COMMIT – Yayasan COMMIT bersama para alumni program Pengembangan Kemitraan dan Pemberdayaan Masyarakat (PKPM) – satu proyek kerjasama Japan International Cooperation Agency (JICA) dengan Bappenas antara tahun 2004-2007 menggelar webinar Community Facilitation (Meta) Facilitation in The Era of New Habit Adaptation.
Bagi tim COMMIT, webinar ini seperti pengobat rindu silaturahmi dengan alumni-alumni JICA CD Project dan para master facilitator besutan PKPM.
Disebut demikian sebab salah satu pelatih, atau mentor dalam konsep fasilitasi masyarakat atau biasa disebut Meta Facilitation yaitu Wada Nobuaki hadir sebagai pembicara utama serta dihadiri beberapa master facilitator alumni pertama PKPM.
Wada adalah trainer untuk beberapa pelatihan fasilitator masyarakat yang digelar JICA CD Project sekaligus peletak dasar konsep Meta Fasilitasi yang dipraktikkan antara tahun 2004 hingga 2010. Hal ini juga diakui oleh Wada saat memberikan penjelasan terkait konsep dan sejarah meta fasilitasi.
“Senang sekali sebab bisa bertemu dengan para mentor, para master fasilitator PKPM dan JICA CD Project,” kata Jumardi Lanta, manajer program Yayasan COMMIT, 8/8/2020.
Jumardi benar, webinar yang dihadiri 45 peserta tersebut dihadiri para pilar PKPM seperti Iir Hugua, Fary Dj Francis, Ashar Karateng, Yohanes Ghewa hingga mantan tenaga ahli PKPM Motoyuki Nishida. Hugua adalah mantan Bupati Wakatobi dua periode dan sekarang anggota DPR-RI. Lalu Fary adalah mantan anggota DPR-RI dan kini komisaris di Asabri.
“Kita semua bisa begini karena provokator Nishida,” kata Hugua sambil tertawa terkait kebersamaan mereka di webinar. Nishida, pria yang yang dimaksud Hugua hanya tertawa.
Politisi PDI-P dari Dapil Sulawesi Teggara ini memberi sambutan pembuka dan mengingatkan perlunya PKPM-PKPM baru. “Di tengah pandemi ini kita perlu inovasi. Konsep dasar Meta Fasilitasinya sudah ada. Ini yang perlu kita kembangkan,” demikian harapan Hugua.
Refleksi Wada
Saat memberikan paparan, Wada menyebut bahwa ada beberapa hal yang menjadi harapan panitia (COMMIT) atas webinar ini. Di antaranya, seperti apa aktivitas Guru Wada selama masa pandemi, perlunya menyegarkan kembali konsepsi community facilitation.
“Saya dimintai pendapat mengenai pandemi dan bagaimana fasilitator dalam masa ini. Sebaiknya tidak keluar rumah jika tidak darurat,” kata Wada.
Selain itu, dia juga menjelaskan pokok-pokok pembelajaran dari Indonesia, Nepal, India, dan Jepang. Lalu memaparkan inti proses pengumpulan data hingga bagaimana memanfaatkan teknologi di masa pandemi.
Wada mengakui bahwa ketika bekerja di Indonesia, dia belum bisa menerapkan metode bekerja ala meta fasilitasi ini. “Buku Meta Fasilitasi ini baru dimulai 2010. Selama tahun 2004-2006 training yang dilakukan sangat sukses karena bisa melihat banyak fasilitator hebat, tapi metodologinya belum kelihatan,” kata Wada terkait bibit konsep Meta Fasilitasi itu.
“Para peserta pelatihan bisa mencontoh tapi belum bisa menerapkan secara sistematis. Tapi sekarang lebih terstruktur berkat buku oleh Nakata-san,” kata Wada.
Nakata yang dimaksud adalah tandemnya dalam menyelesaikan buku master piece-nya ‘Reaching Out to Field Reality: Mata Facilitation for Community Development Worker yang dipublikasi dalam tahun 2015 dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.
