YMP, salah satu LSM di Nusatenggara Barat melaksanakan pendampingan untuk sebuah program bernama Sanitation, Hygiene and Water (SHAW) Project atas kerjasama dengan SIMAVI (Steun in Medische Aangelegenheden Voor Inheemsen/ Medical Aid for Indigenous Affairs) sebuah Organisasi Pembangunan Internasional berpusat di Belanda yang bercita-cita mewujudkan “basic health for all”.
Melalui SHAW, SIMAVI memfokuskan diri pada komunitas yang termarginalisasi dalam memperoleh akses untuk air dan sanitasi. Lokasi programnya di Lombok Timur dan menyasar beberapa desa yang dianggap menghadapi isu sanitasi. Program pendampingan YMP dianggap berhasil sehingga menjadi model pengelolaan pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) nasional.
Apa latar dan kekuatan pendekatan YMP sehingga menjadi berbeda dibanding program sejenis lainnya di Indonesia? Simak telisikan Ashar Karateng, Direktur COMMIT atas pencapaian tersebut. Postingan ini juga dapat dibaca di buku “Mewakafkan Hati untuk Perubahan” terbitan COMMIT 2014.
Dua pendiri COMMIT dan buku ‘Mewakafkan Hati untuk Perubahan” (foto: YMP)
***
Mendorong Perubahan, Melawan Stigma: Refleksi atas Cara “Pemberdayaan Masyarakat a la YMP” dalam Program SHAW
Oleh: Ashar Karateng (Direktur Eksekutif COMMIT)
***
Isu sanitasi atau kesehatan secara umum bukanlah hal baru di negara ini. Ratusan proyek telah diselenggarakan oleh ratusan pula lembaga penyandang dana. Mereka datang dari negara yang warganya mungkin hanya mengenal negara yang dibantu dari peta bola dunia. Mereka datang tak saja dari luar negeri, dari lembaga bilateral atau multilateral, lembaga bantuan resmi pemerintah atau non pemerintah, tetapi juga dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri. Anggaran pemerintah dari pusat sampai daerah berhias aneka ragam nomenklatur bidang sanitasi dan kesehatan dasar.
Perusahaan nasional dan multinasional juga seringkali menunjukkan sisi wajah baiknya dengan menggelontorkan ratusan miliar dana yang merupakan sebagian kecil dari keuntungannya, atas nama ‘community relation’, ‘community development’ dan dalam payung besar CSR (corporate social rensposibility). Belum lagi kegiatan yang digerakkan oleh lembaga-lembaga yang mengembangkan sistem fund-raisingnya sendiri atau perorangan yang akhirnya peduli dengan banyaknya masalah sosial di negeri ini.
Jadi hari ini, isu utama kita bukanlah penting atau tidak pentingnya isu sanitasi ini, bukan juga soal siapa-siapa saja yang harusnya bertanggungjawab merancang, mengorganisir, memobilisir sumber daya dan melaksanakan serta mengevaluasinya.
Berbagai kajian, data dan fakta penting terkait dampak buruk sanitasi dan higienitas telah terpaparkan dengan gamblang di banyak media dan juga simpul-simpul jaringan pengetahuan (knowledge sharing and network). Laporan-laporan proyek juga telah menyajikan begitu besar perhatian dan antusiasme para pelaku pembangunan di sektor sanitasi ini.
Anggaran triliunan telah digelontorkan untuk mengikis dan menghapus kebiasaan buruk warga di sektor sanitasi dan higienitas.
Para pihak, atas nama kemanusiaan dan niat baik telah bersatu padu menggagas, mendanai dan melaksanakan program-program yang tentu saja dirancang dengan penuh kehati-hatian dan kesempurnaan, setidaknya dalam 10-20 tahun terakhir.
Namun demikian, realitas cakupan fasilitas sanitasi kita masih belum sempurna. Perilaku buruk warga yang tidak sesuai spirit zaman masih mewarnai keseharian kita. Persepsi warga tentang berbagai aspek mulai buang air, cuci tangan, penanganan air minum, penangan sampah, penangan limbah memang telah banyak berubah. Tidak bisa dipungkiri pengetahuan warga berkembang pesat. Perkembangan itu didorong oleh kampanye-kampanye dan sosialisasi yang dilakukan oleh proyek-proyek juga oleh keaktifan mereka memelototi tv-tv lokal dan nasional setiap saat.
Dalam benak mereka, di sudut alam bawah sadarnya telah terbangun dengan sempurna persepsi dan pengetahuan-pengetahuan baru tentang sanitasi.
Mereka dengan mudah menjelaskan bahwa BABS tidak baik, beresiko terhadap diri sendiri dan orang lain, lalat akan menjadi agen besar pembawa dan penyebar penyakit, sampah harus diolah, cuci tangan amat penting pada waktu-waktu yang juga sangat penting, demikian dan seterusnya.
Pesan-pesan agamapun, agama apapun, agama samawi atau ukhrawi, semua mengajarkan tentang kebersihan, keindahan dan keteraturan. Kita bahkan telah menerima pesan-pesan agama seperti ini sejak kita belum mampu berbicara. Jika kepada mereka disodorkan daftar pertanyaan mengenai pemahaman dan pengetahuan mereka tentang sanitasi dan higienitas, mereka mungkin akan menjawab dengan nilai sempurna.
***
Tapi mengapa, seperti catatan berbagai survey, Indonesia masih menyimpan sekitar 41 juta orang yang membuang hajatnya di sembarang tempat? Mengapa Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) masih menempati 2 besar penyumbang BAB sembarangan?. Mengapa Lombok Timur masih menyimpan 33.5% penduduk yang belum mempunyai akses sanitasi?.
Soal sanitasi, ternyata bukan soal sejauh mana pengetahuan tentang baik dan buruk, bukan secanggih apa bangunan persepsi warga tentang sanitasi, bukan juga sebanyak apa fasilitas sanitasi yang terbangun. Sanitasi adalah soal perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya.
Bahaya ini mungkin bisa terjadi secara fisik, mikrobiologi dan agen-agen kimia atau biologis dari penyakit terkait. Bahan buangan yang dapat menyebabkan masalah kesehatan terdiri dari tinja manusia atau binatang, sisa bahan buangan padat, air bahan buangan domestik (cucian, air seni, bahan buangan mandi atau cucian), bahan buangan industri dan bahan buangan pertanian. Bahan buangan tersebut haruslah dikelola secara higienis.
Jadi sanitasi adalah soal perilaku bukan soal pengetahuan dan persepsi semata. Di dalamnya ada konsep mengenai “bersih dan sehat”. Pengetahuan dan persepsi mengenai bersih dan sehat secara teoritik menjadi salah satu yang mendorong perubahan perilaku, tapi kepemilikan pengetahuan yang banyak serta bangunan persepsi yang baik mengenai bersih dan sehat tersebut tidak serta merta berakibat pada terwujudnya perilaku yang bersih dan sehat pula.
Darmawan Salman dalam catatan pengantar buku ini telah mengingatkan bahwa keadaan bersih dan sehat terkait dengan nilai. Bukan lagi sekadar sebuah keadaan semata. Karena dia sebuah nilai maka keadaan tersebut akan terkait dengan perubahan ruang dan waktu dimana bersih dan sehat itu dikonsepsikan dan diterapkan.
Di masa lalu, boleh jadi BABS bukan sebuah nilai yang buruk, itu dianggap sebuah yang biasa saja. Tapi seiring dengan perkembangan nilai dan budaya maka nilai sehat dan bersih pun menjadi berubah. Salah satu kepala desa di Lombok Timur bahkan sudah menyebut bahwa, tinja yang dibuang sembarang adalah teroris.
Dalam kaitan inilah, perilaku akan dinilai sebagai sebuah perilaku yang bernilai tinggi karena sesuai dengan sistem norma yang berlaku atau bernilai rendah karena perilaku dianggap telah melanggar sistem nilai dan norma.
Jadi, mengubah perilaku akan terkait dengan bagaimana perilaku sehari-hari berubah mengikuti sistem norma dan nilai baru yang bersesuaian dengan budaya baru pula. Karena itu harus dipahami bahwa mendorong perubahan perilaku bukan semata-mata terkait dengan ketersediaan fasilitas-fasilitas yang bersesuaian dengan nilai dan norma baru yang akan dituju. Tetapi bagaimana perubahan perilaku tersebut tumbuh dari kesadaran warga sendiri secara kolektif maupun secara individu.
Mendorong perubahan perilaku tentu tidak sama dengan mendorong pertumbuhan bangunan pengetahuan dan persepsi warga masyarakat. Ada banyak stigma-stigma yang harus dipahami dalam proses-proses mendorong perubahan perilaku tersebut.
***
Dalam Program SHAW, keterlibatan YMP bisa dilihat dan dikaji dari beberapa aspek. Bagaimana cara YMP mendesain kerangka kerja proyek dalam konteks lokalitas Lombok Timur, apa nilai-nilai dan kerangka pikir yang diperkenalkan dan ditransfer kepada para pihak serta bagaimana para fasilitator mendorong pelaksanaan kegiatan di tingkat warga menjadi hal penting untuk dilihat dan dikaji aspek pembelajarannya.
