Mereka yang Melihat ‘Kiamat Kecil’ di Petobo

PALU, COMMIT – Bencana gempa dan tsunami di Palu serta beberapa lokasi di sekitarnya telah berlalu sebulan dua belas hari. Banyak cerita duka serta linangan air mata di baliknya. Ribuan orang tewas, hilang meski tak sedikit pula yang terus menerus menggelorakan solidaritas demi membangun lokasi bencana.

Permukiman, perkantoran, sarana prasarana publik dan kawasan pesisir luluh lantak oleh gempa dan tsunami, juga oleh proses yang disebut likuifaksi atau amblasnya kawasan karena ‘manuver’ tanah bercampur air.

Salah satu perkampungan yang dikabarkan mengalami peristiwa hebat likuifaksi adalah Petobo. Ribuan orang masih belum ditemukan saat tulisan ini disusun. Selain Petobo ada satu kawasan lagi yang terpapar yaitu Balaroa.

Pada kedua kawasan tersebut menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masih ada sekira 5.000 orang lebih yang masih hilang.

Tim COMMIT yang melakukan misi ke Palu dan Donggala berkunjung ke posko hunian warga Petobo pada malam tanggal 12 Oktober 2018. Kerlap kerlip lampu dari Kota Palu terlihat dari kejauhan saat tim beranjak masuk ke tenda.

Perkenalan dengan pengungsi Petobo bermula dari kesediaan warga menerima uluran tangan jaringan COMMIT yang membantu mereka dengan genzet dan tempat penampungan air bagi 74 warga di lokasi pengungsian itu.

“Selain memberikan genzet dan penampungan air, Relawan Ebony Palu dan jaringan COMMIT memberikan sembako untuk warga asal Petobo,” kata Aziz.

Aziz adalah koordinator Relawan Ebony Palu (REP) yang terhubung dengan koordinator posko pengungsian bernama Taufik. Dari Taufik, tim mendapat undangan untuk ikut doa bersama dan bersua beberapa warga korban.

***

Doa-doa baru saja dipanjatkan saat Kamaruddin Azis dari COMMIT menyapa anak remaja bernama Aditya Ramadhan.

“Saya lihat air bergerak, bangunan-bangunan hancur, bergerak ke arahnya kita orang. Saat itu saya lagi menonton dalam rumah. Terus sudah mau magrib begitu. Kita cuma bertiga dalam rumah, bersamaan gempa,”  begitu cerita anak usia 14 tahun itu.

“Saya punya kakak kena batako kepalanya saat keluar rumah. Berdarah tapi sudah dijahit, dua jahitan,” ujar Aditya.

Anak itu terus bercerita meski ada suara Ustadz Somad membahana dari speaker di area posko. Maklum, pengajian dan doa bersama pengungsi baru saja dilangsungkan.

“Saya lihat, saya punya tante masuk dalam tanah. So masuk dengan tanah, dia dan dengan anak tapi bisa lolos. Padahal tanah bergerak terus, kayak ombak di pantai itu,” lanjut Aditya.

“Seperti diblender, diputar-putar,” jelasnya.

“Saya sudah tidak tahu di mana lagi rumah, di mana letaknya kita punya rumah. Tidak tahu lagi di mana,” jawabnya saat ditunjukkan peta Google.

MCK bantuan jaringan COMMIT (dok: K. Azis)
MCK di lokasi pengungsian (dok: K. Azis)

Menurut ayah Aditya, Aimuddin, reruntuhan tanah atau longsor di Petobo bergerak dari arah timur lalu bergerak ke utara dan selatan.

“Diputar, runtuh dia dari atas, dari utara, dia belok ke bawah, rumah saya tergeser dari bekas rumah pertama, kurang lebih 50 meter bergeser dari posisi pertama, sudah rusak,” kata pria yang mengaku rumahnya sudah tidak ada dan kini tinggal di tenda sementara yang disiapkan Kementerian Sosial.

Alimuddin dan dua anaknya di temui di posko pengungsian yang berisi pengungsi asal Petobo.

Kehilangan anak dan istri

“Di sini ada 74 jiwa asal Kampung Petobo,” tambah Taufik, koordinator posko saat ditanya Aziz dan Ashar Karateng dari COMMIT.

Taufik, adalah pria yang kehilangan istri dan seorang anaknya saat terjadi gempa dan tanah longsor itu.

“Waktu kejadian saya ada di rumah. Saya lihat air bergerak. Lihat tanah bergerak, sebelum itu kami persiapan ikut tari di Pantai Nomoni,. Mamanya ikut ke rumah sepupunya  untuk persiapan. Saya balik ke rumah karena mau shalat magrib,” kata Taufik yang malam itu mengenakan kopiah hitam dan ditemani seorang gadis dan dua perempuan dewasa.

