JICA di Indonesia: Refleksi dari CD Project Sulawesi

Sejarah kerjasama pembangunan Jepang dan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dimulainya pelaksanaan program peningkatan kapasitas orang-orang Indonesia di Jepang pada tahun 1954. Kerjasama anyar setelah berakhirnya perang dunia kedua itu meliputi pelatihan pada aspek pertanian hingga industri. Itu kemudian ditindaklanjuti dengan pengiriman tenaga ahli Jepang ke Indonesia dalam tahun 1957.

Sejarah kerjasama itu kemudian berlanjut hingga ODA untuk Indonesia pada tahun 1968 yang didahului oleh pembentukan organisasi OEFC atau dana kerjasama ekonomi luar negeri, badan kerjasama teknik luar negeri (OCTA).

Bantuan Jepang untuk Indonesia termasuk di dalamnya pengiriman beras dari negeri Sakura tersebut karena Indonesia sedang krisis pangan di ujung tahun 60an. Kemudian disusul bantuan khusus untuk kesinambungan proyek (SAPS), bantuan khusus perancangan proyek (SAPROF), bantuan khusus pelaksanaan proyek (SAPI), penugasan tenaga ahli (JOCV) dan lain sebagainya termasuk skema kerjasama dengan LSM Indonesia (CEP).

Ragam proyeknya banyak sekali, dari urusan jalan raya, konservasi hutan hingga pembangunan pasar dan sarana transportasi darat. Tahun 2008, JICA merger dengan Japan Bank for International Cooperation sebagai JICA baru yang dapat memberikan dukungan kerjasama teknis, pinjaman dan bantuan hibah (sumber: website JICA Indonesia).

Jika membaca narasi di atas, terutama sejak adanya ODA (Overseas Development Agency), maka tahun ini akan menjadi tapak 49 tahun JICA di Indonesia. Organisasi kerjasama pembangunan internasional bernama lengkap Japan International Cooperation Agency  ini saya kenal dan terlibat di proyeknya sejak tahun 1999.

Kala itu sebagai bagian dari skema Community Empowerment Project (CEP), sebuah skema kerjasama JICA dengan LSM terpilih di Indonesia. Salah satunya, Lembaga Pengkajian Perdesaan, Pantai dan Masyarakat (LP3M) yang menyediakan obat-obatan untuk wilayah kepulauan di Pangkaje’ne Kepulauan dan Selayar.

Tentang CD Project

Sembilan tahun lalu, atau pada awal bulan Juli 2008 hingga September 2012 saya bergabung dengan Sulawesi Capacity Development Project disingkat CD Project setelah hampir tiga tahun di proyek rehabilitasi perikanan pasca gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias.

CD Project dibiayai oleh Pemerintah Jepang melalui JICA atas kerjasama dengan Pemerintah Indonesia dalam hal ini Pemerintah di 6 provinsi di Sulawesi.  Proyek itu bertujuan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di 6 provinsi di Sulawesi agar mampu menjawab tantangan dalam pembangunan daerah yang terkolaborasi dan berbasis komunitas. Sebuah tim kerja yang berkantor di Gedung Koperasi Kantor Gubernur Sulawesi Selatan mengkoordinasi kegiatan 6 project officer di 6 provinsi di Sulawesi. Saya kebagian untuk Sulawesi Selatan.

CD Project berbarengan dengan beberapa proyek JICA di Sulawesi Selatan seperti Prima Pendidikan, Prima Kesehatan, JICA Industri hingga yang mengurusi penyakit flu burung. Periode itu adalah periode yang menegaskan besarnya perhatian Pemerintah Jepang untuk Kawasan Timur Indonesia. Terdapat pula proyek JICA di Maluku untuk mendukung perbaikan sistem pendidikan.

Khusus untuk JICA-CD project, yang saya garis bawahi sebagai inspirasi dari proyek itu adalah pilihan strategi JICA dalam menggugah Pemerintah Daerah terpilih untuk mengalokasikan sumber daya dalam mendukung aparatur, perencana, fasilitator LSM daerah mengikuti ragam kegiatan yang telah disiapkan seperti pelatihan dan praktik lapangan.