Tulisan ini mencoba untuk melihat bagaimana YMP memfasilitasi titik-titik kritis (critical point) dalam proses mendorong perubahan perilaku saniter warga. Di dalamnya ada stigma-stigma tentang proyek, stigma tentang masyarakat dan stigma tentang pemberdayaan masyarakat yang harus dilawan dan dihapuskan.
Stigma mana telah terbangun dan tertanam kokoh di benak warga, aparat pemerintah bahkan oleh pelaku proyek pembangunan sanitasi itu sendiri selama bertahun-tahun seusia dengan praktek pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
Masyarakat dalam Pusaran Stigma
Harus diakui bahwa di masa lalu bahkan juga masih berlanjut hingga sekarang, kita jamak menyaksikan banyaknya proyek dan program-program atas nama pemberdayaan masyarakat namun justeru menirdayakan partisipasi, kemampuan dan kapasitas asli masyarakat.
Para fasilitator sering terjebak dalam kecenderungan untuk melakukan kesalahan katakonik (cataconic errors) yakni kesalahan dimana orang menilai orang lain berdasarkan kategori atau nilai-nilai asing. Fasilitator dan pelaku proyek melihat konteks dan keadaan masyarakat setempat dengan kacamatanya sendiri.
Lihat cara kita melakukan ‘sosialisasi proyek’. Masyarakat seringkali hanya didatangi, dikumpulkan dalam pertemuan formal (dengan bahasa lain diundang rapat atau bermusyawarah), dijejali dengan berbagai macam informasi tujuan, target dan kegiatan proyek dan keharusan mereka untuk ‘berpartisipasi’ dalam proyek.
Partisipasi menjadi kata ajaib dalam proyek. “Semua harus menunjukkan partisipasinya. Kalau tidak, maka proyek akan gagal. Kalau proyek gagal maka kerugian bagi desa itu sendiri, bahkan kerugian kecamatan atau kabupaten karena penyandang dana akan pergi”. Kalimat ini lebih bermakna ancaman dari para konsultan, fasilitator dan tenaga-tenaga ahli proyek.
Pemerintah pun manut dengan prosedur itu. Pemerintah akan merasa malu jika donor menilai buruk respon atas kegiatan mereka. Hampir tidak ada ruang bagi pelaku lokal, untuk menawarkan konsep alternatif, salah satunya karena pelaku lokal juga seringkali tidak mempunyai tawaran kerangka yang lebih baik dan salah duanya adalah karena donornya sangat yakin dengan kerangka proyek yang dibawanya.
Warga masyarakatpun demikian. Di benak para warga, jika mereka menolak berpartisipasi, maka proyeknya akan pergi, mereka akan kehilangan kesempatan memperoleh bantuan, kehilangan peluang mendapat tambahan penghasilan dari kompensasi biaya transportasi, akomodasi dan konsumsi pada setiap kali mengikuti kegiatan. Bahkan bisa kehilangan arena untuk tampil di media-media massa setempat dan berbagai macam bayangan tentang peluang lainnya yang akan hilang.
Tapi partisipasi yang lahir adalah partisipasi yang salah paham. Salah paham karena salah memandang dan memahami situasi masyarakat sebelum membicarakan model partisipasi apa yang sesuai dengan kemampuan mereka.
Para fasilitator-fasilitator itu merancang kegiatan dengan asumsi yang salah tentang masyarakat. Pemerintah, desa kecamatan dan kabupaten menyetujui rencana-rencana tersebut juga dengan asumsi yang tidak benar tentang kapasitas masyarakat.
Masyarakat, khususnya masyarakat desa itu bodoh, tidak mempunyai pengalaman, miskin, sumber daya terbatas, lemah, tidak mempunyai kemampuan apa-apa, karena itu maka mereka hanya bisa berkembang jika disuapi dengan berbagai macam pengetahuan dan keterampilan baru. Mereka harus dibantu dengan segala macam fasilitas. Siapkan mereka modal agar usaha mikro dan kecil mereka berkembang. Ini adalah sebagian dari stigma yang melekat bagi berbagai pihak luar pembawa proyek.
Mereka adalah fasilitator-fasilitator, pengelola proyek yang mendapat kontrak-kontrak hibah dari lembaga donor internasional, aparat-aparat pemerintah pusat dan daerah serta juga lembaga-lembaga internasional.
Tentu stigma ini tidak terkatakan secara verbal dalam proposal-proposal proyek, fasilitasi-fasilitasi pertemuan-pertemuan atau pidato-pidato sosialisasi. Tapi stigma tersebut akan mudah terbaca dalam rancangan dan alur proses-proses kegiatan proyek yang mereka buat.
***
Karena itu dalam pemberdayaan masyarakat, siapa yang harus pertama kali berubah?. Sangat mudah menjawabnya. Mereka para fasilitator, para pihak (stakeholder) lain yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat, entah aparat pemerintah, staf LSM-LSM dan juga lembaga bantuan internasional.
Masyarakat hanya akan bisa berubah ketika mereka, ketika pihak luar itu, yang lebih dahulu berubah. Mereka harus mengubah mind-set mereka terhadap masyarakat, stigma tentang masyarakat. Di sinilah pentingnya membekali para fasilitator-fasilitator tersebut dengan pemahaman dan keterampilan dasar tertentu sebelum mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Tanpa itu, mereka tidaklah akan membantu mendorong tujuan perubahan yang direncanakan tapi malah merusak hal-hal baik dalam masyarakat itu sendiri.
Karena adanya stigma terhadap masyarakat yang terbangun sebagaimana diuraikan di atas, maka pada saat yang sama, warga masyarakat, baik secara individual maupun kolektif secara perlahan juga mulai menerima dan membenarkan lalu kemudian juga turut melanggengkan stigma-stigma tadi.
Kita mungkin masih mengingat, dua puluh-tahunan yang lalu, bagaimana susahnya para dermawan dan muzakki mencari warga atau sekelompok warga yang bisa dijadikan sasaran penerima bantuan zakat, zakat fitrah maupun zakat harta bagi umat muslim. Mungkin mudah mengenali siapa warga yang yatim piatu tapi sangat mudah untuk mengenali siapa di antara mereka yang terkategori fakir dan miskin. Saat itu, miskin adalah aib.
Ketika program-program pemberdayaan masyarakat miskin diperkenalkan, maka miskin kemudian menjadi sebuah status sosial. Setelah berkali-kali mereka diberi atribut baru sebagai warga miskin, bahkan dengan gagah perkasa dikelompokkan secara elitis sebagai kelompok miskin, rumah tangga miskin, nelayan miskin dan lain sebagainya, maka secara perlahan mereka mulai menerima dan membenarkan stigma tersebut. Dan para warga yang disebut miskin tersebut merasa mendapat keberuntungan atas status baru tersebut.
Karena miskin adalah simbol status atas ketidakberdayaan, maka mengaku miskin adalah keberuntungan. Beruntung dapat beras, beruntung dapat modal murah, beruntung dapat BLT (bantuan langsung tunai) dan berbagai macam variasi istilahnya, beruntung dapat asuransi dan beruntung dapat berbagai macam fasilitas pendidikan dan kesehatan. Bukan saja dari negara dan pemerintah tetapi juga dari berbagai macam lembaga bantuan bahkan partai politik.
Saat merasa miskin adalah keberuntungan, maka berlomba-lombalah warga untuk mengaku miskin. Pendekatan kemiskinan pun berubah menjadi hak setiap warga. Masyarakat berhak untuk dipenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan negara berkewajiban untuk menenuhinya. Istilahnya kemiskinan berbasis hak.
Secara kolektif, status kemiskinan sedemikian rupa dikonstruksi oleh warga bersama pemerintah setempat. Kita bisa melihat bagaimana Program IDT (Inpres Desa Tertinggal) di masa lalu dicaci maki setelah sebelumnya pemerintah pusat mendeklarasikan adanya desa-desa miskin dan tertinggal. Para pejabat daerah merasakan sebagai sebuah aib jika desa, kecamatan atau kabupatennya terkategori miskin.
Namun setelah Inpresnya ditandatangani oleh Presiden, barulah berlomba-lomba mengaku sebagai desa miskin dan tertinggal. Karena ternyata, status sebagai desa miskin akan mendapat berbagai fasilitas dari pemerintah. Bahkan saat ini, banyak warga bersatu padu dengan aparat pemerintahnya untuk melakukan protes dan bahkan unjuk rasa gara-gara perebutan status warga miskin, desa miskin atau desa terbelakang dan tertinggal.
Secara statistik, berdasarkan kriteria dan indikator tertentu, tentu tidak salah warga dikategorikan dalam beberapa kriteria sosial ekonomi, termasuk miskin dan tidak miskin. Pemerintah daerah bahkan harus didorong untuk mempunyai angka-angka seperti itu dengan kualitas data yang dapat dipercaya. Statistik orang miskin diperlukan untuk bisa bernegosiasi program dan anggaran dengan pemerintah pusat atau bahkan dengan lembaga internasional.
