SELAYAR, COMMIT – Padang yang ini bukan Padang di Sumatera Barat tetapi Kampung Padang, satu titik di Desa Bontosunggu, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.
Untuk sampai ke sana, kita mesti menempuh perjalanan hingga 6 kilometer ke selatan dari Kota Benteng, ibukota Selayar. Kita mesti melewati ujung landas pacu bandara Aroeppala, Padang. Ada pagar kawat berduri tetapi warga masih tetap melewati jalan itu.
Hamparan pertambakan, pepohonan bakau dan ladang garam tersebar luas. Pemandangan itu menyambut kita saat memasuki Kampung Padang. Padang adalah satu kampung di pesisir pantai. Di sana terdapat obyek wisata berupa jangkar dan meriam raksasa. Konon, merupakan sisa peninggalan penjelajah asal negeri Tiongkok.
Matahari tepat pukul 12 saat saya menyusuri jalanan yang dilapisi paving block di sana. Air laut sedang pasang seperti terlihat dari kolong rumah warga yang dijilati air laut.
Di sudut kampung, satu bangunan jamban bantuan dinas sedang tertutup rapat. Di sampingnya seseorang sedang berselubung sarung kotak-kotak merah coklat menghadap ke barat. Dia sedang buang hajat. Tidak jauh dari situ, anak-anak asik bermain di atas perahu dan berlompatan satu persatu. Hanya berjarak 10 meter dari pria tadi.
Saya menuju arah lelaki yang sedang bergegas. Dia tanpa baju. Saya menyapanya dan memperkenalkan diri. Namanya Muhammad Ali.
“Dari mana pak?,” tanyaku setelah sebelumnya memperkenalkan diri. Dia baru saja berkunjung dari rumah sanak keluarganya. Saya diajak ke rumahnya.
Ali mengaku bekerja sebagai nelayan, adalah juga alumni Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) di Benteng. Setelah tamat sekolah, karena kondisi ekonomi orang tuanya dia tidak punya pilihan lain kecuali ikut bekerja pada saudara iparnya sebagai nelayan, pabagang atau nelayan bagang (liftnet). Saat itu murni hanya bermodalkan tenaga saja.
Tidak lama, setelah punya cukup modal, Ali memilih menjadi nelayan pancing dengan memanfaatkan satu sampan kecil dengan mesin tempel. Sukses sebagai nelayan pancing, Ali kemudian berhasil memperoleh satu perahu kecil dengan mesin luar (outboard).
“Tadi malam saya dapat ikan kerapu tiger, warnanya coklat, harganya Rp. 60 ribu perkilo. Saya dapat 3 kilo jadi harganya Rp. 180 ribu,” katanya saat saya tanyakan kapan terakhir melaut.
Ikan yang ditangkapnya di jual ke penampung bernama Pak Hafid. Pak Hafid adalah penampung ikan hidup dan kelak akan mengantar ikannya ke Apeng di Kota Benteng, ibu kota Selayar.
Wilayah operasi Ali di sekitar ujung pulau Pasi yang membentang dari utara ke selatan. Pulau yang panjang ini tepat berada di depan kota Benteng. Ali sangat menguasai perairan di sana.
Sebagai nelayan, Ali mengaku kerap tidak peroleh hasil tangkapan. Jumlah ikan tangkapan terbesar yang dia ingat adalah seberat 50 kilo pada tahun 1997. Pernah pula dapat dalam satu malam dapat 8 ekor kerapu, ada kakap dan kerapu lumpur.
Ali pernah mengoperasikan pancing rawai, satu teknik pancing dengan menggantung belasan mata pancing yang diberi umpan dengan ikan simbulak. Panjang pancingnya seratus lima puluh meter hingga lebih dua ratus meter. Ikan yang ditangkap dari pancing rawai biasanya ikan karang seperti kelapu lumpur.
Ada dua jenis rawai yang dioperasikannya,ada kecil ada yang tipe besar. Kalau rawai kecil dioperasikan selama satu jam. Yang besar 3-4 jam. Yang mata pancing 5/nilon 1000 dan 700 kalau mata kecil mata 12/nilon no. 500 dan 100.