Selama ini kita kenal JICA sebagai pemberi bantuan fisik seperti traktor tangan, bantuan mesin kapal, kendaraan, bangunan dan lain sebagainya.

Pemerintah Jepang ingin masing-masing pemerintah daerah sesuai kemampuannya bersedia mengalokasikan sumber daya, aparatur perencana hingga fasilitator dari berbagai kalangan untuk sebuah proses ‘capacity development’ dimana kami bertugas sebagai ‘technical assistance’.

Tentang pengembangan kapasitas, isu ini dianggap penting di tengah tantangan desentralisasi pembangunan dan hakikat otonomi di tingkat desa di pertengahan tahun 2000an.

Tentang capacity development ini pula, terdapat kenyataan bahwa banyak praktik pengembangan kapasitas seperti pelatihan, seminar, lokakarya atau bahkan studi banding yang tidak berkorelasi pada hakikat peningkatan kapasitas. Ada distorsi karena kerap orientasi berbeda antara panitia pelaksana dan peserta.

Ada yang ke timur, ada yang ke barat. Ada yang hanya bersenang-senang, ada yang hanya selfie-selfie. Laporan-laporan tindak lanjut dan rencana aksi nyaris tanpa pembahasan. Aspek pengetahuan, keterampilan dan perubahan sikap hanya di atas kertas, tak ada upaya untuk merealisasikannya atau mempraktikkannya.

CD Project dijalankan melalui pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, seminar para pengambil kebijakan, pendidikan dan pelatihan bagi perencana serta pelatihan bagi Community Facilitator. Setelah itu kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan kegiatan pilot dan networking/Pembagian Pengalaman.

Pada tingkat operasional, di CD project, proyek menanggung transpor lokal dari lokasi peserta ke lokasi kegiatan termasuk akomodasi dan konsumsi selama kegiatan. Yang menyenangkan, 29 kabupaten/kota di Sulawesi yang menjadi lokasi sasaran proyek bersedia membiayai sebagian kebutuhan para peserta dengan menggunakan dana APBD.  Demikian pula untuk fasilitator asal LSM.  Beberapa pemerintah kabupaten/kota juga memberi dukungan meski tak seperti porsi pegawai negeri sipil atau perencana SKPD.

Meski kemudian tak mulus 100% sesuai harapan namun ini memberikan inspirasi dan pelajaran tentang pentingnya menjaga komitmen untuk melayani masyarakat, untuk menjadi bagian dari mereka dan mengambil tindakan kolektif. Disebut tidak mulus sebab beberapa peserta pelatihan atau lokakarya berhenti di tengah jalan sehingga tak merampungkan skema kegiatan yang telah digariskan di kerangka kegiatan.

Pengalaman CD Project ini juga menjadi perhatian beberapa negara yang menaruh perhatian pada pengembangan kapasitas aparatur dan berkehendak menerapkan kolaborasi dalam pembangunan.

Tersebutlah seperti Bhutan, Kamboja, Tanzania hingga Afghanistan yang datang ke Makassar untuk menggali pelajaran dari proyek ini. Yang istimewa karena Pemerintah Afghanistan bahkan menggelar pelatihan teknik fasilitasi pembangunan daerah sebanyak lima kelas di Makassar pada rentang tahun 2012 hingga 2014.

***

Kembali ke CD Project. Eksplisit bahwa JICA sangat berharap ada pengalokasian sumber daya dalam pelaksanaan proyek itu, atau pihak manapun, sebab hakikatnya amat relevan dalam membangun daerah, sesuai kemampuan daerah dan sesuai kebutuhan daerah.

Peningkatan kapasitas sumber daya manusia seperti aparatur sipil negara, fasilitator LSM termasuk pengambil kebijakan adalah juga untuk daerah, untuk kepentingan daerah.

Maka, meski hanya dua dari empat kabupaten yang menjadi lokasi tanggung jawab saya sebagai project officer Sulawesi Selatan, tetap ada bukti adanya inisiatif Pemerintah Daerah mengalokasikan sumber daya melalui ‘program berbasis masyarakat dan mekanisme kolaborasi’ saya sangat senang sebab terdapat beberapa hikmah.