*****
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, dimana letak titik kritis stigma miskin, bodoh, tertinggal tadi?.
Ketika dalam desain dan implementasi program, masyarakat dikelompokkan berdasarkan tingkat kemiskinan mereka, misalnya dalam bentuk organisasi KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), RTM (Rumah Tangga Miskin), KK Miskin, dan lain sebagainya, maka implikasi negatifnya setidak-tidaknnya ada 2.
Pertama, Ketika masyarakat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu miskin dan tidak miskin, maka saat itu, kita memisahkan mereka dari relasi dengan kelompok masyarakat lainnya yang terkategori tidak miskin. Masyarakat dimanapun berada tentu akan terdiri dari 2 kelompok, miskin dan tidak miskin (lebih sering disebut kaya sebagai lawan dari miskin) serta kategori antaranya.
Sesungguhnya, sejak sebuah komunitas bermukim dan membentuk ikatan kemasyarakatan di sebuah wilayah tertentu, maka interaksi antara keduanya, baik interaksi dan pertukaran sumber daya, sharing nilai dan norma serta saling pembelajaran teknik dan metode terjadi di antara 2 kelompok ini.
Orang kaya menyediakan lahan kebun dan sawah, petani miskin menyediakan anggota keluarga sebagai tenaga kerja, teknologi diperkenalkan oleh pemilik lahan maka proses produksi terjadi. Petani miskin akan mendapat bagian sebagaimana kontribusi mereka berupa faktor-faktor produksi terhadap proses produksinya.
Pada aspek konsumsi dan manajerial pun demikian. Pada sektor lain seperti sektor peternakan, pertukangan, dll juga berlaku hal yang sama. Ada interaksi sumber daya (resource) baik berupa sumber daya manusia, fisik dan modal untuk kegiatan produksi, konsumsi dan manajerial di antara berbagai rumah tangga dan kelompok-kelompok rumah tangga dalam masyarakat.
Proses pertukaran dan interaksi ini berjalan sedemikian rupa secara harmonis selama bertahun-tahun, sampai kemudian datang masa dimana fungsi-fungsi ini diambil alih oleh proyek-proyek pembangunan dan pemberdayaan atas nama pengentasan kemiskinan. Akibatnya adalah, orang kaya di desa menjadi sebuah kelompok yang kadang-kadang harus dianggap momok dan kemudian warga-warga miskin kemudian merasa mendapat teman baru dari luar.
Interaksi warga miskin kemudian teralienasi. Segala kekurangan rumah tangga warga miskin baik untuk keperluan produksi, konsumsi dan manajerial kemudian diambil alih oleh pihak lain, entah oleh pemerintah, program-program pengentasan kemiskinan dan lain-lain.
Implikasi sosialnya sangat terasa dewasa ini. Jangankan untuk peristiwa sosial dan kekerabatan semacam upacara-upacara adat, pernikahan, sunatan, bahkan untuk acara-acara kematian saja sudah semakin nihil keterlibatan warga secara kolektif. Apalagi untuk menggerakkan warga bergotong royong dalam membangun fasilitas bersama.
Kenapa? karena semua sudah harus dihitung dari sisi produktifitas.
Orang kaya ketika membuat pesta, semua sudah dipersiapkan bahan dan peralatannya oleh bisnis lokal. Mulai pemasangan tenda-tenda, katering dan dekorasi. Warga miskin tidak lagi terlibat.
Lalu bagaimana jika warga miskin melakukan hal yang sama, atau pada saat sakit atau terkena musibah?.
Tidak ada lagi pihak yang mau membantunya. Mengapa, karena warga kaya tidak lagi merasa bahwa membantu warga miskin adalah tanggungjawabnya. Itu sudah menjadi tanggungjawab pemerintah dan lembaga-lembaga bantuan. Ada semacam pengambilahan tanggungjawab dari komunitas kepada pihak-pihak lain.
Kedua, dengan membuat miskin sebagai sebuah status sosial dan melekatkannya pada seseorang atau sekelompok warga tertentu, maka saat yang sama kita kehilangan kesempatan untuk memberdayakannya. Ketika seseorang atau sekelompok warga kehilangan keberdayaan maka dengan mudah mereka akan mengatakan, silakan bantu kami, kami tidak bisa melakukan apa-apa karena kami ini miskin dan bodoh. Kami tidak bisa bangun jamban karena pendapatan kami kurang. Kami tidak bisa buat rencana karena kami bodoh dan tidak pernah sekolah.
Kekonyolan akan semakin menjadi-jadi, ketika petugas program, pelaku proyek, para fasilitator juga mengiyakan dan mengekalkan stigma tersebut.
Mereka sering beralasan bahwa masyarakat memang miskin karena setiap hari mereka mendengar itu dalam dialog dan interview dengan masyarakat. Mereka setiap hari menyaksikan bagaimana penampilan fisik rumah mereka dan pakaian mereka. Mereka juga acap kali membaca statistik desa tentang jumlah orang miskin.
***
Pada setiap sambutan-sambutan pemerintah desa ketika melakukan kunjungan ke desa, coba perhatikan, isinya tentang statistik kemiskinan, tentang ketidakmampuan warga menyediakan biaya bahkan untuk kebutuhan yang sangat primer, tentang ketidakbosanan mereka mengusul berbagai proyek-proyek ke pemerintah di atasnya dan tentang kebanggaan warga dan pemerintah desa mendapat bantuan karena kemiskinan.
Karenanya jangan heran, jika setiap tahun nomenklatur anggaran kita dipenuhi oleh angka-angka bantuan dan subsidi yang semakin hari semakin besar, program-program yang menyediakan bantuan langsung tunai makin hari makin menjamur. Ini adalah implikasi atas stigma bahwa masyarakat itu miskin, bodoh dan karenanya untuk memberdayakannya maka harus disediakan berbagai macam cara dan fasilitas.
Bagaimana mungkin kita bisa membangkitkan keswadayaannya jika sejak awal kita mencap mereka miskin?.
Bagaimana mungkin kita bisa mengajak mereka menginisiasi kegiatan inovatif jika sejak mula mereka anggap diri mereka bodoh?.
Bagaimana mungkin mereka bisa merancang sebuah rencana kerja jika sejak mula mereka memosisikan diri sebagai pihak yang menjadi obyek sebuah rencana?.
Miskin dan kemiskinan dalam pemberdayaan masyarakat harusnya hanya ada dalam statistik pemerintah dan lembaga bantuan. Atribut miskin dan tidak miskin tidak perlu ada dalam ranah strategi program dan alur-alur fasilitasi pemberdayaan masyarakat. Konsep miskin dan kemiskinan tidak boleh ada dalam pikiran para fasilitator-fasiliator masyarakat. Dalam proses fasilitasi dan interaksi dengan masyarakat para fasilitator harus melihat kemiskinan hanya sebagai sebuah mitos.
Mengenali Masyarakat Dampingan
Sebelum memulai kegiatan proyek atau bahkan sebelum membicarakan jenis-jenis intervensi yang tepat dalam suatu masyarakat dampingan maka keharusan pertama adalah mengenal masyarakat yang akan didampingi. Mengenali artinya mengidentifikasi dan mengetahui secara benar sumber-sumber daya yang masyarakat miliki, kelembagaan-kelembagaan asli yang mereka gunakan dalam mengelola sumber daya serta sistem nilai dan norma yang mereka gunakan sebagai acuan dalam berinteraksi dengan sumber daya tersebut.
Dalam skema YMP, mereka menyebutnya sebagai tahapan pengembangan kemitraan dan analisa situasi. Ini adalah tahapan kritis pertama dalam siklus fasilitasi pemberdayaan masyarakat. Jika salah dalam membangun kemitraan dan analisa situasi maka akan sulit membangkitkan kesadaran warga akan pentingnya keswadayaan dan kemandirian.
Membangun kemitraan artinya menjadikan pihak lain sebagai sahabat, rekan setara dan atau mitra. Menjadikan pihak lain mitra artinya menjadikan ‘orang’ atau ‘pihak lain’ menjadi ‘bukan orang lain’ atau ‘bukan pihak lain’. Mereka bukan penerima manfaat (beneficiaries) dan kita, pembawa proyek bukan juga pemberi manfaat (benefector).
Ini semacam proses peleburan ‘mereka’ menjadi ‘kita’. Sehingga setiap permasalahan bersama di desa bukanlah masalah desa itu semata-mata tetapi juga masalah bersama antara fasilitator dan warga, atau antara pihak proyek dan masyarakat.
Untuk melakukan tahapan ini, di tingkat desa pemerannya adalah para fasilitator. Sangat menarik untuk mendengar pengakuan fasilitator YMP ketika pertama kali ditempatkan di sebuah desa. Mereka tidak dibekali dengan berbagai macam alat-alat analisa dan kerangka berpikir apalagi skema proyek.
