perahu. Setelah itu saya pulang kembali untuk makan siang, dan sore hari sekitar jam 4 saya pulang kembali dan saya masih melihat Bapak itu memperbaiki perahunya.
Lalu, di sore itu, saya tanya Bapak itu “Bapak ini sebenarnya pekerjaannya apa?” Ia menjawab “Saya nelayan”. Berikutnya saya tanya lagi “Kemarin Bapak kerja apa?”
Ia menjawab “saya membuat perahu ini”. “Sejak kapan Bapak kerja seperti ini?” sejak Bapak saya mengajari saya membuat ini”.
Apa yang mau disampaikan sebenarnya?
Yang sayang ingin bilang bahwa apa yang kita dengar, apa yang dia bilang berbeda.
Ini juga yang kita harus waspadai dengan penyajian data dan informasi itu. Apalagi jika salah menginputnya, salah mengambilnya.
Terkait pengalaman dengan pekerjaan dan mata pencaharian itu, saya bisa bisa teruskan. Saya mengatakan bahwa “Bapak ini pengrajin perahu bukan nelayan, dan sebenarnya sejak kapan Bapak mengatakan bahwa Bapak adalah nelayan?”
Bapak itu menjawab “Waktu itu ada yang datang, dan bertanya, apa pekerjaan Bapak?
Saat itu saya hanya diam dan tidak menjawab, lalu Ia berkata bahwa Bapak ini nelayan. Sejak saat ini, bila ada yang bertanya apa pekerjaan saya, maka saya jawab ‘saya adalah nelayan’.
Apa yang bisa dipetik dari cerita ini?
Betapa berbahaya menggunakan data dan informasi seperti ini, bukan? Kita tidak bisa memahami situasi masyarakat dengan benar tanpa mempunyai pemahaman dasar tentang apa yang kita tanyakan.
Kalau pekerjaan dipersepsikan dengan pendapatan, maka kita akan keliru. Itu contoh saja. Kita harus hati-hati dengan konsep, dengan istilah, defenisi, setidaknya kita pahami letaknya dan untuk apa. Kita juga sebagai perencana harus tahu cara menghitungnya.
Apa refleksi penting dari pengalaman memfaslitasi pelatihan perencana dan fasilitator selama ini?
Ada beberapa hal yang menarik untuk kita petik dari pengalaman selama hampir 20 tahun memfasilitasi pelatihan fasilitator dan perencana.
Yang pertama pentingnya berbahasa sederhana. Bahasa yang baik, adalah bahasa yang bisa dimengerti, mulai dari anak-anak umur belasan tahun sampai nenek-nenek umur puluhan tahun.
Bahasa menjadi penting karena kita tidak bisa bicara di depan masyarakat dan hanya mengatakan bahwa “bicara saya hanya dipahami oleh orang SMP”.
Ketika kita mau menjelaskan ke masyarakat tentang masalah, kebutuhan dan isu, maka cari bahasa atau cari cara yang membuat masyarakat memahami ketiga hal tersebut dengan mudah.
Tentu saja, banyak definisi mengenai ini. Tapi saya ingin tegaskan bahwa ketiga hal tersebut kita bicarakan dalam konteks pemberdayaan masyarakat.
Tentang masalah dan isu, kalau kita lihat infotainment, maka isu mereka definisikan sendiri. Begitu juga di dunia politik. Di ranah pembangunan atau fasilitasi, isu berbeda bukan?
Bagaimana membedakan isu, masalah atau kebutuhan?
Saya ambil contoh. Saya ASN dan sudah telah diangkat selama 20 tahun. Setiap hari kecuali hari libur saya di kantor. Peraturan di kantor saya bahwa setiap orang yang masuk kantor harus memakai sepatu.
Karena itu saya memiliki 1 sepatu dan setiap hari saya gunakan ke kantor. Suatu hari sepatu saya robek, sehingga jempol saya sedikit kelihatan. Saya menggunakan sepatu ini ke kantor. Sejauh ini apakah saya mempunyai masalah?
Sepanjang saya masih ke kantor menggunakan sepatu itu, sejauh itu bukan masalah.
Karena harapan saya adalah “bisa ke kantor menggunakan sepatu”. Kalau sesuatu masih berjalan sesuai harapan, maka itu berarti belum ada masalah.
Dalam konteks ini, saya masih tetap memakai sepatu itu meskipun robek. Itu belum masalah. Walaupun, nanti ada orang lain yang akan mengatakan bahwa “sepatumu robek”. Itu artinya ia berada dalam sebuah kategori masalah yang masih bisa ditoleransi.
Bisa diberi contoh?
Ada yang masih bisa kita toleransi, dan ada yang tidak bisa kita toleransi. Masyarakat kalau kita tanya apa masalanya, “kami kesulitan air bersih”. Lalu kita tanya “sejak kapan” mereka menjawab “5 tahun yang lalu”.
Apa yang dilakukan “mencari sumber air yang lain”. Itu berarti masyarakat masih toleransi terhadap kekurangan air selama 5 tahun.
Selanjutnya, kalau saya tidak melakukan apa-apa terhadap sepatu saya, maka suatu saat saya tidak bisa masuk kantor, ini sudah menjadi isu. Apalagi jika kaki terantuk dan mengeluarkan darah, ditusuk paku, bias tetanus. Itu sudah menjadi isu.
Maknanya apa?
Salah satu dosanya para perencana adalah mempermasalahkan segala sesuatu yang tidak ada. Pada contoh tadi, sepanjang saya masih bisa menggunakan sepatu tersebut ke kantor, maka itu bukanlah masalah. Namun suatu saat, saya tidak bisa ke kantor, maka itu adalah masalah. Dan masalah saya adalah “saya tidak bisa ke kantor seperti biasa”.
Pada konteks desa, bayangkan bahwa kita berhadapan dengan kades, dan ia bilang, pak kami punya sayuran sekian ikat per minggu, tomat dan lainnya sekian perminggu.
Kita akan menyebut itu persoalan atau masalah ketika dia mengatakan hasil-hasil tersebut tidak bisa di angkut ke pasar karena jalan rusak. Baru kita percaya bahwa jalanan menjadi soal.
Ini yang harus semua pihak pahami bahwa kita harus selalu tunduk pada keputusan permasalahan sebelum konfirmasi dan cek gejala dan fakta-fakta penguatnya.
Apa yang ingin disampaikan ke Pemerintah dan fasilitator program?
Pesan buat kita adalah Pemerintah atau fasilitator adalah masyarakat desa juga harus paham situasinya, lalu ia berpikir bahwa inilah jalan keluarnya. Tapi kita juga paham bahwa orang desa, karena dia hidup sehari-hari dengan situasi seperti ini, ia juga seringkali tidak dapat mengetahui apa sesungguhnya yaag ada di desa tersebut.
Karena itu, masyarakat desa membutuhkan orang luar seperti perencana, fasilitator, pendamping untuk membicarakan hal tersebut.
Para pengambil kebijakan harusnya menyadari ini untuk memberi ruang masuknya ‘fasilitator’ itu, yaitu mereka yang bisa membantu masyarakat menemukenali potensi, keadaan dan mengurai persoalan-persoalan yang menggelisahkan di antara mereka. (KAS)