COMMIT – Admin menerima artikel inspiratif minggu ini. Isinya tentang seorang pemuda yang gagal dapat ijazah sarjana setelah bertahun-tahun kuliah di Kota Malang. Dia pulang kampung dan mendapati dirinya di tengah beragam sumber daya dan tantangan. Apa yang dilakukannya? Mari simak.
***
Bertahun kuliah di Kota Malang lalu pulang kampung ke Galesong tanpa menggondol ijazah sarjana tak mebuat Ahmad Husain kehilangan selera hidup dan merana.
Asanya agar tetap produktif dan jadi pembawa perubahan terus menggelora. Tak mudah, sebab satu persatu ide rontok hingga kemudian bertahan di usaha yang disebutnya penting untuk ketahanan pangan: arang sekam. Arang sekam, sebersit harapan agar dia tetap setia bertahan di desa.
Panas menyengat di atas Desa Parangmata, Galesong, Takalar. Angin disertai debu berhembus dari jalan tak rata di desa yang berjarak tidak kurang 25 kilometer di selatan Kota Makassar ini. Sepiring tape singkong menemani Ahmad berikut sebotol minuman berkarbonasi.
Pria disapa Uceng itu menerima COMMIT dengan sukacita. “Baru pulang antar keluarga cek kesehatan di Makassar,” katanya sembari menjabat tangan.
Uceng, kini aktif mempromosikan usaha arang sekam sebagai inovasinya. Inovasi yang disebutnya diilhami pengalaman selama kuliah di Malang dan diperkaya informasi via internet.
“Orang tua kecewa tapi mau diapa lagi. Meninggalkan kampung seperti ke Makassar, atau di tempat jauh rasanya pilihan. Saya harus tetap bertahan, di sini, saya yakin ada banyak peluang berusaha,” ucapnya mantap.
“Saya lari dari skripsi, ada konflik sebetulnya. Ide menggeluti usaha pertanian datang saat KKN dan ini mengubah banyak hal. Kebetulan ada teman jadi asisten di kampus dia mengajak di KKN programatik, macam-macam,pertanian, perkebunan, peternakan. Saya ikut sebagai mahasiswa tingkat akhir bersama mahasiswa yang umumnya semester 4 dan 6,” kisah mantan mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini.
“Nah sepulang dari Malang, saya coba beberapa upaya pemanfaatan potensi desa, apalagi desa kita ini kan luas lahan pertaniannya ribuan hektar, ada sungai, pokoknya ada peluanglah,” ujarnya.
“Saya setuju pemikiran bahwa ke depan, persaingan kita dengan pihak lain adalah pada penguasaan energi dan pangan. Kita harusnya bisa mandiri apalagi tersedia banyak sumber daya,” katanya seperti berfilsafat.
“Hikmah dari ber-KKN dengan mahasiswa muda saat itu, kita harus rajin. Mereka aktif bikin penyuluhan dan kerja-kerja aplikatif, saya tergoda ikut mereka dan merasa terjebak di situ,” kata pria yang mengaku awalnya sangat aktif berorganisasi dan mengurus isu-isu literasi selama di Malang.
“Nah saya juga meresapi pesan dosen waktu itu, bahwa problem kita adalah ledakan penduduk, sementara lahan produksi terbatas. Krisis pangan ancaman kita ke depan, dua hal diperebutkan nanti, energi sama pangan,” jelasnya sosok yang mengaku sejak tahun 2009 aktif menulis di media online meski kemudian belakangan ini tak intens lagi.
Sekembali ke Desa Parangmata, dia membaca realitas di sekitar rumah dan kampung halamannya.
“Saya melihat bahwa energi untuk warga kecil ini sungguh besar. Gas 3 kilo yang kita kenal selama ini adalah bahan bakar untuk pompa air di sawah. Ini program konversi gas. Petani rajin pakai itu. Mereka berpikir ekonomi juga sebab selama ini kalau pakai bensin lebih mahal. Selama ini, mereka enggan memanfaatkan lahan tidur dengan mengambil air sebab biaya bensin mahal,” katanya.
“Maksud saya, sekarang mereka kembali semangat sebab ‘Musim Tanam 3’ jadi pilihan. Sekarang mereka pakai itu untuk menanam jagung dan kacang. Jadi musim tanam 1 dan 2 sudah dijalankan, setelah itu masuk lagi musim tanam 3. Semua bulan dipakai untuk menanam,” jelas Uceng yang mengaku punya lahan sawah pemberian ayahnya. Sawah yang menurun dari kakeknya.
Kembali ke kampung halaman tak membuat Uceng serta merta terhubung dengan sumber daya desa pada ranah Pemerintahan, misalnya ikut menjadi bagian dalam membahas dana desa atau ikut menyusun program pertanian atau peternakan berbasis desa, apalagi Bupati Takalar adalah alumni yang sejatinya dapat memberi ruang bagi talenta muda seperti dirinya.