Kenapa begitu? Karena ketika mereka memperkenalkan diri dengan berbagai macam informasi proyek sejak pertama kali, maka saat itu, persepsi masyarakat tentang bantuan akan bermunculan. Ekspektasi masyarakat akan mulai tersusun rapi dan terkoordinir baik.
Tapi para fasilitator YMP ditempatkan tanpa informasi dan keterampilan semacam itu. Mereka hanya dikirim ke desa untuk tinggal bersama, mengamati situasi dan membangun interaksi dengan warga dan pemerintah setempat.
Mereka yang berpikir programatik dan prosedural pasti akan kebingungan dengan cara ini. Sementara proyek-proyek lain mengirim fasilitator untuk bersosialisasi dengan berbagai macam informasi dan alat peraga, panduan, pedoman dan semacamnya, YMP mengirim fasilitator tanpa instruksi dan target memadai.
Inilah yang dimaksud dengan membangun pertemanan dengan masyarakat tanpa proyek, tanpa uang dan tanpa persepsi tentang masyarakat desa dampingan. Dalam pelatihan kefasilitatoran, kita menyebut langkah ini sebagai langkah me-nol-kan pemikiran dan informasi mengenai masyarakat desa. Fasilitator harus men-set pikiran mereka tentang masyarakat ke titik nol. Seolah-olah mereka tidak tahu apa-apa tentang desa itu.
Dengan cara itu, fasilitator akan bisa secara obyektif dan nyata bisa mengenali dan memahami situasi yang sebenarnya tentang desa dan masyarakatnya, tentang kapan dan bagaimana desa dan masyarakat tersebut terbentuk, tentang apa yang menyebabkan mereka bisa bertahan dan bahkan berkembang. Sekali para fasilitator itu membangun persepsi terlebih dahulu maka saat itu mereka akan kehilangan kesempatan untuk mendapat informasi yang seringkali sangat mendasar.
Contohnya, ketika mereka mendengar atau membaca informasi bahwa mayoritas warga desa adalah petani tradisional dan mereka mengambil acuan seperti apa petani tradisional yang mereka pahami selama ini, maka para fasilitator itu tidak lagi akan bertanya dan mengkaji lebih jauh, tanah siapa yang mereka garap, di mana mereka memperoleh bibit, siapa yang pergi berbelanja kebutuhan pupuk dan pestisida, siapa yang terlibat dalam menyiangi tanaman, memanen dan menjualnya.
Persepsi ini membawa kemalasan fasilitator untuk mengamati dan mengkaji lebih detail. Padahal, setiap desa, setiap komunitas, setiap kampung adalah unik (unique), khas, berbeda satu sama lain.
Unik karena setiap komunitas mempunyai sejarah terbentuk dan perkembangan yang berbeda-beda. Kalau setiap komunitas adalah unik, maka tentu informasi atasnya juga akan berbeda.
Inilah mengapa para fasilitator penting untuk berpikir seperti tidak mengetahui apa-apa. Para fasilitator harus memahami bahwa, seringkali lembaga hanya menyiapkan skema kegiatan, yang boleh jadi seragam atau mirip satu sama lain dengan desa lainnya, tetapi bagaimana itu dilaksanakan, haruslah cukup fleksibel dan diadaptasikan dengan situasi yang ada di masing-masing desa.
Pada sisi warga masyarakat juga demikian. Mereka juga seringkali terlebih dahulu membangun persepsi atas kehadiran proyek atau orang luar. Jika mereka telah mengetahui bahwa yang datang adalah fasilitator sanitasi, maka mereka juga membangun persepsinya sendiri tentang sanitasi. Hampir tidak ada peluang lagi untuk berikir di luar kerangka sanitasi. Karena bagi mereka, urusan proyek ini adalah sanitasi bukan yang lain.
***
Pernahkah kita mendengar ada warga mengeluhkan soal pupuk yang mahal dan tidak tersedia kepada para penyuluh KB? atau sebaliknya biaya melahirkan kepada penyuluh pertanian?. Ini karena masyarakat terlanjur membangun persepsinya sendiri bahkan sebelum para penyuluh dan fasilitator itu berinteraksi dan berbicara dengannya.
Dalam memahami sebuah situasi desa, pekerjaan terberat seorang fasilitator adalah menghindari jebakan persepsi (perception trap). Untuk menghindari jebakan ini, dalam praktek, seringkali para fasilitator tersebut dilarang untuk berbicara jamban dengan masyarakat padahal mereka sedang dikirim oleh proyek sanitasi.
Jadi mereka memulai tidak dengan proyek apa yang akan dilaksanakan, tetapi memulai dengan melihat fakta-fakta dan realitas serinci mungkin tentang berbagai hal yang terkait dengan desa tersebut.
Seringkali fasilitator telah merasa mengenal desa dampingannya hanya dengan mengetahui beberapa informasi yang minim dan cenderung permukaan saja. Kadang-kadang juga fasilitator rajin membuat generalisasi, menganggap mengetahui segala hal berdasarkan satu atau dua informasi yang diterimanya lalu membuat kesimpulan yang tentu saja bisa bias.
Berapa lama proses ini pengembangan kemitraan dan analisa situasi seperti ini berjalan?.
YMP menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk membangun pertemanan dengan masyarakat desa serta analisa situasi. Meski proyek SHAW secara resmi dimulai sejak Januari 2012 di Lombok Timur, namun baseline survey-nya sendiri dilakukan bulan Oktober.
Apa artinya, YMP membutuhkan waktu cukup lama dalam tahapan ini.
Secara teoritik, tidak ada kerangka waktu yang pasti untuk melaksanakan tahapan pengembangan kemitraan dan analisa situasi. Waktu akan sangat tergantung pada kondisi masyarakatnya serta juga pada keterampilan fasilitatormya.
Kemitraan perlu dibangun melalui berbagai cara dan metode sehingga fasilitator benar-benar menjadi bagian dari masyarakat yang didampingin dan masyarakatpun sungguh-sungguh merasa memiliki fasilitator.
Kemitraan tidak mungkin dibangun hanya dengan satu atau 2 kali pertemuan formal. Proses seperti ini tidak saja berlaku pada tingkat warga tetapi juga pada para pihak lain, pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten.
Proyek yang menjamin kualitas dan keberlanjutan lebih memilih untuk berlama-lama dalam tahapan ini sampai kemudian masyarakat dan para pihak (stakeholders) sampai pada apa yang disebut “titik balik” (turning point) atas sebuah kesadaran secara kolektif.
Karena itu, bagi YMP, tahapan awal paling krusial adalah membangun kemitraan dan analisa situasi bukan sekadar seminar dan workshop-workshop sosialisasi-sosialiasi proyek serta road show ke desa-desa.
Jika dalam perjalanan SHAW di Lombok Timur, terlihat kesadaran warga yang tinggi atas isu sanitasi, keswadayaan yang besar untuk secara mandiri membangun dan merawat fasilitas sanitasi, atau terdapat motivasi yang kuat untuk berubah dari berbagai pihak, itu karena kontribusi kesuksesan melalui pengembangan kemitraan ini.
***
Melihat fakta untuk mendorong penyadaran
Mengkaji perilaku saniter dan higienitas warga di wilayah kerja SHAW YMP di Lombok ibarat membuka lipatan-lipatan kertas dengan kondisi sudut kertas yang saling bertentangan, kontradiktif dan cenderung paradoksal.
Potensi sumber daya alam yang melimpah, lahan membentang subur dari dusun-dusun di pesisir Samudera Indonesia di selatan dan Laut Flores di utara sampai ke bahu Gunung Rinjani, nyaris tidak bisa dipercaya, jika hanya untuk membeli toilet/jamban leher angsa seharga 50-75 ribu rupiah pun tidak mampu. Itu sama dan setara 5-7 bungkus rokok yang diisap pria Lombok.
Lombok yang dikenal dengan Negeri Seribu masjid, seribu kyai/tuan guru dan pesantren, pasti tidak masuk akal jika pesan-pesan keagaaman tentang menjaga kebersihan dan keindahan belum diketahui oleh warga masyarakat.
Bukankah ‘kebersihan sebagian dari iman’. Bukankah ‘Allah suka pada sesuatu yang indah’. Bukankah memperlihatkan pantat/bokong sesuatu yang dilarang agama?, Karena itu bagian dari aurat. Tapi mengapa BABS di ladang/kebun, di parit dan sungai menjadi pilihan? Bukanlah itu melanggar norma sosial dan agama?.
Jika Lombok Timur menjadi penyumbang terbesar tenaga kerja ke luar negeri, lalu mengapa membangun dan menggunakan fasilitas sanitasi sangat susah. Bukankah menjadi pekerja di luar negeri memberi kesempatan pada warga untuk mengenal kehidupan saniter yang lebih baik. Memberi kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih besar.
Opsi-opsi sanitasi dan higienitas mestinya lebih beragam dengan adanya akumulasi pengalaman para warga di luar negeri.