Melalui upaya meyakinkan pengambil kebijakan daerah seperti Bupati, Wakil Bupati hingga Kepala Bappeda, mereka bersedia menyiapkan dana APBD untuk memperkuat kapasitas fasilitator dan perencana pembangunan daerah. Beberapa daerah yang lain mengaku lebih fokus pada proyek pemberdayaan yang sudah tersedia uangnya dari donor.

Bukti yang saya maksudkan adalah para alumni pelatihan perencana dan fasilitator masyarakat yang telah dilatih berseri selama kurang lebih setahun, sepakat untuk duduk bersama dan melakukan review potensi sumber daya daerah dalam mendorong berjalannya pembangunan daerah yang kolaboratif dan berbasis masyarakat. Selama rentang pelatihan itu mereka praktik observasi, wawancara dan menganalisis isu di komunitas.

Itulah sesungguhnya hakikat dalam perencanaan pembangunan daerah itu. Pelatihan berseri itu memang memakan waktu yang cukup lama dan melelahkan namun terlihat menarik sebab ada praktik di sela seri-seri pelatihan.

Karenanya akan sangat kaya akan refleksi ketika masuk ke seri berikutnya. Rangkaiannya bisa dilihat dari praktik fasilitator masyarakat dalam melakukan pendekatan ke masyarakat desa atau komunitas melalui strategi kemitraan, membangun pertemanan kemudian masuk ke identifikasi potensi sumber daya alam, nilai-nilai positif masyarakat hingga kelembagaan yang ada baik formal maupun informal.

Fasilitator kemudian memfasilitasi komunitas untuk merumuskan isu, menyusun rencana aksi hingga menilai keberhasilan kegiatan. Pada saat yang sama alumni perencana yang telah diperkuat kemudian men-sinkronkan dengan kebijakan dan potensi Pemerintah Daerah, memberikan atensi dan dukungan pada apa yang difasilitasi para fasilitator masyarakat ini. Sebuah program kolaboratif berhasil didorong dan dilembagakan dengan menyiapkan regulasi untuk keberlanjutannya.

Fasilitasi proyek ada di tiga lapis penguatan stakeholders; policy makers, plannersdan community facilitator seperti di atas, kemudian beranjak kepada model mekanisme kolaborasi dan pelembagaan program pembangunan daerah itu.

CD, Kolaborasi dan Keberlanjutan 

Mungkin banyak yang belum tahu bahwa Jepang adalah juga sponsor lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia, Jepang adalah pemegang saham utama untuk Bank Dunia, demikian pula Bank Pembangunan Asia dimana pemegang saham utamanya adalah Jepang.

Kami kemudian menyadari bahwa jika selama ini JICA tidak jor-joran dalam memberikan uang ke peserta kegiatan seperti pelatihan, lokakarya atau seminar bukan karena JICA, atau pemerintah Jepang tidak punya uang, bukan karena mereka lembaga miskin.

Mereka menawarkan pendekatan yang membuat kami berpikir tentang pentingnya kesadaran ‘dalam’ dalam mengalokasikan sumber daya membangun daerah.

Pentingnya seorang pengambil kebijakan (policy makers) pembangunan daerah mempunyai visi misi yang mampu mengawinkan berjalannya kolaborasi dalam pembangunan daerah. Percuma seorang perencana atau fasilitator masyarakat kompeten jika tidak didukung pengambil kebijakan bukan? Soal anggaran dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Untuk mengkerangkakan spirit itu, atau secara praksis program, maka tim kerja di CD project harus belajar dan menelaah prinsip konsep Participatory Local Social Development (PLSD) yang dikembangkan oleh Prof Ohama Sensei dari Nagoya. Pada saat yang sama kami juga mengkaji hakikat ‘Meta Facilitation’ yang dibesut oleh Guru Wada Nobuaki dan Nakata Toyokazu.

Orientasi Ohama yang saya pahami adalah bagaimana fokus pada relasi rumah tangga sebagai unit analisis dalam pembangunan dengan melihat posisi pada aspek pasar dan administrasi, sementara Wada fokus pada pentingnya fasilitasi masyarakat oleh seorang fasilitator yang mampu membantu mereka dalam membaca perubahan dan mendorong pengambilan keputusan solutif secara rasional.

