COMMIT – Komunitas-komunitas di manapun bertahan pada tiga unsur: sumberdaya alam, norma dan keorganisasian. Ketiganya menjadi alas mereka terbentuk, bertahan dan berkembang.
Dari sumberdaya alam mereka membangun rumah, memperoleh pangan dan menyimpan persediaan.
Dengan organisasi (informal) mereka memilih pemimpin, pemimpin yang mengayomi dan menjaga dari gangguan eksternal.
Dengan pemimpin mereka menyusun norma, peraturan, adat istiadat dan pranata sesuai tuntutan zaman.
Seperti itu pula masyarakat Bajo yang ada di Soropia, Konawe, Sulawesi Tenggara. Bagaimana mereka berkelindan dengan sumberdaya terutama pesisir dan laut kita.
Mereka mengambil kayu dari mangrove untuk perumahan, mereka juga mengambil batu-batu laut sejak lama.
Hal yang kemudian dilarang karena mengambil batu karang dari laut dapat merugikan mereka sendiri.
Dari laut, mereka memperoleh ikan, sumber pangan dan penghidupan ekonomi.
Mereka pun mematuhi peraturan baik yang dibuat di tingkat desa maupun Pemerintah Pusat. Cerminan cerita di atas dapat saya resapi dari beberapa fakta yang saya temukan saat berkunjung ke tiga desa, yaitu Leppe, Bajo Indah dan Mekar. Jaraknya sekitar 20 km ke arah timur Kota Kendari.
Saya mencatat daya tahan, kisah perjalanan orang-orang Bajo melanglang samudera dan menyigi poros Kendari – Toronipa dengan ikan kering dan daging hiu di paket bawaannya menuju Pasar Ikan Sodohoa.
Ada om Nyong Rumambi yang mengaku tidak mau lagi jadi nelayan pemburu ikan kakap dan Napoleon dari pulau ke pulau Nusantara.
Dia saksi bagaimana ikan-ikan Napoleon dikirim ke Hongkong dalam tahun 90-an. Semua ceruk lautan Nusantara telah disigi. Nias, Simeulue, Sebatik, apatah lagi Raja Ampat atau Saumlaki di Timur. Nyong kini menepi di rumah panggungnya di Leppe.
Dia penyelam yang menarik diri dari pertempuran kehidupan.
Ada pula Hafid yang menawari saya ikan buntal dan daging kambing-kambing dari panggangan di Leppe. Maknyus!
Dia baru saja pulang dari melaut saat saya mampir di depan rumahnya di Desa Leppe.
Kulitnya yang legam nampak kontras dengan anaknya yang putih bersih dalam gendongan. Dia berprofesi sebagai nelayan pemasang pukat namun lebih banyak menggunakan panah belakangan ini. Demi gurita dan lobster.
Di Bajo Indah, saya pun bertemu Nenek Mbut, perempuan Bajo tua yang rumahnya saya jadikan tempat menginap dalam tahun 2008.
Bertemu kepala Desa Taslim, Rustam dan Hajar yang menceritakan kehidupan di desanya. Tentang usaha perikanan, pariwisata dan aneka usaha kecil dan menengah. Informasi sungguh banyak dan begitu rupa.
Informasi itu menjadi muara sintesa bahwa Komunitas Bajo tetap punya daya tahan dan ikut menjadi ‘pengembang’ kehidupan meski kerap dianggap tertatih di antara kompetisi menuju modernitas.
Mereka adalah nelayan yang relatif homogen sebagai pelaku ‘one day fishing’, para pencari teethe di laut surut, pemanah lobster, pencari teripang dan pengelana samudera mesi hanya di tepi Teluk Kendari.
Mereka membuat keramba, memelihara ikan bawal, ikan kakap putih hingga lobster seperti yang dilakoni Naing di Mekar. Naing telah 20 tahun lebih memelihara ikan di keramba jaring apung. Dia baru saja menjual lobster senilai 11 juta.
Mereka mengoperasikan sampan hingga ketinting. Tak nampak jolor atau perahu seukuran 3 GT ke atas. Mereka tetap bertumpu pada sumberdaya alam, laut, pesisir meski di luar sana loncatan-loncatan inovasi telah sedemikian besar dan maju lebih dari dua kali lipat.
Toh, mereka masih terus bertahan, berkembang dengan kapasitas tersedia. Mereka terhubung satu sama lain sebagai jalinan sosial.
Seorang ibu di Desa Mekar mengaku mendapat harga murah saat membeli ikan dari keluarga dan dengan itu dia menjualnya ke Kendari dengan leluasa meski itu pun sering menerima biota-biota yang meragukan, apakah itu hiu atau pari larangan.
Di rumahnya nampak tiga kulkas berisi es batu buatan sendiri, bekal perjalanan ekonomi pasar. Di belakang rumahnya yang bersehati dengan lautan itu, dia menyimpan tiga coldbox, para penunggu nelayan pulang.
Catatan K. Azis (Sekretaris Eksekutif COMMIT)