KENDARI – Ketua Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) Dewan Pimpinan Wilayah Sulawesi Tenggara, Amadhan Takwier, S.Kel, M.Si secara implisit memuji Pemprov Sultra yang telah proaktif menyiapkan perangkat hukum dan kebijakan terkait pengelolaan sumber daya pesisir dan laut daerah. Sayangnya, fakta di ceruk pesisir dan perairan Sultra menunjukkan deklinasi kuantitas dan kualitas ekosistem pesisir dan laut yang ada. Aneka ancaman ada di depan mata.
Amadhan mengutarakan hal tersebut saat menjadi pembicara pada webinar bertema potret pesisir dan laut Sultra: dari tata kelola hingga penyiapan SDM yang digelar Yayasan COMMIT dan ISKINDO Sultra, 3 Juli 2020.
Tidak kurang 50 orang menghadiri webinar ini yang diisi pemaparan pengamat ekonomi kelahiran Muna, Abdul Rahman Farisi, S.E, M.Se, mantan Kepala Bappeda Wakatobi yang juga akademisi UHO Kendari Dr Abdul Manan, M.Sc serta mantan Kepala Bappeda Konawe Kepulauan Ir Abdul Halim, M.Si. Moderator webinar ini adalah Kamaruddin Azis, dari DPP ISKINDO.
Regulasi dan isu hangat
Ketua Iskindo Sultra memotret situasi umum pesisir dan laut Sultra yang menurutnya merupakan bagian dari luas daratan 38.140 kilometer persegi, luas laut 114.879 km persegi atau 75 persen.
“Panjang garis pantai 1.740 kilometer dengan jumlah pulau 651. Penduduk pada 2019 sebesar 2,663,654 jiwa sementara laju pertumbuhan 2,18 persen,” ungkap dosen Jurusan Ilmu Kelautan FPIK Universitas Halu Oleo yang biasa disapa Awier ini.
Dia juga menyebutkan bahwa ada proyeksi bahwa penduduk Sultra bisa mencapai 4,504,843 jiwa pada tahun 2050, hal yang perlu diantisipasi. Pemprov Sultra melalui Gubernur Ali Mazi telah mengantisipasi dengan adanya Garbarata atau Gerakan Pembangunan Terpadu Wilayah Daratan dan Lautan-Kepulauan.
Garbarata disebut sebagai manifestasi dari arahan RPJMN 2020-2024 yang ditujukan untuk mengangkat Indonesia dari kelompok lower middle income ($ 3,927) menuju upper middle income ($12,000).
Berdasarkan pandangan Awier, setelah membaca realitas pesisir dan pulau-pulau itu, Pemprov Sultra telah menekankan pada urgensi pembangunan jazirah dan kepulauan Sultra.
“Yaitu pada pelestarian sumberdaya alam dan peningkatan nilai tambah yang berdaya saing. Penguatan SDM dan pengarusutaamaan gender. Lalu, keberpihakan kepada masyarakat miskin dan kelompok marjinal. Ketiga, konektivitas Infrastruktur darat dan lautan untuk pemanfaatan SDA. Fokus utama pembangunan Sultra adalah pada pengurangan angka kemiskisnn, pembukaan lapangan kerja, peningkatan produksi, pertanian, perkebunan dan perikanan,” papar pria jebolan Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin Makassar ini.
Terkait beberapa isu atau problematika pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Sultra saat ini, Awier menyorot dari sisi basis mengapa dan bagaimana Pemprov telah menyiapkan platform atau perangkat hukum seperti telah adanya Perda RZWP3K bernomor 9/2018.
Menurutnya, ini merupakan acuan dalam penyusunan rencana sekaligus sebagai instrumen penataan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Ini juga menjadi dasar izin lokasi perairan pesisir dan izin pengelolaan pemanfaatan ruang. Area 0 hingga 2 mil merupakan prioritas untuk nelayan kecil atau tradisional, dapat diatur melalui Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) sebagai disebutkan pada pasal 29 ayat 5 dan 6,” sebutnya.