Dari hal kedua kami bisa menarik benang mereka kolaborasi dalam pembangunan yang meniscayakan fasilitasi grassroot atau participatory approachdan technocratic approach.

Dari CD Project, termasuk dengan nama-nama di atas, dapat dipetik hikmah bahwa kita tidak bisa hanya berharap pada pihak luar, tidak bisa hanya berharap pada donor atau sponsor dalam upaya pembangunan atau pemberdayakan sosial, politik hingga ekonomi masyarakat. Ketika proyek selesai, kita tidak bisa terus menerus menengadah dan meminta bantuan berikutnya.

Kami kemudian mengerti bahwa hakikat menjadi perencana atau fasilitator pembangunan daerah adalah bertambahnya kapasitas yang sesuai dengan perkembangan waktu, perkembangan zaman dan perubahan konteks.

Seorang perencana atau fasilitator harus punya kemampuan meng-upgradekapasitasnya dengan minimal mempraktikkan pengamatan membaca realitas, kemampuan menggali data dan informasi melalui wawancara faktual hingga menganalisis perubahan dengan jeli.

Saya ingat salah seorang expert di proyek ini mengatakan bahwa ketika anda sebagai perencana atau fasilitator masyarakat yang kompeten maka saat itu anda bisa saja menerima promosi atau insentif lebih karena itu, karena anda menjadi fasilitator proyek, penasehat pembangunan, konsultan atau ahli yang memang punya sesuatu yang dibutuhkan oleh daerah.

***

Singkat kata, dengan kemampuan atau kompetensi yang semakin baik maka itu akan menjadi lebih berkelanjutan ketimbang diberi uang saku (yang banyak diperdebatkan di pelatihan-pelatihan atau lokakarya) yang sifatnya temporer.

Di JICA CD Project, saya terlibat dalam beragam pelatihan untuk perencana SKPD dan Badan, beragam pelatihan untuk fasilitator. Berpindah-pindah tempat, kadang di Makassar, Kendari, Palu, Majene, Manado hingga Gorontalo. Saya, kami terutama para project officer se-Sulawesi kemudian menyadari bahwa bahwa tidak ada metode pendekatan, cara-cara, yang ditemukan di dunia ini dimana yang ada hanyalah kelebihan-kelebihan.

Semua teori, konsep-konsep, cara-cara, pendekatan-pendekatan, metode-metode punya kelebihan dan pada saat yang sama punya kelemahan atau kekurangan.

Tetapi sesungguhnya, yang lebih mengasikkan adalah bagaimana kita, perencana, fasilitator bersama-sama dengan masyarakat luas, warga komunitas menemukan sendiri, membahas bersama sebagai bagian dari agenda perubahan dan setiap individu mencecap hikmah dan pelajaran darinya. Menemukan hikmah bersama, antara perencana atau fasilitator yang telah dilatih oleh CD Project.

Yang lainnya, yang juga tidak kalah penting adalah, bertambahnya kesadaran bahwa berapa kalipun saya, kita, anda ikut pelatihan, berapa kalipun anda ikut berseminar atau lokakarya, yang lebih penting adalah praktiknya, tindak lanjutnya, rencana aksinya.

Setiap kegiatan peningkatan kapasitas individu harus ditindaklanjuti dengan mempraktikkan muatan-muatan yang diberikan, menggetarkan dan membagikannya untuk komunitas, organisasi dimana kita bekerja dan melayani agar tercipta sistem sosial kemasyarakatan yang hidup, sehat dan berdaya guna untuk semua.

Bulan Februari 2o17 ini, sebuah survey kapasitas para pihak sekaitan dengan pelaksanaan UU Desa No. 6/2014 telah dirampungkan oleh Yayasan COMMIT, organisasi yang didirikan oleh alumni JICA dan berbasis di Makassar, survey atau studi ini sekaligus menjadi isyarat bahwa fokus dan atensi JICA telah semakin menebal di peningkatan kapasitas para pihak, paralel dengan alokasi anggaran untuk proyek-proyek fisik yang telah lama digelutinya.

Ditulis oleh Kamaruddin Azis.

Postingan ini juga tayang di www.denun89.wordpress.com