“Saya tak punya pemikiran untuk ikut-ikutan minta dana desa, saya merasa tidak punya niat untuk latah,” katanya.
Uceng telah menggeluti usaha arang sekam dalam tiga tahun terakhir. Dia optimis ini sebab di beberapa tempat inovasi usaha pertanian atau perkebunan selalu muncul.
“Misalnya di Makassar. Pemkot dulu ada ide tanam cabe di pot. Pasti mereka butuh arang sekam sebagai pencampur wadah tanam,” katanya.
Menyesap realitas desa
Ada yang menarik dicermati dari penggeledahan Uceng atas realitas di desanya.
Dia membaca dinamika usaha pertanian di sekitar rumahnya. Mencatat luas lahan persawahan yang mencapai ribuan hektar, adanya penggilingan padi di desa tetangga bernama Parangbambe, traktor dan mesin panen yang disebutnya sebagai usaha sarat modal namun sangat menguntungkan.
“Kadang saya berpikir, harusnya Pemerintah Desa beli saja mesin panen lalu dikelola oleh Bumdes atau desa. Harganya 400-an juta. Desa bisa dapat 1 karung dari 8 karung gabah yang ada. Di desa lain, karena menguntungkan seorang bisa mempunyai mobil panen ini hingga 4 unit,” ucapnya.
Hal lain yang diamatinya adalah betapa susahnya menggunakan jalan tani.
“Kadang kita harus menempuh jalur lain karena jalan sempit, rusak karena dilindas traktor. Apalagi kalau saya terlambat menanam, tidak bisa lagi lewat sawah orang. Itupun saya sering iseng melintasi sawah orang dan dimarahi, ha-ha-ha,” katanya disertai tawa.
“Saya menghitung adanya biaya tambahan di tingkat petani jika hendak mengangkut hasil panen. Kadang karena jalan tani yang tidak bagus, sehingga yang angkut traktor. 10 ribu perkarung, kalau ada 80 karung? Dapar lagi 180 ribu, kalau banyak?” tanyanya.
“Maksud saya, kita harusnya antisipasi ini, penyewaan alat angkut saja, coba berapa untungnya?” cecarnya. Menurutnya, ide begini mungkin bukan hal baru tapi sayang juga sebab Pemerintah Desa tak melihatnya sebagai prioritas, malah bikin yang lain yang tak jelas siapa penerima manfaatnya.
Uceng tak ingin menyatakan bahwa warga desa manja sebab buktinya dia punya pengalaman kegiatan swadaya dimana warga bekerja gotong royong meski pakai dana sendiri. Ini pula yang membuatnya optimis berada di tengah orang-orang yang punya bekal mandiri.
“Kami swadaya bikin jalan tani, swadaya bikin jembatan. Jembatan yang ada saat ini sudah ada 3 tahun, tanpa itu kita akan tersiksa,” katanya.
Hal lain yang juga jadi cermatan Uceng adalah daya dukung lahan. “Saya kira dengan pemanfaatan lahan hingga MT3 ini akan bikin lelah lahan. Terkait padi, hama juga sepertinya sudah tahu celahnya,” tambahnya.
“MT 3 yang saya maksud, seharusnya bukan lagi padi tetapi kacang-kacangan. Itu unsur nitrogennya tinggi, Jadi kalau musim barat masuk, lahan akan kaya nitrogen. Kacang-kacangan unsur nitrogennya bagus jadi pupuk alami. Kalau tidak demikian, lahan tidak istirahat, dari pupuk kimiawi. Pupuk organik harusnya bisa jadi solusi juga kan?” lanjutnya.
Uceng semakin yakin bahwa bukan semata bercocok tanam untuk dapat uang di desa. Ada beberapa yang bisa jadi uang seperti jerami, kulit kacang ijo jadi pakan sapi, bunga-bunga yang dapat dijual ke komunitas Bali, seperti ‘edible flower’, demikian pula bongkol (paramboseng) jagung,” sebutnya.
Dia menyebut bahwa sawah-sawah petani di kampungnya tidak optimal. “Harusnya 1 hektar bisa menghasilkan 8 ton idealnya tetapi sejauh ini hanya 4 atau 5 ton gabah,” katanya.
Fokus arang sekam
“Saya menemukan harapan lain, saya pulang saja bertani. Banyak barang jadi duit. limbah, kotoran sapi, jerami. Jerami jika diproses fermentasi jadi pakan. Saya pelajari itu di Ngantang Malang. Masalah bagi sapi jika jadi alternatif usaha adalah ketersediaan pakan, apalagi lahan terbatas. Di Malang, rumput gajah pun ditanam di area sekitar fasilitas umum,” paparnya.