“RZWP3K adalah juga acuan dalam rujukan konflik pengelolaan,” imbuhnya. Terkait komitmen Pemprov tersebut juga dapat dilihat pada RPJMD Pergub terkait PAAP No 36 Tahun 2019.
Terkait PAAP ini, menurut Awier, adalah tindak lanjut dari Perda RZWP3K untuk melestarikan hukum adat dan atau kearifan lokal, dengan ini, kelompok masyarakat berhak membuat zonasi dan aturan pengelolaan sendiri. Dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dan memberikan akses khusus kepada kelompok nelayan dalam pengelolaan SDI di wilayah tertentu.
Bukan hanya itu, sudah ada pula Perda Adaptasi Perubahan Iklim No 11 Tahun 2019 untuk aksi adaptasi pembentukan forum adaptasi perubahan iklim Sultra yang merupakan basis dalam menyusun program kerja peningkatan ketanguhan masyarakat.
Dalam paparannya, Awier menjelaskan bahwa inisiasi Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) merupakan akses yang diberikan kepada unit-unit sosial.
“Untuk memanfaatkan dan mengelola wilayah perikanan mereka, untuk memastikan keberlanjutan ketersediaan sumber daya secara bertanggung jawab. Ini didasari oleh kenyataan bahwa pada State Property ada indikasi sentralistik sehingga perlu ada alternatif lain. Namun di sisi lain ada pula azas Common Property yang ternyata disebut sebagai awal tragedy of the common karena open acces maka ada eksploitasi berlebihan atau kurang melibatkan masyarakat setempat (local user)/hak ulayat/kearifan lokal.
Implementas PAAP di Sultra menurut Awier ada di 11 kabupaten, 216 desa/kelurahan, berkaitan dengan 161 ribu penduduk dan ada 27 ribuan hektar luasan terumbu karang.
Hal lain yang disampaikan adalah pencapaian target luasan areal konservasi. “Luasan kawasan konservasi laut itu 23,14 juta hektar dari target 20 juta hektar atau kurang lebih 3,9 persen dari luas Laut Indonesia. Sultra berkontribusi 2,068,557.4 hektar atau 18,01 persen dari luas Laut Sultra, ini setara 8.9 persen sebagai sumbangsih Sultra untuk kawasan konservasi nasional,” jelas Awier.
Geliat usaha di pesisir dan pulau-pulau Sultra yang dipaparkan ketua ISKINDO Sultra ini di antaranya pembangunan PPS Kendari, tahun ada 2020 rencana pengembangan. Lalu ada pembangunan pelabuhan ekspor di Batuputih Poleang Selatan Bombana.
“Ada industri pengolahan rumput laut di Poleang Bombana, sentra industri perikanan Kamaru, Kabupaten Buton dengan luas kawasan mencapai 400 ha. Saat ini dalam tahap studi kelayakan. Lalu rencana industri pengalengan ikan di Wawonii Tengah, Desa Tumbu Tumbu Jaya yang menyasar luas lokasi 110 ha,” tandasnya.
Lokasi-lokasi dan rencana pengembangan ini menurut Awier merupakan bagian dari memandang potensi sumber daya kelautan dan perikanan Sultra yang berada pada area wilayah WPP 713 dan 714.
“Termasuk sebagai bagian dari jalur ALKI III yang menghubungkan titik pelayaran strategis dunia dari utara ke selatan,” imbuhnya.
Kapasitas sumberdaya manusia
“96 persen nelayan Sultra adalah nelayan skala kecil. Sultra pemasok cakalang terbesar di dalam negeri atau domestik keluar. Dalam tahun tahun 2017 Sulawesi Tenggara memasok 26,71 persen,” kata Amadhan.
Menurutnya, ikan-ikan cakalang Sultra sebagian besar dikirim ke Jawa Timur sebanyak 40,85 persen, DKI Jakarta sebanyak 34,32 persen sesuai laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2018.
