Laporan ini merupakan nukilan dari riset ‘kecil-kecilan’ yang dilaksanakan dalam tahun 2013 oleh admin Yayasan COMMIT Kamaruddin Azis bersama AY Fauzan, Muhajir, Aidil Syam dan Abdi Wunanto Hasan. Kelimanya alumni Ilmu Kelautan Unhas yang peduli pada konservasi hiu di Indonesia.
Masih relevan untuk membaca sejarah, situasi kontemporer dan isu-isu sosial ekonomi di wilayah rentan seperti pesisir dan pulau-pulau.
***
Ada apa dengan sirip hiu?
Cina, Hong Kong, Taiwan, Malaysia bahkan Thailand adalah negara destinasi sirip hiu utama di Asia. Di sana, sup sirip ikan hiu merupakan makanan lezat, bagian dari tradisi etnis Cina. Mereka mengaitkannya dengan simbol kemakmuran, kehormatan dan nasib baik. Tak heran jika sup ini dihargai mahal dan disajikan pada acara penting seperti jamuan makan perusahaan, pernikahan, hingga perayaan imlek.
Saat ini, negara yang rakyatnya berbahasa Cina tersebut, sirip hiu mempunyai derajat lebih tinggi ketimbang telur ikan terbang (caviar) dan dihargai mendekati sejuta permangkuk. Inilah pemicu mengapa hiu menjadi sasaran eksploitasi. Dengan harga antara US $ 600 perkilo hingga ratusan ribu perkilo seperti sirip hiu Basking. Bukan hanya untuk sup, sirip hiu diyakini dapat memberi nilai lebih pada pembuatan kosmetik, hingga satu hiu.
Meski ada peringatan dari berbagai organisasi seperti US Food and Drug Administration (FDA), Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), bahkan Organisasi Pangan PBB (FAO) bahwa mengkonsumsi sup ikan hiu dapat berdampak pada kemandulan dan terkontaminasi merkuri. Namun selama 50 tahun terakhir, perdagangan sirip ikan hiu tetap marak.
Masyarakat internasional, termasuk ahli biologi dan ekologi kelautan kemudian menyadari bahwa populasi ikan hiu kian berkurang. Hiu dan pari manta telah dimasukkan ke dalam appendiks II “Convention on International Trade in Endangered Species” (CITES) tahun 2013.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia justeru tak jua menunjukkan langkah konkret untuk menindaklanjuti kekhawatiran masyarakat internasional ini melalui perangkat peraturan, minimal Peraturan Menteri. Pemerintah berdalih bahwa harus ada data kuat tentang populasi hiu ini, baik dari perguruan tinggi maupun organisasi LSM. Di lapangan, praktik penangkapan hiu justeru terus berlangsung.
Pada beberapa Tempat Pendaratan Ikan, ikan hiu masih saja ditemukan dengan kondisi sirip telah dipotong. Banyak kalangan menilai bahwa penangkapan ikan hiu berkaitan dengan dimensi sosial, ekonomi dan dan regulasi sehingga sulit dikontrol apalagi dilarang.
Tiap tahun terjadi pembantaian hiu hingga 80 Juta ekor di seluruh dunia. Telah terjadi penurunan spesies hingga 75%. Sementara itu, Indonesia mempunyai tidak kurang 200 spesies ikan hiu dan pari manta. Keberadaan mereka terancam karena permintaan pasar luar negeri. Kawasan perairan Indonesia bagian timur merupakan kawasan yang paling massif dilaporkan menjadi lokasi perburuan hiu.
***
Di Sulawesi, utamanya Sulawesi Selatan yang kental dengan tradisi perikanan, praktik perburuan ini telah berlangsung sejak 30 tahun silam dan kini sedang berada pada situasi yang sangat mengkhawatirkan. Dibutuhkan pengkajian atas populasi hiu ini dan dikaitkan dengan tradisi perikanan warga pesisir.