Perjalanan proyek-proyek pembangunan terkait sanitasipun demikian. Berbagai macam proyek-proyek sanitasi telah digagas di wilayah ini, tetapi mengapa cakupan sanitasi masih saja rendah?
Mengenal masyarakat adalah mengenal apa yang mereka miliki bukan dengan melihat apa yang mereka tidak punyai. Mengenal masyarakat artinya melihat secara teliti 3 hal pokok. Pertama adalah sumber daya (resources) apa yang mereka punyai. Sumber daya tersebut, bisa berbentuk sumber daya alam atau buatan.
Dilihat dari aspek kepemilikannya, milik bersama komunitas atau milik individu rumah tangga. Sumber daya bersama (common property resources) bisa dilihat bagaimana masyarakat mendayagunakan dan mengelolanya. Sumber daya ini bisa dikategorisasi menurut keterkaitannya dengan hutan (forest), tanah/lahan (land) dan air (water).
Yang kedua keorganisasian warganya (organization). Ini juga sangat penting. Bagaimana warga mengorganisir diri dalam pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya yang mereka miliki. Format keorganisasi bisa dilihat dari asal usul keorganisasiannya. Apakah keorganisasian tersebut telah ada secara tradisional atau merupakan format yang diperkenalkan oleh pihak luar.
Kompleksitas format keorganisasian bisa dilihat mulai dari sekadar aksi-aksi sosial warga dalam rangka saling bantu (mutual support) dan pengumpulan sumber daya (resource pool) atau sudah berbentuk organisasi pembangunan untuk pengelolaan asset (asset management), menuju pengembangan profit (surplus generation dan desa otonom (village autonomy).
Yang ketiga adalah bagaimana para warga mengelola keorganisasi bisa dilihat dengan mengkaji perangkat nilai dan norma-norma (norms) yang berlaku dan dipatuhi. Sejarah terbentuknya norma serta bagaimana asal usul dari norma-norma yang digunakan dalam pengelolaan sumber daya dan organisasi, penting untuk diidentifikasi dan dikaji aspek struktural dan fungsionalnya.
Dengan melihat dan mengkaji bagaimana warga masyarakat memiliki, mengelola dan mendayagunakan sumber daya di desa, bagaimana keorganisasian dan norma yang digunakan dalam kerangka perubahan atas ruang dan waktu, maka akan kelihatan bagaimana tingkat kerentanan dan keberdayaan warga sebuah desa.
Aspek-aspek tersebut seperti itulah yang harus dilihat secara faktual dan saksama. Ini adalah informasi yang sangat berguna dalam memberi umpan balik (feedback) tentang kemampuan warga. Ini juga cara untuk menghargai keberadaan warga.
Jika fasilitator menguasai fakta tentang masyarakat, maka akan dengan mudah desakan permintaan subsidi atau bantuan-bantuan dalam berbagai proyek dijawab dengan mudah. Jika warga berargumen bahwa mereka tidak mampu membangun toilet maka fasilitator cukup mengajak warga melakukan kuantifikasi terhadap jumlah bungkus rokok yang diisap suami mereka. Ini sebagai contoh.
Menghargai warga masyarakat artinya membuat mereka merasa menjadi ada dan berada. Caranya adalah dengan memberitahukan apa yang mereka punyai, apa keunggulan-keunggulan mereka, bukan dengan apa yang mereka tidak punyai.
Cara paling mudah untuk menghina keberadaan warga masyarakat adalah dengan selalu dan berkali-kali mengemukakan apa kelemahan, keburukan dan masalah-masalah mereka. Ini juga cara yang paling efektif untuk membunuh potensi keberdayaan mereka.
Itulah mengapa realitas dan fakta atas sumber daya mereka, keorganisasian mereka dan norma-norma yang mereka punyai penting untuk diketahui. Mengemukakan kepada mereka atas apa yang mereka punyai sebagai sesuatu yang berharga adalah cara membangun kesadaran dan kemampuan mereka. Berharga karena itulah yang membuat desa mereka terbentuk ratusan yang lalu, yang membuat desa mereka bisa bertahan dalam alur perubahan peradaban selama bertahun-tahun serta membuat desa mereka mampu berkembang hingga kini.
Karena itu sesungguhnya, prinsip non-subsidi dalam STBM harusnya tidak dimaknai sebagai prinsip program semata-mata tetapi menjadi cara bagi proyek untuk menghargai keberadaan masyarakat. BAB sejatinya adalah urusan pribadi, urusan private yang harusnya tidak diketahui orang lain.
Lalu mengapa hanya untuk membangun jamban yang biayanya murah harus menengadahkan tangan sampai ke negeri yang jauh? atau harus menunggu kucuran APBD yang lama?.
Apakah subsidi haram?. Sesungguhnya tidak. Tapi harus dilakukan dengan hati-hati. Non-subsidi sebenarnya bermaksud agar muncul rasa memiliki atas fasilitas tersebut. Ini tentu berkaca dari banyaknya kegagalan pendekatan program-program sanitasi di masa lalu yang penuh dengan subsidi.
Di tahun 80an sampai dengan awal 90an, di banyak daerah pedesaan di Sulawesi Selatan kita bisa menyaksikan bagaimana bangunan jamban/toilet warga berdiri kokoh, bersih dan rapih di setiap rumah warga. Kokoh karena dibangun oleh lembaga bantuan internasional. Lebih kokoh bahkan dari konstruksi bangunan rumah pemiliknya sendiri. Bersih karena tidak dipakai. Tidak dipakai karena terasa sayang harus mengotorinya. Bukankah bangunan jambannya jauh lebih bersih dari bangunan lainnya. Rapi karena tertata dengan baik di setiap halaman depan rumah warga, berbaris berjejeran dengan model bangunan yang sama.
Inilah revolusi tentang ‘ingin ke belakang’ sebagai bahasa halus untuk meminta izin untuk buang air di toilet, yang justeru dilakukannya di bagian depan, bukan di bagian belakang rumah.
Ini adalah revolusi bahwa tempat buang hajat yang sejak bertahun-tahun tempatnya di belakang kini pindah ke bagian depan rumah. Sekali lagi ini adalah kesalahan para pembawa proyek memahami situasi warga.
Dalam konteks SHAW di Lombok Timur, subsidi (lebih tepatnya stimulan) dalam pembangunan fasilitas sanitasi sebenarnya masih terjadi. Apa yang berbeda, bukan proyek yang memberikan subsidi tersebut. Tapi diberikan oleh pemerintah melalui anggaran bantuan pemerintah kabupaten atau ADD.
Ini mereka lakukan untuk mempercepat proses penerapan STBM di tingkat desa. Subsidi itu juga diberikan secara khusus pada kelompok yang dianggap tidak mampu menyediakan fasilitas tersebut dalam waktu yang singkat. Menunggu sampai mereka benar-benar mampu bisa bia jadi melampaui masa proyek. Subsidi ini pun hanya sebagian kecil dari komponen konstruksi fasilitas sanitasi. Jika bukan sebiji toilet, maka se-zak semen atau bagian lainnya. Intinya bagaimana mendorong percepatan.
Mereka memaknai cara ini sebagai aplikasi pemahaman dan kepedulian pemerintah desa setempat terhadap kebutuhan warganya. Itulah makanya, stimulan tidak diberikan secara serampangan, tetapi direncanakan secara baik dan terbuka dalam forum-forum warga.
Pertimbangan lainnya adalah, ini adalah cara pemerintah desa untuk mendorong pemasaran atas produk tukang-tukang sanitasi setempat yang sudah terlatih.
Inilah mengapa, subsidi dalam konteks ini tidak boleh membangkitkan perasaan ketidakberdayaan warga. Subsidi ini harus dilihat dari kepekaaan dan kepedulian pemerintah setempat terhadap keterbatasan warga mereka dalam mengadakan fasilitas sanitasi yang dibutuhkan.
***
Pengakuan atas kemampuan masyarakat
Sudah saatnya untuk kita melihat kembali peran pembangunan kita. Belum terlambat untuk merefleksi pendekatan pembangunan yang kita lakukan selama ini. Kita bisa memulai dengan mengidentifikasi apa yang sebenarnya menjadi permasalahan dan issu yang bersama dalam sebuah masyakat desa atau pada tingkat rumah tangga.
Mereka sesungguhnya mampu menyelesaikannya sendiri, atau setidaknya memulai dari upaya mereka sendiri sebelum mendatangkan sumber daya dari luar pada saat yang dibutuhkan. Kalau mereka mampu membangun masjid dengan kapasitas jamaah yang besar, mengapa kemampuan ini tidak disalurkan juga pada pembangunan fasilitas-fasilitas umum yang lainnya.
Kalau mereka bergotong royong untuk pembangunan sarana sosial, mengapa mereka tidak mampu membangun bak-bak penampungan air yang kuat dan besar atau membangun fasilitasi sanitasi yang kokoh dan kuat.