“Ada 13 orang anak-anak sedang dirias di rumah keluarga. Sekitar 200 meter dari rumah saya,” tambahnya. Saat gempa dan longsor datang, Taufik tak sempat lagi menemui istri dan anaknya.

“Tanah bergoyang, sudah seperti air bandang saja. Bunyi grooorr. Kayak pesawat menderu. Seperti jagung berentetan. Tanah retak, langsung goyang,” sebutnya.

Di ingatan Taufik, suasana malam itu sungguh mengerikan. Tanah naik, lalu turun lagi. Naik lagi, bergerak, turun lagi.

“Di sana ada sawah bergerak, jalanan bergoyang dan retak. Sudah tidak bisa menemui anak-anak dan istri. Reruntuhan di mana-mana, tower roboh. Sudah tidak tahu lagi,” tambahnya.

Setelah digoyang oleh tanah, Taufik bergerak ke arah selatan. Dia mengaku sempat menyelamatkan beberapa orang yang terendam lumpur dan terjepit tanah atau bangunan.

“Jadi begitu tenang, saya ke selatan. Airnya memang ada, ada lumpur di mana-mana,” ingatnya.

“Tiga jam setelah gempa pertama, sekitar jam 10 atau jam 11. Sebelumnya, menjelang jam 9-nan, lampu-lampu sudah mati semua. Pas gempa pertama sudah mati semua. Gempa pertama memang sudah ada runtuh rumah,” jelasnya lagi.

Taufik bercerita bahwa teras rumahnya terangkat saat gempa pertama. “Pas gempa kedua, rubuh, begitu gempa ketiga, tanah bergerak, pohon, rumah, terangkat, dari atas ke bawah,” tambahnya.

“Kenapa ini bajalan rumah dengan pohon,” batinnya saat melihat peristiwa menggentarkan tersebut.

“Pas kita lihat jalan, kita berpindah lagi. Kita terjebak, bersama sepupu. Rumah yang kita tempati sudah rubuh. Kami ada 13 orang saat itu. Jadi kami jalan, ke mana kita ini, ya Allah, mau ke mana kita ini,” tambah Endang, 47, perempuan yang ada di dekat Taufik.

“Kita lihat sudah runtuh semua. Pokoknya suasana kacau, bunyi seng, gemuruh, meluncur. Kira-kira jam 9 malam itu,” lanjut Endang.

“Saya ikut saja, ikut dekat tower itu. Lalu kami ketemu di aas. Ngerinya. Kiri kanan sudah jatuh, tapputar. Pokokmya dirasa itu, goyang di bawah,” lanjut perempuan yang mengaku rumahnya berjarak lumayan jauh dari rumah Taufik. Rumah Taufik di atas sementara Endang di bawah Petobo.

Ashar Karateng dan bayi Bagus bersama ibunya (dok: K. Azis)
Ashar Karateng dan bayi Bagus bersama ibunya (dok: K. Azis)

Endang tinggal dengan suami dan lima orang anaknya. Semuanya selamat karena sedang ada di Morowali. Beda dengan Taufik yang kehilangan istri dan anaknya. Taufik, 48 tahun, adalah anggota TNI dan bertugas di Kodim 1306 Palu dan kini tinggal di lokasi pengungsian.

Cerita Zuhra

Saksi lainnya yang ada di posko pengungsian Taufik adalah Siti Zuhra, 43.

Dia menyaksikan bagaimana tanah terangkat dan jatuh. Dia pasrah saat tanah terangkat sementara dia dan suaminya masih berpegangan di motor.

“Tanah yang kita tempati, dengan aspal saja yang tidak runtuh, bangunan kiri kanan semua sudah tabbalek-tabbalek. Kita di tengah tapputar, seperti diblender,” sebutnya.

“Saya bilang amalnya kita ini yang bantu selamat,” imbuhnya. Anaknya bernama Suryadi, 16 tahun tak ditemukan. Dia juga melihat anaknya yang perempuan berlari menyelamatkan diri.

“Yang cewek saya temukan jam 12 malam baru ketemu,”

Meski kehilangan istri dan anaknya, Taufik mengaku tawakkal. Kita ini hidup karena Allah masih izinkan,” kata prajurit yang pernah bertugas di Blangmangat, Aceh Utara pada bulan Februari 2004 pasca tsunami Aceh ini.

Taufik, Endang dan Siti Zuhra bercerita bahwa pasca bencana Petobo yang mengerikan itu ada beberapa warga yang traumatik dan kala malam merasakan hal-hal aneh.

Pada pertemuan tersebut tim COMMIT bertemu pula dengan ibu yang anaknya bisa diselamatkan setelah berpindah dari banyak tangan saat kejadian di Petobo ini.

Bayi bernama Bagus tersebut masih usia 1 bulan 2 minggu saat kawasan Petobo dilanda ‘kiamat kecil’. Ratusan orang tewas, ribuan hilang. Rumah, pohon, jalan, seperti amblas ditelan masuk perut bumi.