Kunjungan ke tiga desa di pesisir Galesong yang dilaksanakan oleh tim riset untuk menjawab harapan-harapan di atas, sekaligus memberi masukan kepada para pihak yang membutuhkan gambaran dinamika perdagangan hiu di khususnya di pesisir Galesong, kabupaten Takalar, utamanya di Sulawesi Selatan secara umum.
Apa yang mau dicapai?
Mengetahui kondisi terkini kegiatan penangkapan ikan hiu di pesisir Galesong, kabupaten Takalar dan pesisir Lappa, Kabupaten Sinjai, selain itu penelitian ini ingin mengetahui sejarah, aktor, dimensi ekonomi, dan kapasitas nelayan penangkap hiu di pesisir Galesong, Kabupaten Takalar dan Pesisir Lappa, Kabupaten Sinjai.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut maka dilaksanakan penelitian di dua kabupaten pesisir yaitu Kabupaten Takalar dan Sinjai. Di Takalar, yaitu di sekitar lokasi Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Beba di desa Tamasaju, di Desa Pa’la’lakkang, dan di Desa Galesong Baru. Sedangkan di Sinjai yaitu di area Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Lappa dan sekitarnya. Di tulisan ini hanya memuat temuan-temuan di pesisir Galesong, Takalar.
Penelitian berlangsung sejak tanggal 10 Agustus hingga 10 September 2013 yang terdiri dari proses persiapan, kunjungan lapangan, analisis dan penulisan laporan. Persiapan meliputi diskusi online, pertemuan pembahasan metodelogi (tanggal 14 Agustus 2013) dan penyusunan outline wawancara.
Pelaksanaan kunjungan lapangan (observasi dan wawancara) pada hari Sabtu, tanggal 17 Agustus 2013 di 3 lokasi yang mewakili 3 desa yang mempunyai sejarah panjang perdagangan hiu, yaitu Kampung Beba Desa Tamasaju kecamatan Galesong Utara, Desa Pa’la’lakkang dan Desa Galesong Baru kecamatan Galesong, kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Sedangkan untuk Kabupaten Sinjai dilaksanakan pada tanggal 20 Agustus 2013.
Sejarah Perdagangan Sirip Hiu
Pagi itu, Haji Timung, duduk santai bersama lima orang di tanggul TPI Beba, Galesong, Takalar. Di tanggal 17 Agustus 2013 itu, bukan lantaran sedang hari Raya Kemerdekaan RI ke-68 hingga tak banyak perahu yang naik ke pendaratan. Memang sedang kurang saja, itu kata Haji Timung, papalele/middleman di Beba yang lahir dan besar di sana. Tak ada hiu pagi itu tapi Haji Timung membenarkan bahwa selama ini sepanjang pengetahuannya, ada banyak jenis hiu yang telah didaratkan di TPI Beba.
“Ada jenis mangngiwang Tinumbu yang punggungnya hitam, ada juga mangngiwang kassi (pasir), samelang (ada untai layaknya kumis), hiu bintik, hiu bingkung, hiu bainang, hiu bebe’ dan hiu lontara,” sebut Haji Timung. Apa yang disebutkan oleh Haji Timung ini dibenarkan oleh Daeng Rama’, warga setempat yang mengaku penangkapan ikan hiu oleh nelayan di pesisir Galesong, ini sudah berlangsung lama.
“Kira-kira tahun 80an,” katanya. Meski demikian, H. Timung dan Daeng Rama’ mengaku selama ini pengusaha atau pembeli sirip hiu (orang Makassar menyebutnya layong) berpusat di Desa Pa’la’lakkang, Tamasongo, dan di pusat Kota Galesong.
“Kami di sini hanya beli yang kecil-kecil saja, itupun karena kebetulan melengket di jaring. Kalau yang terkenal pembeli ikan hiu, sekaligus yang punya armada nelayan pencari hiu dari dulu itu Haji Rurung dan Duni. Keduanya di Galesong,” kata Haji Timung sembari memberi petunjuk arah rumah keduanya.
Saat bersiap ke lokasi lain, bergabung Daeng Ngenjeng. Begitu dengar kalau kami sedang mencari informasi tentang jalur perdagangan ikan hiu, diapun menimpali.