“Saya awalnya pemburu siso (keong). Tidak ada modal usaha, akhirnya saya kerja keong sawah yang memang banyak. Diolah untuk pakan bebek dan lele,” imbuhnya.
“Mencari keong di sungai-sungai, di sawah-sawah. Cangkang kita buka, rebus. Tapi kalau sudah bermalam, keongnya bau sekali. Berhenti saya,” akunya.
Uceng beralih ke arang sekam. “Ini ide awalnya karena melihat banyak sekam terbuang di sekitar Jembatan Tama’la’lang. Wah, bagus juga ini kalau diolah,” kenang Uceng pada usaha arang sekam yang digelutinya kini. Tama’la’lang ada sekitar 2 kilometer ke barat rumahnya.
“Saya olah, saya browsing cari informasi tambahan. Saya juga dapat dukungan dari Dr Buyung Romadhoni, dosen Unismuh Makassar dan senior saat di Malang dulu. Saya pun termotivasi untuk fokus di arang sekam,” tambahnya.
Uceng sadar betul bahwa untuk menjamin ketahanan pangan itu maka diperlukan teknik atau metode yang berkelanjutan.
“Pertanian adalah proses yang berkelanjutan. Saya bekerja dengan visi membangun sustainabilitas pertanian lewat melalui kerja pengolahan limbah pertanian,” ujarnya.
Untuk menghasilkan arang sekam Uceng menyiapkan lahan, tepatnya sepetak lahan di sawah yang dibanguni pondok, tempat menyimpan produk sementara sebelum dibawa ke gudang lain. Dia menggunakan corong bakar yang sudah dimodifikasi. Corong yang disebutnya hasil inovasi juga.
Di bulan Februari 2019, ketika sebagian besar Sulawesi Selatan dilanda bajir dan angin kencang, pondok bangunan untuk usaha arang sekamnya luluh lantak karena angin.
“Usaha arang sekam pastilah membutuhkan modal seperti untuk membeli sekarung sekam seharga Rp. 2000 per karung besar, ini kita yang karungkan,” katanya. Sekam yang dihasilkan untuk substrat tanam termasuk jadi abu gosok jika ada yang jadi abu.
“Dulu, untuk membakar sekam, kita pakai kayu, sekarang bakai bongkol buah jagung lebih tahan lama,” katanya. Dia juga sudah mempelajari bagaimana membuat corong bakar sekam yang efektif, efisien dan mudah dikontrol.
Kini, dengan harga satu karung arang sekam, dia menjual dengan harga Rp. 80 ribu. “Ini banyak dipesan warga yang suka bercocok tanam seperti cabe atau tomat, bahkan bunga. Arang sekam dicampur tanah, pupuk organik,” katanya.
Manfaat dan kegunaan arang sekam yang dihasilkan Uceng sangat beragam. Misalnya, dapat menjaga kondisi tanah tetap gembur, karena memiliki porositas tinggi dan ringan. Kemudian dapat memacu pertumbuhan mikroorganisme yang berguna bagi tanaman.
Bukan hanya itu, dia juga dapat membantu menetralkan pH tanah pada kondisi tertentu, mempertahankan kelembaban, menyuburkan tanah dan tanaman, meningkatkan produksi tanaman termasuk sebagai penekan jumlah mikroba patogen.
“Dia juga dipakai sebagai media tanam hidroponik,” tambah Uceng.
Uceng tak hanya menyediakan arang sekam tetapi juga pupuk kandang dengan menggunakan kotoran kuda asal Jeneponto.
“Kadang saya ke Jeneponto ambil kotoran sapi untuk dibuat pupuk. Di Jeneponto, malah tak dimanfaatkan,” katanya.
Di belakang rumah Uceng ada semacam workshop. Di situ ada produk olahannya, arang sekam siap pakai termasuk pupuk organik. Tentang pembuatan arang sekam butuh waktu 7 jam pembakaran. Ini juga tidak mudah sebab perlu pengontrolan agar tidak menjadi abu atau agar sekam bisa terbakar rata.
“Beberapa waktu lalu saya dapat order dari salah satu perusahaan tambang di Morowali, Sulawesi Tengah. Mereka dapat informasi arang sekam ini dan memesan untuk lahan perkebunan mereka, seperti program CSR,” katanya.
Menurut cerita, lanjut Uceng, mereka gunakan untuk perkampungan yang banyak bersentuhan dengan pekerja asal China.
“Mereka minta banyak tapi karena kemampuan terbatas, hanya bisa penuhi satu truk saja. Nilai penjualan saat itu sekitar 30 juta. Saya dapat bersih 10 juta, sisanya untuk biaya seperti tukang dan biaya produksi lainnya,” tutupnya. (*)