“Banyak di antara anda yang sudah tahu meta fasilitasi itu apa. Meta fasilitasi dilakukan berdasarkan pertanyaan atas suatu fakta. Bertanya mengenai fakta tidak begitu mudah tetapi membutuhkan satu keahlian khusus. Harus banyak berlatih,” katanya sembari menunjukkan contoh dengan bertanya atas gadget yang dipegangnya.
“Beritahukan kepada saya apa yang sedang saya lakukan. Saya sedang memperlihatkan gadget saya. Ada yang tidak setuju dengan saya? Saya yakin semua setuju dengan pernyataannya. Ini adalah fakta,” katanya.
Dia lalu menjelaskan bahwa sejatinya ada 2 aspek dari fakta. Pertama, sedang atau sudah terjadi lalu semua orang memiliki pemahaman yang sama, semua orang sepakat atas apa yang sedang terjadi.
“Tidak ada perbedaan antara kondisi setiap orang. Ini lah dasar dari meta fasilitasi. Ketika bertanya tentang fakta, kondisi penanya dan penjawab adalah sama,” tegas Wada.
Menurut pria yang pernah tinggal di India ini, tahun 2004-2006 saat mengadakan training, pesan utama yang mau disampaikan adalah jangan fokus pada kata-katanya (pertanyaan selama proses wawancara atau observasi) tapi harus menangkap makna di balik kata-kata yang disampaikan.
“Contohnya, ketika kita mengadakan workshop di Mataram tahun 2004, tidak ada yang tahu apa itu desa. Ketika saya tanya komunitas itu apa, tidak ada yang bisa menjawab. Ketika saya tanya program desanya apa, dijawabnya adalah kemiskinan,” kenangnya.
Workshop di Mataram yang dimaksud Wada adalah ketika reuni alumni JICA CD Project yang difasilitasi oleh YMP NTB yang berbasis di Lombok Timur. Organisasi ini juga mengadopsi pendekatan Meta Fasilitasi pada isu kesehatan dan livelihood dimana salah satu mentornya adalah Ellena Khusnul Rachmawaty.
Kembali ke Wada. Wada mencontohkan bagaimana orang luar menyebut kata miskin dan saat memandang orang dalam (desa). Hal yang menurutnya lucu saat memandang masalah di desa dan bagaimana orang luar memberi label miskin.
Dia mencontohkan orang luar yang menyebut desa miskin tapi saat ditanya apakah dia ada uang namun berkelit. “Tapi tidak ada dananya (orang yang bertanya) untuk menjalankan programnya. Jika tidak ada dana, maka apa bedanya masalah desa dengan masalah dia,” ucap Wada.
Apa yang ingin disampaikan Wada adalah mereka (para fasilitator, pendamping atau orang lapangan proyek) melakukan sesuatu tanpa mengetahui itu apa.
Yang dilakukan di PKPM, menurut Wada berbuah manis. “Akhirnya memberi kenyataan baru bahwa selama 3 tahun proyek PKPM, yang perjalanannya panjang tapi akhirnya banyak yang paham bahwa sangat penting untuk bertindak berdasarkan fakta,” ucapnya.
“Di tengah pandemi Covid-19 ini, perilaku berdasarkan fakta tetap menjadi kekuatan kita. Covid ini masalah sangat besar, tapi tidak terlihat. Beda dengan angin topan atau bencana alam lainnya bisa lari ke tempat aman. Sedangkan covid ini tidak ada tempat yang pasti aman,” imbuhnya.
Dia lalu mengambil contoh. Menurutnya, ketika tsunami kita bisa lari ke tempat yang lebih tinggi dan melihat ombak berhenti di suatu titik. Tapi di pandemic ini, tidak bisa yakin meskipun sudah isolasi mandiri.
“Meskipun isolasi mandiri, tidak bisa menghindar dari kontak dari luar. Tidak seperti penyakit lainnya, tubuh belum memiliki kekebalan. Di situasi seperti ini, banyak informasi palsu mudah beredar,” lanjutnya.
Manfaatkan meta faslitasi
Bagi Wada, ketika ingat meta fasilitasi, dan ingat cara mengajukan pertanyaan mengenai fakta, maka kita semua bisa menghindar dari informasi palsu tersebut.