“Kemarin dulu saya bawa ke Paotere’, campur. Jenis siripnya macam-macam ada ikan hiu samelang, ada pula yang loreng-loreng,” kata Daeng Ngenjeng. Dari Daeng Ngenjeng diperoleh pula informasi bahwa saat ini ketika usaha nelayan ikan terbang sedang puncak, maka menjelang masuk bulan 10 biasanya banyak nelayan yang beralih mencari ikan hiu.
“Tunggu-tunggumi, bukan Oktober itu akan banyakmi ikan hiu,” katanya lelaki yang mengaku harga sirip ikan hiu saat ini yang berukuran kecil mencapai Rp. 300ribu/kilo.
“Kalau di sini disebut ukuran piceng-piceng,” Kata Haji Timung mengenai kategori sirip hiu yang dipasarkan di Makassar.
***
Dari Dusun Beba, Desa Tamasaju, kami bergeser ke Desa Pa’la’lakkang. Matahari mulai meninggi. Ada warga Galesong bernama Bahtiar Daeng Sese yang menemani. Tiarlah yang mengantar kami mengarah ke rumah Haji Rurung. Setelah sampai di sekitar Haji Rurung, kami bertemu dengan 2 orang warga setempat. Namanya Daeng Naba dan Daeng Lallo. Mereka bersaudara.
Setelah memperkenalkan diri dan menceritakan diri masing-masing, perhatian kami terpaku di sini. Rupanya Daeng Naba adalah bekas nelayan hiu, sekaligus juragan Paondara’, sebutan untuk nelayan pencari hiu. Dia juga pernah menjadi anak buah kapal Haji Rurung. Klop sudah.
Naba tak lagi mencari hiu namun dia menyimpan pengalaman luar biasa tentang perburuan ikan hiu ini. Kini dia adalah pemancing ikan kerapu. Minggu ini dia berencana melaut ke perairan Sinjai, ke pulau-pulau Sembilan.
“Saya dulu pencari hiu, sekarang tak lagi karena sudah beli fiber, untuk menampung ikan hidup. Besok kami mau ke Sinjai” Kata Naba. Menurutnya, dia menjadi nelayan hiu sejak tahun 80an. Dia masih ingat lokasi-lokasi yang diarunginya untuk berbuuru hiua.
“Tahun-tahun itu kami beroperasi di sekitar Perairan Pulau-Pulau Ambo, Mamuju, bahkan hingga Larantuka, Kupang dan Laut Flores,” katanya dibenarkan oleh Daeng Lallo.
“Tapi yang paling banyak ikan hiunya di sekitar perairan Kalimantan, termasuk Pulau-pulau Ambo. Saat ini jenis ikan hiu yang kerap ditangkapnya seperti Mangngiwang tinumbu, mangngiwang berangang, mangngiwang bainang dan martil. Tapi yang paling mahal saat itu adalah mangingiwang lontara’,” katanya.
Awalnya, Daeng Naba, dan sebagian besar nelayan di Pa’la’lakkang adalah nelayan pencari telur ikan terbang. Saat itu beberapa pengusaha perikanan yang memberi modal ke nelayan Galesong adalah Karaeng Sijaya, Baba’ Ciang, Seng Li dan Haji Syamsuddin. Perkenalannya dengan pekerjaan berburu hiu ini lantaran Karaeng Sijaya menawarinya informasi tentang harga sirip hiu yang sangat tinggi.
“Awalnya dari situ, dari Karaeng Sijaya saya dapat informasi tentang sirip hiu ini (layong),” katanya. Saat itu pulalah, sebagaimana pengakuan Naba, pemilik modal memberinya material untuk membuat jaring, memenuhi kebutuhan melautnya hingga Jutaan Rupiah.
“Kebutuhan operasional saat itu lumayan tinggi karena kami beroperasi hingga sebulan sampai dua bulanan. Sampai Jutaan,” akunya. Naba pun berpindah dari nelayan torani ke nelayan pemburu hiu. Salah satu yang menjadi tempatnya belajar berburu hiu adalah Haji Rurung.
