COMMIT – Saat membincang pesisir dan pulau-pulau Nusantara maka yang mengemuka adalah potensi hamparan ekosistem pesisir, mangrove, terumbu karang hingga laut lepas yang menghasilkan beragam komoditas penting, ikan karang, tuna, lobster, rumput laut hingga mutiara. Pulaunya mencapai 16.056 (BPS, 2018) dan panjang pantai mencapai 99.093 km, sehingga pesisir-laut Nusantara adalah ruang hidup, alas ekonomi hingga praktik kebudayaan yang telah terbukti membentuk karakter maritim negara-bangsa Indonesia.
Meski demikian, potret tersebut belum menunjukkan korelasi yang positif antara kekayaan alam dan kualitas sosial kemasyarakatannya atau dengan kata lain penduduk nirdaya yang mempunyai pendapatan di bawah nilai ideal pada Maret 2019 mencapai 25,14 juta orang dari 267 juta jiwa penduduk (BPS, 2019). Sebagian besar mereka ada di pesisir dan pulau-pulau kecil, terutama di Indonesia bagian timur.
Banyak pihak menyebut bahwa sekurangnya ada empat faktor yang menjadi latar mengapa kita belum mampu memanfaatkan potensi sumber daya pesisir-laut efektif. Pertama, kebijakan yang diusung Pemerintah tak konsisten dan tak esensil mengurai persoalan yang ada.
Kedua, kapasitas (dalam pengertian luas) SDM yang tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan atau tantangan yang ada. Ketiga, langgengnya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam praktik bernegara hingga level terendah. Keempat, tidak sinerginya antara unit-unit kerja yang ada, baik Pemerintah, swasta dan organisasi masyarakat sipil. Sangat sulit menemukan kolaborasi multipihak dalam membangun sumber daya yang ada ini.
Dibutuhkan inisiatif atau solusi yang lebih berani, progressif dan mau ‘stand out from the crowd’ problematika seperti itu di wilayah pesisir atau pulau-pulau itu. Tetapi, bagaimana memulainya? Apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi? Bagaimana menyikapinya, bagaimana dia menjadi agenda bersama dan organisasi seperti apa yang bisa merealisasikannya?
Salah satu wilayah yang mempunyai potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang sangat besar adalah Sulawesi Tenggara. Provinsi ini mempunyai 561 pulau dan dikenal sebagai provinsi yang kuat kultur maritimnya. Sayangnya, provinsi ini juga masih merupakan satu provinsi dengan Indeks Pembangunan Manusia (70,61, 2018, rata-rata nasional 71,18) yang masih rendah.
Di antara itu, salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara yang mempunyai catatan baik dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau itu adalah Kabupaten Wakatobi. Kabupaten ini disebut salah satu kabupaten ‘oase inspirasi’ yang berhasil menorehkan catatan prestasi dalam pembangunan potesi kelautan, perikanan dan pariwisata.
Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) Wilayah Sulawesi Tenggara bersama Yayasan COMMIT membaca bahwa potret – apapun warnanya – dinamika sumber daya kelautan dan perikanan Sulawesi Tenggara merupakan inspirasi bagi semua pihak terutama perencana Pemerintah, aktivis lingkungan atau LSM serta pihak swasta dalam mendedah situasi kontemporer pesisir dan laut, atau kondisi kelautan dan perikanan secara umum, kondisi sosiologis dan antropologis hingga daya tahan mereka di tengah situasi yang kian menantang seperti pandemi ini.
Ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh sesiapa yang peduli Sultra, atau masih optimis membawa provinsi ini menjadi lebih baik dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut yang ada.
Seperti apa kondisi sumber daya alam pesisir dan laut Sulawesi Tenggara saat ini dan apa yang telah berubah. Isu-isu apa yang menjadi hotspot yang perlu diselesaikan bersama, seperti apa kapasitas para pemangku kepentingan saat ini dan seberapa siap mereka menghadapi situasi ekstrem seperti saat ini. Apakah terus bertahan dengan kapasitas yang ada atau perlu terobosan baru ke depannya.
Lalu, di tingkat kabupaten atau ‘pelaksana’ agenda pembangunan pesisir dan laut, kelautan dan perikanan, kepariwisataan seperti Kabupaten Wakatobi, seperti apa setting perencanaan saat kabupaten ini menjadi kabupaten otonom dalam tahun 2013 hingga saat ini, seperti apa kapasitas sumber daya manusia dan partisipasi mereka dalam pembangunan daerah.
Apa sesungguhnya kiat-kiat Wakatobi dalam menyiapkan landasan untuk masa depan mereka hingga mantap bersandar pada fokus pada potensi sumber daya kelautan, perikanan dan pariwisata? Untuk itu semua, webinar ini dihelat.
Webinar ini bertujuan untuk memediasi pertukaran pengalaman, gagasan dan inspirasi dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut sehingga dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan baik level daerah maupun pusat. Kedua, memperoleh update, memetakan situasi, isu dan solusi pengelolaan pesisir dan laut Nusantara terutama Sulawesi Tenggara di tengah ketidakpastikan karena pandemi ini.
Metodologi presentasi berbasis aplikasi Zoom, waktu pelaksanaan: pada tanggal 3 Juli 2020, pukul 15.00 – 17.00 WITA.
Narasumber
Pemantik Diskusi adalah Amadhan Takwir, S.Kel, M.Si, Ketua Ikatan Sarjana Kelautan (ISKINDO Sultra), ‘Potret Pesisir dan Laut Sulawesi Tenggara: Hot Spot dan Titik Balik Pengelolaan. Lalua da Abdul Rahman Farisi, S.E, M.Si, Analis Ekonomi Sumber Daya. “Problematika dan Peluang Pembangunan Ekonomi Sultra Berbasis Kelautan dan Perikanan sebagai Pilar Ekonomi Baru Indonesia.”
Turut hadir Dr Abdul Manan, Dosen Fakultas Ilmu Kehutanan dan Lingkungan Universitas Haluoleo, Kendari, mantan kepala Bappeda Wakatobi dan alumni pelatihan U Theory: “Refleksi Pengalaman Pembangunan Pesisir dan Laut Wakatobi, untuk Masa Depan Sumber Daya Pesisi-Lau Nusantara: Rethink The Past, Remake the Future” serta Ir Abdul Halim, mantan kepalda Bappeda dan Calon Bupati Konawe Kepulauam dengan pokok bahasan Hakikat Pembangunan Pesisir dan Pulau-pulau: Solusi dan Inspirasi dari Konawe Kepulauan. (*)