Kita membayangkan, jika sebuah desa mengalami masalah alam air bersih dan membutuhkan pipa sepanjang 1 kilometer, mereka tidak lagi menanti proses Musrenbang, atau menjajakan proposal ke kabupaten dan lembaga donor. Karena mereka mampu mengadakannya sendiri. Letak soalnya adalah kita yang selama ini mengambil peran itu secara tidak sadar karena salah asumsi terhadap kemampuan mereka.
Fasilitator dan pelaku-pelaku proyek harus benar-benar meyakini bahwa syarat pertama keberhasilan pemberdayaan masyarakat adalah mempercayai bahwa masyarakat mempunyai kemampuan, bukan sebaliknya.
Bagi YMP, ini bukan sekadar sebuah metode. YMP menempatkan sebagai sebuah gerakan di bawah payung Gerakan Sambang Santri (Semangat Membangun Sanitasi dan Air Bersih Mandiri). Dengan spirit Sambang Santri, YMP berkehendak untuk memperkenalkan kembali cara pandang melihat kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan persoalannya sendiri tanpa harus menunggu bantuan dari luar. Pihak luar hanya bertugas untuk mendorong dan mendukung.
YMP meyakini bahwa jika warga masyarakat telah berinisiatif dan berusaha sendiri dengan baik dan benar sejak awal maka pihak luar pun (lembaga donor, pemerintah dan pihak pendukung lainnya) juga akan dengan mudah dan yakin untuk mendukung inisiatif yang mereka sudah lakukan. Kenapa? Karena jika masyarakat merasa bahwa itu adalah masalahnya, maka adalah wajar jika sejak awal masyarakat itu sendiri yang harusnya mengambil inisiatif serta peran lebih besar dari pada pihak luar.
****
Mendorong Perubahan Perilaku dengan Konsep Investasi
Perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Selain itu ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku petugas kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.
Dalam dunia kesehatan, banyak dipercayai bahwa perubahan perilaku ditentukan konsep risiko. Konsep ini mengatakan bahwa individu akan mengubah perilaku tergantung pada beratnya resiko yang akan muncul dikemudian hari jika sebuah perilaku dipertahankan.
Secara umum, konsep risiko ini menekankan bahwa bila seseorang mengetahui ada risiko terhadap kesehatan maka secara sadar orang tersebut akan menghindari risiko.
Terdapat 3 klasifikasi dalam perilaku kesehatan yaitu :
Perilaku pemeliharan kesehatan (health maintenance), yaitu usaha seseorang untuk memelihara kesehatan agar tidak sakit dan usaha penyembuhan jika sedang sakit.
Perilaku pencarian dan penggunaan sistem pelayanan kesehatan (health seeking behaviour), yaitu perilaku yang menyangkut upaya atau tindakan seseorang saat sakit dan atau kecelakaan untuk berusaha mulai dari self-treatment sampai mencari pengobatan ke luar negeri.
Perilaku kesehatan lingkungan, yaitu cara seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya.
Dalam praktek-praktek pemicuan STBM, perilaku spesifik yang mendapat perhatian utama adalah yang berkaitan dengan penularan penyakit, misalnya perilaku penangan air, penanganan mencuci tangan sebelum makan, mencuci peralatan makan dengan bersih sebelum digunakan, mencuci tangan pakai sabun setelah buang air besar, mencuci bahan makanan sebelum digunakan dan merebus air minum sebelum diminum, kondisi ini akan memberi peluang bagi agen penyebab penyakit untuk mengkontaminasi dan menularkan penyakit secara fecal-oral.
Ini bermaksud bahwa, dengan perilaku atau kebiasaan higienis tertentu seperti tadi maka beberapa penyakit bisa dicegah. Inilah sasaran penting promosi kesehatan yang banyak digunakan.
Tantangan dalam promosi kesehatan dengan konsep resiko adalah seringkali masyarakat mengembangkan pengertian sendiri tentang sehat dan sakit sesuai dengan pengalaman hidupnya atau nilai-nilai yang diturunkan oleh generasi sebelumnya.
Sebagai misal penyakit diare yang sering dilaporkan terjadi akibat lingkungan yang buruk. Artinya, jika diare dipersepsikan sebagai suatu penyakit tidak serius dan tidak mengancam kehidupannya maka perilaku pencegahan akan penyakit diare pun tidak terlalu serius dilakukan.
Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa diare merupakan masalah kesehatan yang perlu diwaspadai, otomatis mereka akan bereaksi serius terhadap penyakit ini dengan mengembangkan perilaku- perilaku pencegahan.
Selain menerapkan konsep risiko dalam pemicuan-pemicuan untuk perubahan perilaku, YMP juga mengembangkan konsep lain yaitu konsep investasi. YMP menyebarkan leaflet, brosur-brousr serta baliho yang menunjukkan 7 keuntungan yang diperoleh jika masyarakat mengaplikasikan dengan ber-STBM, yaitu : (1) kematian ibu melahirkan menurun (2) berat bayi lahir akan baik (3) prestasi sekolah lebih baik (4) status gizi meningkat (5) berkurangnya ketidakhadiran kerja (6) biaya kesehatan berkurang (7) perekonomian rumah tangga meningkat. Selain itu, YMP juga memperkenalkan Gerakan Sedekah Kalimat Sehat STBM 5 Pilar.
YMP coba melengkapi konsep risiko dengan konsep keuntungan. Menggunakan uang atau dana dalam ber-STBM dipromosikan sebagai invetasi, bukan pengeluaran biaya, yang manfaat atau keuntungannya akan diperoleh dikemudian hari. Jadi konsepnya bukan menghindari risiko tapi mendapat manfaat/keuntungan dikemudian hari, baik ketika masih hidup dengan 7 keuntungan maupun di akhirat dengan amal sedekah kalimat sehat.
Konsep ini patut dipertimbangkan sebagai sebuah strategi yang relevan mengingat Lombok Timur dikenal sebagai masyarakat agamis dan religius. Mengajak dan mendorong para pihak terlibat dalam gerakan STBM bukan semata-mata menggunakan skema proyek serta konsep-konsep risiko kesehatan tetapi juga konsep bersedekah non-materi dengan cara bersedekah kalimat sehat. YMP mendorong keterlibatan tokoh agama, para guru dan tuan guru juga dengan cara ini. Voluntarisme dan keswadayaan para pihak didorong dengan prinsip ini.
YMP menyadari betul bahwa, kebiasaan masyarakat untuk mengeluarkan uang untuk menjenguk dan menjaga keluarga yang sakit di rumah sakit atau pusat-pusat kesehatan selama ini tidak dianggap sebagai biaya rumah tangga tetapi dianggap sebagai invetasi.
Suatu saat, ketika sebuah rumah tangga mengalami hal yang sama, maka keluarga atau kerabat lain juga akan melakukan hal seperti itu. Jadi dimensinya melihat ke masa depan, bukan masa lalu. Dalam ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat Lombok Timur, pandangan seperti ini sangat relevan untuk menjadi materi dalam melakukan penyadaran.
Mengapa Perlu Berubah ?
Apa yang membentuk perilaku seseorang?. Jika menggunakan pembagian “mind” nya Sigmund Freud, perilaku individu akan dominan dipengaruhi oleh alam bawah sadar (unconsciousness) seseorang, selain alam sadar (conscious) dan prasadar (conscious).
Dalam alam bawah sadar tersimpan ingatan masa kecil, energi psikis yang besar dan insting. Perilaku yang muncul merupakan konsekuensi logis dari ketidaksadaran, sedangkan ketidaksadaran itu tidak dapat dikaji secara langsung. Ketika sebuah perilaku individu diterima atau setidaknya ditolerir oleh norma dan nilai lokal maka lambat laun perilaku tersebut akan dianggap sebagai sebuah kewajaran atau bahkan kebenaran.
Itulah penjelasan mengapa perilaku individu akan sangat susah berubah, apalagi perubahan secara kolektif di tingkat masyarakat. Itulah mengapa, sebuah proyek yang bertaujuan untuk mendorong perubahan perilaku adalah sebuah proyek yang tidak mudah. Memfasilitasi perubahan perilaku warga dan komunitas dengan demikian membutuhkan teknik tersendiri.
****
Kita bisa menemukan dan mendengar seribu alasan bagi seseorang atau sekelompok warga untuk tidak berubah, atau tetap mempertahankan kebiasaan lama yang sudah berlangsung secara turun temurun. Kalau sebuah kebiasaan telah berlangsung lama lalu mengapa harus diubah?. Begitu pertanyaan yang selalu muncul.
Orang Bajo (komunitas yang kerap dianggap nomaden) yang hidupnya di pesisir merasa heran mengapa saat ini mereka dilarang untuk membuang sampah di laut. Bukankah segala aktifitas mereka terkait dengan laut. Bahkan ketika mereka lahir, laut adalah sesuatu yang harus digeluti. Membuang sampah di laut adalah sesuatu yang biasa bahkan sejak peradaban Bajo mulai dikenal, lalu mengapa ratusan pasang papan bicara dipasang dan menjelaskan perlunya untuk tidak membuang sampah di laut. Dalam banyak kasus, sanksi untuk buang sampah tersebut dituliskan juga dengan cukup keras.