Operasi rawai dasar biasa tersangkut di bebatuan dasar laut hingga mesti tandai tempatnya. Satu unit rawai butuh modal hingga Rp. 150 ribu. Paling mahal mata pancingnya. Kadang, dalam semalam ada beberapa mata pancing yang hilang. Ali sangat menguasai teknik pemancingan seperti di atas.
Ali Kini
Ali yang tamat SMEA pada tahun 1995 selain sebagai nelayan pancing, kini mengelola keramba bantuan dari dinas perikanan.
“Katanya bantuan dari pusat yang dibagikan oleh dinas propinsi Sulawesi Selatan,” katanya.
Keramba apung itu diisi lobster dan ikan kuwe (ikan putih). Bibit lobster diisi sendiri dengan mengambilnya dari alam.
“Penanganannya tidak rumit, hanya diberi makan kelapa yang belum tua, dua kali satu bulan,” lanjutnya.
Bantuan ini sudah setahun dan hasilnya dia sendiri yang kelola. Butuh waktu 8-9 bulan untuk panen. Di kerambanya kini ada sekitar 50 ekor. Dia berhasil memperoleh bantuan ini setelah menyusun proposal senilai Rp. 45 juta dan realisasinya Rp. 18 juta.
Di Kampung Padang ada semacam unit kordinasi kegiatan, mereka menyebutnya Sanggar Kegiatan Belajar. Salah satu kegiatannya adalah memfasilitasi usulan ke pemerintah propinsi.
Ali mesti menunggu satu tahun hingga cair dananya. Kegiatan ini, telah dikunjungi oleh beberapa orang sebanyak tiga kali.
Saat saya melihat buku tamunya, bertuliskan dua nama tamu pada 23 Juni dengan alamat Jalan Adyaksa Makassar. Sepertinya, apa yang dilakoni Ali dengan keramba itu adalah uji coba model budidaya.
Yang menarik disimak dari cerita Ali adalah, walau bekerja sebagai nelayan (dan menguasai teknik pancing) gagasannya untuk memperoleh dukungan dari pihak luar masih ada.
Menurutnya budidaya dengan model keramba ini bermula dari bincang-bincangnya dengan beberapa sahabatnya di Sanggar Kegiatan Belajar yang difasilitasi oleh Andi Agus dan Andi Baso, staf pada kantor pemerintah setempat.
Beberapa kawan memintanya menyusun usulan yang hendak dilakukannya dalam bentuk usulan kegiatan atau proposal.Ada banyak warga atau nelayan di Kampung Padang, namun sepertinya tidak seberuntung Ali.
Ali adalah sisi lain warga Padang yang dengan tingkat pendidikan sekolah menengah ekonomi dan pengetahuannya tentang “nilai ekonomi” dia mencoba menggali alternatif kegiatan berbasis lokal. Dengan berdasar pengetahuan dan jaringannya dia berhasil memperoleh bantuan modal operasional.
Apa yang ditempuh Muhammad Ali secara sederhana dapat diterapkan pada warga lain di Kampung Padang sepanjang mereka sadar bahwa sesungguhnya mereka punya potensi, mereka punya pengetahuan, keterampilan dan tentu saja gairah untuk tegak di atas inisiatif sendiri.
Bagi Ali Padang, sebutlah demikian, keramba jaring apung adalah pekerjaan sampingan. Pekerjaannya sebagai nelayan pancing adalah inti mata pencahariannya.
Namun demikian, dia tidak menampik jika ada pihak yang hendak membantu. Ali punya pengetahuan, punya keterampilan di laut, bahkan punya modal walau tak banyak.
Saat ini dia sedang menunggu dukungan lanjutan salah satu program rehabilitasi terumbu karang yang memilih desanya sebagai salah satu lokasi program.
Nampaknya, bagi Muhammad Ali, jika ada pihak yang mau membantu, mengapa mesti ditolak?