“Untuk operasi kami menggunakan jaring panjang. Hingga beberapa kilometer. Satu set bisa sampai 200 meter dan kami memasang beberapa set, hingga 2 kilo,” katanya. Menurutnya waktu operasi dimulai saat sore hari, jaring dilepas satu-satu di biarkan terpasang dengan pelampung hingga pagi. Pagi merupakan waktu untuk menangkap hiu ini.
***
Tak jadi soal bagi Naba mengenai lokasi penangkapan ikan hiu. Selama ini, sejak menjadi nelayan pencari ikan terbang, Naba tahu bahwa di sepanjang wilayah operasi pencarian ikan terbang di sepanjang Selat Makassar hingga pesisir Kalimantan, populasi ikan hiu sangat besar. Meski demikian, dari tahun 80an hingga 90an, lokasi yang dijamahnya tak lagi perairan Kalimantan tetapi Laut Flores.
Menurut taksiran Naba, tahun 80an, ada lebih 50 pengusaha (papalele/middlemen) di Desa Pa’la’lakkang yang melaut untuk berburu ikan hiu. Dalam satu perahu jumlah ABKnya antara 5-7 orang. Satu perahu 6.
“Pada tahun-tahun itu, yang bikin tertarik nelayan berburu sirip hiu karena harganya mahal sekali, Rp. 20ribu/kilo. Bandingkan dengan harga telur ikan terbang 5ribu/kilo,” Papar Naba yang tidak begitu pasti tahun kelahirannya.
“Tahun 1975 saya sudah jadi juragan telur ikan terbang (maksudnya melaut), sudah bawa perahu dengan anggota 6 orang. Umur saya saat itu sekitar 30 tahun,” ungkapnya.
Lallo, saudara Naba bercerita bahwa dia pernah dengar seorang rekannya hampri saja terkena parang. Saat itu si teman sedang memotong sirip hiu dan tanpa disengaja si hiu menghempaskan ekornya, parang terlempar dan hampir saja mengenai mukanya.
“Itu cerita seorang teman yang berburu hiu di perairan Kalimantan,” kata Lallo. Menurut Naba dan Lallo, selama ini nelayan tak terlalu tertarik untuk mengambil daging hiu, target utama mereka adalah sirip. Jika pun ada yang mengambilnya, itu dikirim ke Pulau Lombok dan Flores.
Nilai ekonomi hiu yang mereka anggap paling tinggi adalah sirip ikan hiu lontar atau lontara’. Jenis ini menurut Naba berwarna cerah kuning langsat dengan bintik-bintik hitam. Selain itu, ada pula hiu tinumbu, yang badannya bulat memanjang, lebar.
“Jenis yang pernah saya lihat yang berukuran lebih 2 meter, ikan ini jenis hiu tinumbu,”
Untuk memudahkan identifikasi hiu yang masih diingat Daeng Naba dan Daeng Lallo, kami menunjukkan gambar ikan hiu kepada mereka. Terang saja, mereka dengan mudah mengenali jenis yang disodorkan.
“Ini ikan hiu lontara’. Ini yang paling mahal,” katanya seraya melihat ikan hiu yang lebih mirip buaya dengan totol-totol di badannya. Menurut Naba, ada 2 jenis, bentuknya sama tetapi warnanya beda.
Di antara kedua bersaudara tersebut hadir pula Daeng Tayu, perempuan ini kakak kandung kedua nelayan ini. Tayu adalah janda dari Dg Ngemba’ yang meninggal 10 tahun lalu.
Menurut Tayu, suaminya adalah nelayan pencari hiu yang paling terkenal di Pa’la’lakkang. Salah satu bosnya adalah Karaeng Sijaya. Dari Daeng Tayu ini terkabar pula bahwa ada pembeli sirip hiu di Pa’la’lakkang, namanya Daeng Sija dan Daeng Rowa. Sayang sekali kami tak sempat bertemu dengan mereka berdua.