Petani tradisional di kampung-kampung juga heran, mengapa mereka saat ini tidak boleh lagi sembarang membuang sampah, padahal sejak dulu, bungkus nasi dan penganan apapun yang mereka bawa dari rumah, seketika semua dihabiskan, maka tanah adalah tempat membuang bungkusnya. Itu sudah berlangsung sedemikian lama, mereka melihat dan mencontoh dari leluhurnya. Lalu mengapa para penyuluh sekarang melarangnya?.
Para petani dan peladang berpindah-pindah juga demikian. Praktek bertani (shifting cultivation) adalah praktek sejak nenek moyang, seusia dengan mulai dikenalnya praktek pertanian. Itu sudah berlangsung ratusan tahun yang lalu. Lalu mengapa sekarang praktek semacam itu tidak diperbolehkan lagi?.
Selaras dan senada dengan contoh tersebut di atas, mengapa buang air besar di sungai, di parit, di sawah dan di beberapa tempat yang ‘nyaman’ lainnya sekarang ini tidak boleh lagi?. Mengapa minum air mentah tidak layak lagi, bukankah itu lebih enak dan menyegarkan karena airnya langsung dari air pegunungan?, mengapa harus cuci tangan kalau kakek-nenek kita dulu bahkan langsung makan hanya dengan mencuci tangan di parit-parit sawah, langsung petik buah-buahan di kebun dan memakannya meski tidak cuci tangan terlebih dahulu?.
Semua kebiasan-kebiasaan tersebut sudah tertanam dalam alam bawah sadar, sudah terbiasa dilakukan sejak lama, sejak kita kecil. Maka pertanyaan bagi mereka, jika itu sudah berlangsung demikian lama, dan kondisi hari ini adalah penerusan dan produk dari era dan cara-cara seperti itu lalu mengapa mereka harus dipaksa berubah?.
Inilah yang harus dijawab oleh para fasilitator masyarakat, para pendamping, para penyuluh dan oleh para pemicu STBM.
Kita bisa dengan singkat mengatakan bahwa, meminjam istilah Profesor Darmawan Salman dalam pengantar buku ini, ‘rangkaian praktik” tersebut tidak lagi sesuai dengan ‘spirit zaman’. Ada perubahan terhadap sistem nilai dan struktur kelembagaan. Ada ‘kespesifikan ruang dan waktu’, dimana sebuah perilaku bisa ditolerir oleh sistem norma yang berlaku.
Benar, ruang dimana komunitas berada, beraktiftas dan berelasi satu sama lain mengalami perubahan. Itulah mengapa, mereka dalam beberapa konteks tertentu juga harus mengubah diri agar kebiasaan lama sesuai dengan tuntutan dan spirit zamannya.
Petani tradisional di kampung-kampung atau nelayan di pesisir, tidak lagi membuang sampah di tanah/lahan dan di laut dengan sampah yang mudah hancur dan terurai. Dulu sampah mereka adalah daun pisang, pelepah kayu, daun-daun pembungkus makanan, tapi sekarang sampahnya adalah berbahan plastik. Meski sama-sama sama sampah, tetapi perlakuan buangannya tidak boleh lagi sama. Ada kespesifikan ruang dan waktu.
Selain itu, ketika dulu sampah dibuang di sembarang tempat, daya dukung lahan kita masih sanggup mentoleransinya. Sekarang, dengan jumlah orang yang membuang sampah makin meningkat berkali-kali maka jumlah sampahnya juga akan meningkat berkali-kali volumenya. Maka lahan tidak bisa lagi mentoleransinya.
Praktek-praket anti STBM pun juga demikian. Sangat mudah dijelaskan mengapa mereka tidak boleh lagi BABS, minum air tanpa diolah dan disimpan dengan aman, harus CTPS dan lain-lain.
Seorang fasilitator harus mampu menunjukkan semua kondisi tersebut dan meletakkankannya dalam konteks perubahan ruang dan waktu. Itulah maka, seorang fasilitator harus memahami fakta dan realitas masyarakat setempat.
Dengan bekal fakta maka proses fasilitasi menuju perubahan akan dengan mudah ditunjukkan. Fakta terhadap bagaimana realitas tatanan mereka mengelola unsur-unsur sumber daya lokal, fakta tentang bentuk keorgansasian yang mereka adakan untuk mengelola sumber daya dan fakta tentang norma-norma dan aturan-aturan lokal yang mereka bentuk, adopsi atau adatasi untuk melanggengkan sistem keorganisasian masyarakat.
Karena itu, perubahan perilaku akan bisa terjadi jika prosesnya adalah fasilitasi. Pemicuan yang berhasil hanya bisa terjadi jika prosesnya merujuk pada proses fasilitasi. Perubahan perilaku tidak bisa diharapkan terjadi hanya dengan penyuluhan dan sosialisasi beratus-ratus kali atau memasang dan menancap papan bicara di ribuan buah atau menempel pamflet dan sticker ribuan lembar.
Lihat bagaimana penebangan pohon masih terus berlanjut dalam hutan lindung meski papan pengumuman dan ancaman hukuman telah jelas tertera. Bahkan dengan patroli para polisi hutan yang ganas. Tapi warga tetap dengan kebiasaan lama. Mereka tidak mau dilarang untuk meneruskan kebiasaan mereka berinteraksi dengan hutan.
Lihat sampah banyak berserakan di bawah papan pengumuman ‘dilarang buang sampah’, perokok semakin giat merokok meski tulisan bahaya tentang rokok sudah lama tertera dengan jelas pada setiap bungksu rokok atau baliho iklan luar ruang (out door), bahkan akhir-akhir ini sudah diserta dengan gambar yang menyeramkan.
Apakah media dan cara-cara itu tidak boleh dilakukan. Media dan cara-cara konvensional tersebut tetap relevan. tetapi sebagaimana ditekankan dalam awal tulisan ini, cara-cara konvensional hanya akan membantu memperkuat persepsi masyarakat dan membangun pengetahuan masyarakat tentang sesuatu, namun kurang bisa mendorong mereka untuk berpindah perilaku.
Seorang fasilitator dan pelaku-pelaku proyek yang bertujuan untuk perubahan perilaku masyarakat harus benar-benar menyadari hal ini.
Dalam proses fasilitasi, seorang fasilitator harus benar-benar memahami realitas lokal dan fakta empirik di wilayahnya dan menempatkannya dalam konteks ruang dan waktu tertentu atas perjalan kehidupan masyarakattersebut. Tanpa itu, mereka akan susah menjelaskan secara rasional dan sederhana mengapa sebuah perilaku warga dan komunitas harus berubah.
Proses fasilitasi harus bisa menuntun warga untuk tiba pada kesimpulan sendiri bahwa mereka harus berubah. Tanpa pemahaman yang detail tentang itu, para fasilitator akan kembali ke rumus awal, bahwa mereka harus berubah karena aturan yang menghendaki atau karena kebijakan yang mengharuskan. Jika itu terjadi, maka yang terjadi adalah bukan fasilitasi. Itulah adalah indoktrinisasi. Itu artinya, apa yang dilakukan adalah anti-pemberdayaan masyarakat.
Berubah adalah pilihan
Siapa yang diuntungkan jika proyek semacam STBM ini berhasil?. Siapa yang mendapat manfaat jika sebuah deklarasi 100% STBM?. Siapa yang harusnya senang jika warga mengubah perilaku saniter dan higienitasnya?.
Tentu jawaban normatifnya adalah masyarakat, warga desa, kelompok sasaran atau penerima manfaat lainnya.
Tapi ketika sasaran tersebut dikemas dalam sebuah skema proyek semacam SHAW lalu mengapa banyak warga, para pihak mulai dari tingkat desa sampai kabupaten berpikir bahwa justeru pelaksana proyeklah yang mendapat manfaat.?
Kalau manfaat sebuah proyek adalah untuk masyarakat, mengapa ada pemerintah desa yang menolak ikut serta jika proyek tidak menyiapkan subsidi, atau ada warga yang acuh tak acuh karena tidak mendapat bantuan langsung atau bahan atau barang untuk membangun sarana sanitasi, atau tukang yang enggan berpoduksi karena tidak mendapat modal kerja?.
Kalau sebuah proyek bisa berhasil mencapai tujuannya, maka tentu pada tatanan daerah juga akan mendapat manfaat secara makro. Bukankah kalau sebuah proyek sanitasi dan kesehatan berhasil, maka akan berkontribusi pada capaian-capaian kinerja sektor kesehatan, pendidikan dan IPM daerah secara keseluruhan membaik.
Tapi mengapa ketika sebuah proyek diperkenalkan, pertanyaan pertama para pihak yang terkait adalah ‘apa bantuan yang ada disiapkan untuk kami’. Ketika tukang akan dilatih maka mereka akan bertanya, ‘berapa besar bantuan modal akan kami dapatkan’?. Dan berbagai macam pertanyaan senada terkait dengan manfaat finansial yang bisa diperoleh dalam jangka pendek oleh para pihak terkait.