“Potensi Sultra pada tuna, cakalang, tongkol, kepiting, udang, teri dengan lokasi fishing ground pada Laut Banda dan sekitarnya atau pada wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 714 dan 713,” sebutnya.
Dia menyebut bahwa nilai tukar nelayan dan petambak Sultra per November 2019, naik, 0,05 persen. Meski demkian, ada info yang perlu diantisipasi tentang dampak pandemi dalam tahun 2020 terhadap masyarakat pesisir dan pulau-pulau Sultra.
“Maret 2020 musim tuna, perusahaan stop membeli produk atau dengan harga di bawah 27 ribu per kg. Sebelumnya 45 ribu hingga 80 ribu per kilogram. Pada Juni 2020, di Wakatobi harga tuna loin dari nelayan ke pengumpul mencapai 25 ribu per kg dari pengumpul ke pabrik 30 ribu,” jelasnya.
Bagi Iskindo Sultra, posisi sumber daya manusia di pesisir dan pulau-pulau Sultra berada di antara problematika penegakan hukum regulasi, seperti bagaimana sumber daya manusia bersisian dengan sebaran kawasan konservasi perairan dan hasrat pertambangan di daratan dan pesisir secara bersamaam.
“Faktanya, luas lahan kritis di Sultra telah mencapai 723,862.15 ha. Yang sangat kritis seluas 269,144.16 ha. Lahan berkurang karena aktivitas pertanian dan permukiman. Isu-isu di pesisir berkaitan dengan masih adanya tekanan destructive fishing, perubahan iklim, pembangunan di pesisir,” ucapnya.
Untuk pembudidaya, dia juga melihat berkorelasi dengan kecenderungan perluasan tambak dan dampaknya pada daya dukung ekosistem mangrove atau pesisir.
“Persentase tambak secara berurutan dapat dilihat per kabupaten seperti Bombana, Konawe Selatan, Muna Barat, Konawe, Kolaka Utara, Kolaka. Total yang ada dalam kawasan hutan lindung mencapai 4,865,62 hektar, di luar hutan lindung mencapai 16,859,65 hektar,” jelasnya.
Awier menyebut bahwa Kabupaten Konawe merupakan yang paling luas areal tambaknya dan patut diwaspadai dampaknya pada masa depan ekosistem mangrove. Dia mengutip masifnya tekanan mangrove di Teluk Kolono sebagaimana pernah dilaporkan oleh A A Rahman dalam tahun 2017.
“Alih fungsi mangrove menjadi tambak di Desa Awunio, Kolono Konsel serta dampak kerusakan karena destructive fishing di Pulau Talaga Besar, Buton Tengah sudah diteliti oleh Iskindo Sultra,” imbuhnya.
Lima Rekomendasi ISKINDO
Berkaitan dengan gambaran realitas, dimensi regulasi dan kebijakan pengelolaan serta imbasnya pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat, Amadhan Takwier sebagai ketua ISKINDO Sultra menyodorkan lima rekomendasi.
Pertama, terkait implementasi PAAP. Perlu pelibatan yang lebih intens sektor lain untuk mendukung implementasi ini di Sultra khususnya terkait dengan dukungan infrastruktur, termasuk digital, kaitannya dengan pemasaran.
Kedua, terkait dengan kawasan konservasi, perlu segera dukungan anggaran dan kolaborasi yang lebih intens untuk pengelolaan KKPD khususnya terkait dengan zonasi, badan pengelola dan rencana aksi pengelolaan.
Ketiga, peningkatan skill SDM nelayan, pembudidaya dan pelaku usaha sertifikasi jasa kemaritiman. Hal ini membutuhkan input teknologi.
Keempat, perlu jaminan harga yang pasti dan layak terhadap nilai tikar produk perikanan di Sultra.
Kelima, perlu perhatian dan pemantauan dan evaluasi yang lebih untuk menurunkan tingkat ancaman kerusakan sumberdaya pesisir laut akibat dampak aktivitas industri di darat.