Setelah pamit ke Daeng Naba, Daeng Lallo dan Daeng Tayu, kami bergerak ke Desa Galesong Baru. Di rencana kami, ingin memastikan bahwa Daeng Pabe’, salah seorang pembeli sirip hiu masih berkegiatan dan menyimpan koleksi siripnya. Waktu telah menunjukkan pukul 12.00 wita saat kami bergerak ke Kampung Bayowa.
Tren Tangkapan
Perjalanan kami menyusuri pesisir Galesong terhenti di Kampung Bayowa, Desa Galesong Baru, Kecamatan Galesong. Seperti rencana semua, kami ingin melacak perdagangan sirip ikan hiu di Bayowa. Target kunjungan kami adalah rumah Daeng Pabe’.
Saat kami sampai di rumahnya yang hanya berjarak 30 meter dari bibir pantai Galesong, Pabe’ baru saja sedang mandi di laut saat kami tiba di depan rumahnya. Istri Pabe’ yang menerima kami mengatakan bahwa suaminya dua hari lalu telah menjual koleksi siripnya ke Makassar. Berat sirip yang dijualnya sebesar 10 kilogram dan setara dengan Rp. 4 Juta. Satu kilo sirip hiu menurut harga yang diperoleh Pabe’ sebesar Rp. 40ribu/kilo.
Selain menjual ke Makassar, Pabe’ juga kerap mengirim sirip hiunya ke Kampung Soreang di Galesong Utara. Istri Pabe’ lalu menunjukkan ke kami tempat penjemuran sirip hiunya. Di atas gerobak, terdapat lima sirip hiu berukuran kecil, piceng-piceng yang terlihat mulai mengering. Ada sirip bintik hitam dan ada yang putih pucat.
“Dibeli dari nelayan seharga Rp. 10ribu/sirip,” kata Pabe’ tentang sirip yang dijualnya saat kami dijamu di rumahnya. Pabe’ ditemani anak dan istrinya. Dari bisnis yang digelutinya sejak beberapa tahun terakhir ini, Pabe’ menyekolahkan anak lelakinya di sekolah pelayaran Barombong.
Menurut pengakuan Pabe’, di kampung Bayowa ini tidak ada pengumpul besar untuk sirip hiu. Sirip hiu yang diperolehnya sebagian besar karena hasil tangkapan pancing nelayan. Jika pun ada hasil tangkapan lainnya itu dibawa oleh nelayan ikan torani yang kerap menangkapnya saat beroperasi di laut luas.
Pabe’ tidak menampik bahwa saat ini produksi sirip ikan hiu yang dijual nelayan di pesisir Galesong sangat kurang. Meski demikian, dia membenarkan bahwa saat ini alat tangkap nelayan hiu (jaring ondara’) masih menjadi andalan nelayan setempat. Jaring panjang dengan mesh size besar tersebut saat ini memang sedang menganggur.
“Nanti setelah selesai masa operasi nelayan ikan terbang (torani) seperti bulan September dan Oktober, jumlah tangkapan ikan hiu akan semakin banyak. Sebab nelayan-nelayan ikan terbang sebagian akan beralih menjadi nelayan pencari ikan hiu,” kata Pabe’.
Pabe’ kemudian mengingat-ingat penjualannya ke Soreang dan Makassar, selama bulan Agustus 2013, dia telah menjual sebanyak 5 kali dengan rincian sebagai berikut; penjualan I, 4,6 kilogram dengan harga Rp. 1,8 Juta. Penjualan kedua, seberat 3,2 kg harganya Rp. 3,2 Juta. Penjualan ketiga seberat 6 kgs harganya Rp. 600ribu. Penjualan keempat 3 kgs harganya Rp. 1,2 Juta. Penjualan kelima seberat 4 kg dengan nilai penjualan Rp. 400ribu.
Harga yang variatif di atas tergantung pada ukuran sirip, meski berat namun siripnya kecil maka itu dihargai sangat murah. Inilah yang disebut ‘piceng-piceng’. Piceng-piceng perkilo dihargai Rp. 80ribu/kilo. Sedangkan jenis yang tertinggi harganya pada satu tahun terakhir 2013 adalah jenis ‘Lontar’ dengan harga Rp. 3,5 Juta/kg.