“Ketika mengajukan pertanyaan mengenai fakta, ini merupakan cara kita untuk mulai menganalisa situasi. Jika sudah mempraktikkan pertanyaan fakta, setiap informasi jika merupakan fakta, bisa menanyakan kapan, apa, siapa, di mana,” paparnya.
Pendek kata, Wada mengingatkan untuk bisa memastikan informasi yang didapat dengan mengajukan pertanyaan fakta.
”Hal itu harus dilakukan khususnya untuk informasi yang didapat saat situasi krisis seperti ini,” kata pria yang terakhir ke Indonesia tahun 2016 dan bertemu kembali beberapa alumni PKMP dan CD Project.
“Dulu, dengan anda, makan bersama dan bersalaman. Tapi sekarang kita hanya bisa bertemu via internet. Hanya bisa bertukar kata. Dalam situasi ini, tidak memungkinkan untuk melihat suatu hal secara bersama-sama. Tidak seperti dulu yang bisa ke lapangan dan menyaksikan hal yang dan berdiskusi tentang banyak hal,” sebutnya.
Dia bilang bahwa dalam situasi ini, hanya bisa berkomunasikasi via kata-kata. Hanya fokus pada kata dan memastikan fakta melalui bahasa menjadi satu-satunya cara. “Maka metode meta fasilitasi menjadi sangat bermanfaat dan efektif. Artinya, bagi semua orang, tidak ada bedanya antara orang yang tinggal di kota atau desa,” ucapnya.
“Semua orang berisiko tertular Covid-19. Di manapun, situasinya sama. Usaha-usaha anda sekarang sangat menentukan dalam hal menjalin komunikasi dengan masyarakat desa,” jelasnya.
Bagaimana menggunakan teknologi
Menurut Wada, teknologi di tengah situasi seperti ini harus bersifat lokal dan sesuai dengan kemampuan yang ada.
“Bagaimana membuat setiap orang dapat berlindung dari dampak yang terjadi di perkotaan, masing-masing desa punya kekuatan sendiri. Bisa menghasilkan makanan sendiri tanpa harus beli. Masalahnya adalah minim informasi sehingga hal itu harus dipenuhi,” ucapnya.
Wada yang sebelumnya tinggal di Nepal dan sekarang ada di Kyoto menyebut bahwa aktifitasnya saat ini, sejak Maret 2020 telah melakukan isolasi mandiri.
“Jarang keluar rumah, lebih sering bekerja secara online (tele-work). Saat ini sedang menulis buku baru, dan terkadang mengadakan web training seperti ini,” akunya.
“Lebih sering adalah memasak. Di rumah, saya yang memasak sarapan, makan siang, dan makan malam untuk keluarga. Terkadang juga cuci baju, cuci piring, dan sebagainya karena istri lebih sibuk dari saya,” katanya tersenyum.
Hal lain yang disampaikan Wada adalah bahwa dia sungguh jarang keluar rumah untuk belanja.
“Lebih sering beli via koperasi. Membuat ceklist dengan istri untuk belanja. Setiap barang bisa dapat informasi barang diproduksi di mana, siapa yang menanam, kualitas, dan lain-lain,” ucapnya.
Dia juga setuju tentang pandangan Hugua saat pembukaan webinar bahwa ini memang bukan bisnis teramat besar, tapi banyak peluang kolaborasi antar usaha dengan jaringan yang baik.
“Inilah kehidupan saya. Saya hanya menyesal tidak bisa ke Indonesia. Saya rindu Indonesia ketika melihat wajah-wajah anda,” tutur Wada.
Beberapa peserta webinar berbagi pandangan tentang tantangan fasilitasi, tentang fake news, hoax dan pandangan warga yang mudah dikendalikan media atau penyedia informasi.
Ada pula alumni JICA CD Project yang mengaku getol melakukan praktik wawancara dan observasi faktual, dia adalah Kepala Bappeda Pohuwato, Irfan Saleh.
Irfan mengabarkan inisiatifnya mendorong perencanaan berbasis data informasi faktual. Tentang urgensi koordinasi lintas OPD, tentang solusi pengelolaan sampah dan penguatan kapasitas rumah tangga dengan memberdayaakn sekurangnya 5000 kepala keluarga perempuan atau single parent.
“Carry on!” sambut Wada.