Situasi semacam ini adalah barter antara ‘kesediaan’ warga dan semua stakeholder proyek untuk terlibat dalam proyek dengan kesediaan proyek untuk menyiapkan berbagai bentuk ‘kompensasi’ atas kesediaan warga ‘berpartisipasi’. Situasi ini dialami oleh banyak sekali proyek, justeru pada proyek-proyek pemberdayaan masyarakat. Ini adalah situasi relasi antara warga masyarakat dan para pihak dengan pengelola proyek yang seringkali diwakili oleh LSM-LSM dan lembaga bantuan internasional.
LSM-LSM seringkali terjebak dalam situasi seperti ini. Sangat sulit untuk mengelak dari tuntutan warga atau pihak yang didefinisikan sebagai penerima manfaat semacam ini. Amat wajar jika warga atau pihak-pihak terkait mempertanyakannya.
Tetapi jika ingin berhasil meyakinkan warga bahwa yang berkepentingan terhadap proyek adalah mereka, maka sejak awal mestinya telah menjadi penegasan. Tidak ada toleransi atas itu. Sekali warga melihat bahwa kita, para pelaksana sangat berkepentingan terhadap proyek, maka seterusnya warga akan menuntut kompensasi-kompensasi tadi. Sekali kita tunduk pada target-target yang diletakkan oleh penyandang dana (donor) maka pertimbangan pragmatis atas partisipasi warga menajdi terabaikan.
Maka akan sangat menarik, jika YMP dalam program SHAW memperkenalkan STBM pada wilayah dan desa yang berminat. Memulai relasi kerjasama pada pihak yang juga tertarik pada tujuan bersama. Tinggalkan desa yang tidak berminat, meski itu telah masuk daftar desa yang menjadi wilayah kerja kepada donor.
Abaikan para pihak (untuk sementara) yang masih berpikiran bahwa proyek adalah kucuran uang dan dana, meski para pihak tersebut telah terdata sebagai pihak atau aktor yang harusnua diajak bekerja sama. Di sini, lembaga penyandang dana pun harus benar-benar dan bisa memahami strategi semacam ini. Akan susah jika lembaga donor tidak memahaminya.
Terhadap pihak-pihak lain pun demikian. Harus ditegaskan sejak awal bahwa proyek tidak memberikan subsidi. Mungkin di saat awal, mereka akan shock (terkejut) mendengarnya. Karena berbagai macam proyek lain selama ini tidak berani melakukannya. Tidak berani karena khawatir ‘tingkat partisipasi’ warga akan kurang. Tidak berani karena ketakutan ‘pemerintah’ tidak memberi dukungan. Juga takut karena mereka bisa dicap oleh lembaga donor tidak bisa memobilisasi komponen-komponen target proyek. Tapi terapi kejut atau pembiaran untuk sementara waktu, seringkali harus dimaknai pula sebagai sebuah strategi dalam proses fasilitasi.
Tegas terhadap prinsip-prinsip pemberdayaan sejak awal proyek adalah keharusan. Proyek harus benar-benar bisa membuktikan bahwa ada mind-set tentang proyek yang harus diubah. Ada gaya-gaya pengelolaan proyek yang harus diperbaiki. Tanpa itu, kita akan seterusnya terlibat dan mengelola banyak proyek-proyek peberdayaan masyarakat tetapi dengan nilai keberdayaan masyarakat yang juster makin menipis.
Proyek harus dimaknai sebagai pihak yang hanya akan memberi pilihan, menyadarkan atas resiko dan konsekuensi atas setiap pilihan. Ini adalah prinsip pengelolaan terhadap ‘titik baik’ (turning point) dalam proses penyadaran. Ibaratnya, proses fasilitasi akan menghantarkan masyarakat pada sebuah persimpangan.
Di simpang itu, terdapat 2 pilihan, belok ke kiri atau belok ke kanan. Arah yang pertama adalah meneruskan dan mengembangkan kegiatan dan kebiasaan yang selama ini berjalan. Arah yang kedua adalah mencoba untuk melakukan sebuah kebiasaan baru. Kebiasaan lama akan membawa pada risiko buruk dan kebiasaan baru akan membawa pada situasi yang menguntungkan di masa depan.
Pilihan ada masyarakat itu sendiri. Fasilitator harus bisa menunjukkan apapun yang dipilih akan mempunyai risiko masing-masing. Dan masyarakat juga harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi risiko-risiko tersebut. Itulah yang dimaksud, berubah adalah pilihan.
Dalam konteks STBM, itu juga adalah pilihan. Mau ber STBM atau tidak, semua mempunyai konsekuensi dan risiko masing-masing. Apa yang penting adalah, sebuah proyek dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat adalah bukan memaksakan pilihan atas STBM atau tidak STBM tetapi mampu menawarkan situasi pada warga atas setiap pilihan yang diambil.
****
Harus disadari bahwa dunia pembangunan saat ini, termasuk dunia pemberdayaan masyarakat sangatlah kompleks. Beragam warna proyek dijalankan, beragam pendekatan diterapkan, beragam aktor diperkerjakan, beragam isu dan sektor diproyekkan. Di saat yang sama, kondisi masyarakat pun tidak lagi seperti sebuah lembaran kosong yang tinggal diisi dengan cara-cara baru.
Masyarakat pun tumbuh dan berkembang dalam ruang perencanaan yang terkendali dan bahkan tidak terkendali lagi. Masyarakat bukan lagi ruang hampa.
Dunia pembangunan dan pemberdayaan masyarakat telah bergerak ke arah yang multi isu, multi aktor, multi approach, multi target dan bahkan multi donor. Kita tidak bisa lagi memercayai satu pendekatan yang bisa menyelesaikan sebuah masalah di masyarakat. Karena masalah yang muncul di masyarakatpun akibat faktor yang juga tidak tunggal melainkan penuh kompleksitas.
Karena itu pemberdayaan masyarakat membutuhkan pendekatan yang dinamis dan pemahaman aktor yang juga dinamis. Lebih dari itu, pemberdayaan masyarakat seringkali tidak bisa didekati secara programatis dan mekanistis.
Tulisan ini tentu tidak bermaksud melihat secara keseluruhan cara-cara yang pendekatan yang diaplikasian oleh YMP dalam program SHAW ini, tetapi hanya pada beberapa aspek yang bisa disebut sebagai aspek kritis (critical aspects). Tentu banyak hal-hal positif dan juga tentu hal negatif lain yang tidak bisa dikaji dan diulas di sini. Maka terbuka kesempatan bagi pihak lain, pada kesempatan lain untuk melakukannya.
Daftar Pustaka
World Bank (2008): Economic Impacts of Sanitation in Indonesia: A five-country study conducted in Cambodia, Indonesia, Lao PDR, the Philippines, and Vietnam under the Economics of Sanitation Initiative (ESI). Research Report August 2008. Jakarta: World Bank, Water and Sanitation Program.
World Bank (2011) : Economic Assessment of Sanitation Interventions in Indonesia : A six-country study conducted in Cambodia, China, Indonesia, Lao PDR, the Philippines and Vietnam under the Economics of Sanitation Initiative (ESI), Technical Paper, Jakarta: World Bank, Water and Sanitation Program.
World Bank (2012) : STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) : Lebih Bersh Lebih Sehat, Materi Advokasi STBM.
Jorge E. Hardy dkk (Editor), (1990) : The Poor Die Young, Earthscan Publications Ltd, London.
Kamal Kar dan Robert Chambers, (2008) : Buku Pegangan Santasi Total yang Dipimpin oleh Masyarakat, IDS (Institute of Development Studies) dan Plan International (UK).
Darmawan Salman, (2012), : Sosiologi Desa : Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas, Ininnawa, Makassar.
Fary Dj Francis dkk, (2008), : From Santa Claus to Partner : Bagaimana Fasilitator Berpikir dan Bekerja dengan Masyarakat, BaKTI, Makassar.
Sharma, P.N. dan Yutaka OHAMA, (2007), Participatory Local Social Developent : An Emerging Discipline, Bharat Book Centre, Delhi, 2007.
Jared Diamond, Collapse, (2005), How Societies Choose to Fail or Succeed, Penguin Bookd, 2005.
Notoamojo, S. (2007), : Promosi Kesehatan dan Perilaku, Rineke Cipta.
Azwar S, (2010), Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Unicef Indonesia (2010), Air Bersih, Sanitasi dan Kebersihan, Ringkasan Kajian.
Kementerian Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Barat, Rentra Dinas Kesehatan NTB 2009-2013.
Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Timur (2014), Profil Kesehatan Kabupaten Lombok Timur 2013, Selong 2014.
Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemeterian Kesehatan RI, Riset Kesehatan Dasar 2013.
Direktorat Penyehatan Lingkungan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI (2014), Road Map Percepatan Program STBM, 2013.
Nur Apriatman (2011), Stop Buang Air Besar Sembarangan : Pembelajaran Dari Para Penggiat Community-LED Total Sanitation CLTS, Waspola Facility.