PELAKITA.ID – Pembangunan masyarakat desa sering kali menghadapi tantangan besar dalam menciptakan rasa memiliki terhadap program atau proyek yang dijalankan.
Tidak sedikit inisiatif pembangunan yang gagal berlanjut karena kurangnya kepedulian masyarakat dalam merawat atau mengembangkan hasil dari bantuan luar, baik dari pemerintah daerah maupun lembaga lain. Padahal, keberhasilan pembangunan sejatinya bergantung pada sejauh mana masyarakat terlibat aktif dan memiliki tanggung jawab bersama terhadap proses tersebut.
Untuk menjawab tantangan ini, Good Neighbors Indonesia (GNI) mengadakan Pelatihan Teknik Fasilitasi Masyarakat bagi staf dari Enrekang Community Development Project (CDP) dan Jeneponto CDP.
Menurut Eduardus Ada dari GNI, pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas staf GNI dalam memfasilitasi masyarakat dampingan, agar mampu mendorong partisipasi aktif dan keberlanjutan program.
”Secara khusus memberikan pemahaman tentang perencanaan pembangunan daerah dan pentingnya memahami kondisi spesifik masyarakat serta membekali peserta dengan keterampilan dasar fasilitasi seperti teknik observasi, wawancara faktual, dan analisis isu berbasis masyarakat,” jelasnya.
Peserta pelatihan terdiri atas 15 orang staf GNI dari Enrekang dan Jeneponto CDP yang berperan langsung dalam pengelolaan dan pendampingan program di lapangan.

Fasilitator Bukan Sekadar Penyampai Informasi
Kamaruddin Azis, sekretaris eksekutif The COMMIT Foundation menjadi salah satu narasumber untuk kegiatan ini.
“Peran pendamping masyarakat kini tidak lagi sekadar menjadi penyambung kebijakan atau penyampai informasi. Mereka dituntut menjadi fasilitator yang mampu memantik kesadaran kolektif, membangun partisipasi, serta menumbuhkan tanggung jawab sosial dalam setiap tahapan pembangunan—mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi,” jelas Kamaruddin saat berbagi pengalaman sebagai alumni JICA CD Project.
Disebutkan, masih banyak fasilitator yang belum memiliki keterampilan teknis dan konseptual yang cukup untuk menjalankan peran tersebut.
Salah satu pendekatan yang diperkenalkan adalah Meta Fasilitasi, konsep yang dikembangkan oleh Wada Nobuaki dan Nakata Toyokazu dari Jepang.
Pendekatan ini dianggap efektif dalam menumbuhkan ownership atau rasa memiliki masyarakat terhadap program pembangunan, dengan menekankan pentingnya pemahaman atas kondisi lokal sebelum merumuskan tindakan.

Isi dan Pendekatan Pelatihan
Selama dua hari kegiatan di pekan kedua Oktober 2025, peserta mengikuti berbagai sesi yang mencakup pemahaman perencanaan pembangunan daerah, konsep dasar fasilitasi dan meta fasilitasi, serta pentingnya data dan informasi dalam perencanaan.
Selain itu, peserta akan berlatih langsung dalam teknik observasi, wawancara faktual, dan fasilitasi analisis isu melalui simulasi dan role play.
Materi berikutnya memperkenalkan konsep Community Based Issue Analysis (CBIA), yang membantu fasilitator memahami akar masalah masyarakat secara partisipatif. Peserta juga akan belajar mengenai implementasi, monitoring, dan evaluasi yang partisipatif sebelum menutup kegiatan dengan simulasi penyusunan rencana aksi fasilitasi masyarakat.
Tantangan bagi pelaksana program
Ada beberapa hal yang menjadi tantangan bagi para fasilitator CDP di Jeneponton dan Enrekang yang selama ini menjadi arena pendampingan GNI.
Misalnya, di tingkat kabupaten seringkali ada beberapa kondisi yang membuat hal itu sulit berjalan ideal. Di kabupaten, kita mengenal adanya pengambil kebijakan, perencana, dan fasilitator.
Seorang kepala daerah misalnya, memiliki visi dan misi yang harus selaras dengan pembangunan nasional dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang semuanya terangkum dalam dokumen perencanaan tahunan maupun lima tahunan seperti RPJMD.
Namun demikian, meskipun arah pembangunan sudah jelas, tingkat kepedulian di antara para pengambil kebijakan sering kali belum menyatu.Diperlukan kesadaran untuk bekerja secara kolaboratif. Ketika program seperti GNI hadir di wilayah mereka, sejatinya hal itu sangat membantu, karena sejalan dengan visi dan misi pembangunan yang telah ditetapkan.

Lalu, permasalahan di tingkat desa umumnya muncul dari akar persoalan yang beragam. Dalam komunikasi dengan masyarakat, sering muncul isu terkait basis data. Program dan anggaran biasanya hanya bisa masuk ke desa ketika datanya tersedia dan valid.
Hal lainnya adalah perlunya menyatukan berbagai pendekatan yang dilakukan di lapangan. “Kami di daerah mengenalnya dengan istilah Plan of Action. Misalnya, program air bersih, sanitasi, perpustakaan desa, dan lain-lain. Bagaimana semua itu bisa diintegrasikan secara efektif?” ujar Saribulan Pelemmai, salah satu peserta.
Narasumber memaparkan lima siklus pelatihan fasilitator masyarakat, pemahaman pada wawancara faktual, teknik analisis isu berbasis masyarakat, teknik membangun pertemanan ala Meta Fasilitasi, simulasi proses pemeriksaan kesehatan antara pasien dan dokter, pemahaman atas hakikat implementasi dan pemantauan, hingga substansi evaluasi berbasis masyarakat.
Para peserta diajak untuk membaca desa yang ada dengan mereviu proses pembentukan, daya tahan dan bagaimana warga berkembang.
Para peserta juga menggambarkan situasi desa seperti Mallaosoro di Jeneponto dan Kaluppini di Enrekang sebagai basis pemahaman atas desa, masyarakat dan isu-isu yang bisa ditindaklanjuti. Mereka adalah desa-desa yang secara keekonomian sangat besar atau berpotensi besar namun masih perlu failitasi pengelolaan sumber daya alam dan masyarakatnya.

Sebagai contoh, jika Desa Mallasoro’ adalah desa pesisir di mana warga berbudidaya rumput laut, maka Desa Kaluppini terletak di wilayah pegunungan. Pekerjaan utama masyarakat adalah bertani dan berkebun dengan komoditas utama seperti jagung, cengkeh, kemiri, serta sawah. Mereka juga beternak sapi dan ayam. J
Awalnya, Kalupini merupakan bagian dari satu desa besar bernama Sarangan, yang kemudian dimekarkan menjadi beberapa desa, termasuk Kalupinpi. Desa ini mampu bertahan karena kekuatan komunitas adat dan kekerabatan yang erat, yang menjadi fondasi bagi keberlanjutan dan perkembangan masyarakatnya hingga saat ini.
“Kami akan fokus agar bagaimana kopi Kaluppini bisa dikenal dunia,” kata salah satu peserta.