Pabe’ kesulitan untuk mengingat nilai penjualannya beberapa bulan sebelumnya, meski demikian dia membeberkan volume penjualannya sesuai perkirannya dengan frekuensi penjualan 3-8 kali perbulan.
Komposisinya sebagai berikuti, Juli (20 kgs; Rp. 20 Juta), Juni (15 kgs; Rp. 10 Juta), Mei (50 kgs; Rp. 40 Juta), April (40 kgs; Rp. 30 Juta), Maret (20 kgs; Rp. 15 Juta), Februari (20 kgs; Rp. 10 Juta), Januari (80 kgs; Rp, 60 Juta), Desember (70 kgs; 50 Juta), November (70 kgs; Rp. 60 Juta), Oktober (100 kgs; 80 Juta), September (40 kgs; 30 Juta).
Pabe’ menyebutkan beberapa pembeli sirip hiu seperti yang didengar dan menjadi mitranya selama ini seperti; Puang Ride’ di Lappa, Haji Maing di Capoya, Makassar, Ruslan di Paotere, Haji Abele di Paotere, Haji Nurdin di Cambayya, Baba Lompo Sangkala di Galesong.
“Saya pernah coba makan sirip hiu namun pahit,” kata Pabe’ lelaki kelahiran Galesong tahun 1963.
Saat ditanyakan pembiayaan usahanya selama ini, Pabe’ tanpa sungkan menyatakan bahwa selama in Bank adalah tempatnya meminta modal.
“Tahun ini kami pinjam ke BRI sebesar Rp. 40 Juta dengan pembayaran tiap bulan hingga 4 Jutaan,” katanya. Yang luar biasa, Pabe’ mengakui bahwa pinjaman ke bank ini hanya berdurasi pengembalian setahun.
“Ini bukan peminjaman pertama. Sebelumnya sudah pinjam ke BRI beberapa kali. Mulainya pada tahun 1982,” kata lelaki beranak tiga ini. Pabe’ mengaku selama ini tak pernah ada masalah selama berbisnis sirip hiu ini. Tak pernah rugi.
Pesan untuk Kita
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh di atas maka dapat disimpulkan bahwa; dimensi sejarah penangkapan ikan hiu oleh nelayan di sepanjang pesisir Galesong yang berlangsung sejak tahun 80an, terkait dengan informasi dari para pedagang hasil laut asal Kota Makassar memperkenalkannya kepada nelayan ikan terbang. Para pemodal dari Makassar memberi kemudahan operasi kepada para nelayan termasuk transfer kemampuan mengoperasikan alat tangkap jaring ondara’.
Penangkapan ikan hiu oleh nelayan Galesong menggunakan jaring/pukat dengan mesh size relatif besar antara 10-15 cms dan dioperasikan pada sejak sore hingga pagi. Untuk beroperasi, para nelayan menghabiskan waktu antara 1 hingga 2 bulan.
Jenis hiu yang mempunyai harga mahal sejak dulu hingga saat ini adalah ikan hiu Lontara’. Meski demikian para nelayan tetap memanfaatkan jenis sirip lainnya meski dengan harga rendah.
Pada awalnya sumber permodalan nelayan hiu berasal dari pedagang besar (middlemen) dimana para pemilik modal ini menyiapkan sarana-prasarana hingga biaya operasional. Biaya operasional akan semakin besar jika nelayan beroperasi hingga berbulan-bulan. Lokasi penangkapan ikan hiu oleh nelayan Galesong adalah di perairan Selat Makassar, Pulau-pulau Ambo di Sulawesi Barat hingga Laut Flores. Satu armada berisi antara 5-7 tenaga.
Produksi sirip ikan hiu saat ini, sejak berlangsungnya masa operasi nelayan pencari ikan terbang antara bulan Maret – Agustus sedang berkurang. Jumlah akan semakin meningkat ketika memasuki bulan Oktober hingga bulan Maret tahun berikutnya.