Tinjauan Sosiologis dan Transformasi di Kampung Nelayan

Tulisan berikut merupakan ramuan pengalaman Kamaruddin Azis, sekretaris eksekutif COMMIT dan pemikirannya terkait dimensi pembangunan di wilayah pesisir atau biasa disebut Kampung Nelayan.

***

Sudah lama sekali, kata pembangunan dijadikan alasan mengapa negara harus hadir di tengah masyarakat, di perdesaan, perkotaan, pesisir, pedalaman hingga pegunungan. Sudah lama sekali juga kata kemiskinan menjuntai di dahan motif membangun dan segala variasinya, demi pemerataan, kesetaraan hingga pemberdayaan.

Salah satu kawasan yang acap disebut tak maju-maju dan terus menerus terbelit persoalan, ketidakberdayaan, ketimpangan, adalah desa-desa atau Kampung Nelayan di pesisir Nusantara. Meski telah mengalami banyak program dan segala macam peningkatan kapasitas sejak 40 tahun terakhir namun predikat nirdaya tak bisa lepas dari kawasan seperti Kampung Nelayan ini. ‘Parlu membangun 1.000 Kampung Nelayan.” Begitu jargon Jokowi beberapa waktu lalu.

Untuk itu, saya ingin berbagi pengalaman saat menemani Darmawan Salman, Guru Besar Sosiologi Pertanian Universitas Hasanuddin memberikan kuliah bagi belasan mahasiswa Australia di Puntondo, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu.

Rasanya, saya menggarisbawahi beberapa poin substansial berkaitan pembacaan situasi di Kampung Nelayan. Saya menyebutnya, upaya membuka selubung dimensi sosiologi sebelum menawarkan model transformasi nilai atau perubahan di wilayah pesisir dan pulau-pulau (baca: pembangunan) seperti yang diulasnya.

Darmawan memulai.

Pertama, desa-desa pesisir atau komunitas nelayan Indonesia berada dalam paradoks independensi dalam arti tidak bisa dipisahkan sebagai satu unit terpisah. Menurutnya, secara sosiologis, desa-desa pesisir atau Kampung Nelayan sejatinya merupakan entitas otonom dalam mengelola sendiri pemerintahannya namun secara tata negara, desa-desa pesisir adalah juga  merupakan bagian dari pengelolaan negara.

“Desa-desa tidak bisa lepas dari koridor sistem bernegara hingga area pembangunannya,” begitu katanya.

Dia lalu mengurai tipologi desa di Indonesia terdapat beberapa tipe desa, yaitu 1. Desa Perhutanan; 2. Desa Industri/Jasa; 3. Desa Perkebunan; 4. Desa Perladangan; 5. Desa Persawahan; 6. Desa Pertambangan; 7. Desa Pesisir/Nelayan; 8. Desa Peternakan.  Hingga tahun 2012, terdapat sebanyak 78.603 buah desa (BPS, 2012). Sementara jumlah Desa Nelayan adalah sebesar 11.879 buah (15,11%). Menurut BPS, 2012, jumlah penduduk Desa Nelayan di Indonesia adalah sebesar 27.215.474 (11,41%) sedangkan luas Desa Nelayan adalah 114.249.570 ha. (18,16%) (BPS, 2012).

Dilihat dari konteks sosio-ekologi, masyarakat di kampung-kampung nelayan dipengaruhi oleh beragam faktor seperti dipengaruhi ritme musim tangkap, dipengaruhi oleh realitas horizon laut sebagai area aktivitas, dipengaruhi pandangan bahwa sumberdaya laut sebagai milik bersama serta dipengaruhi isolasi geografis dan sosial.

Lebih lanjut, menurut Salman, pengaruh musim tangkap pada nelayan dipengaruhi oleh dua kondisi; di laut saat musim tangkap dan di desa saat bukan musim tangkap. Selain itu disebutkan bahwa realitas nelayan hidup dalam pembagian kerja yang nyata antara pria dan wanita. Nelayan juga hidup dalam ekonomi rumah tangga yang paceklik pada musim bukan penangkapan dan surplus pada musim tangkap.

Disebutkan pula bahwa pengaruh dari horizon laut sebagai area aktivitas adalah pada horizon laut yang tak berbatas melahirkan cara pandang dunia yang tanpa sekat, kesendirian di laut lepas melahirkan ketangguhan dan keberanian.

Pengaruh laut sebagai milik bersama (common property) adalah dapat melahirkan pemahaman “semua berhak me-manfaatkan, tetapi tidak ada yang wajib memelihara”. Dengan itu pula dapat melahirkan kelembagaan tradisional hak kepemilikan dan kepengelolaan, melahirkan konflik pemilikan dan penggunaan alat dalam kondisi desentralisasi).

Realitas nelayan di desa-desa pesisir atau Kampung Nelayan ini jika dikaitkan dengan pengaruh keterisolasian geografis dan sosial adalah adanya pola mengkondisikan komunitas yang eksklusif dan interaksi sosial yang terbatas, akses pelayanan dan pengambilan kebijakan yang terbatas, tidak terjangkaunya pengawasan atas praktik illegal serta dapat mengkondisikan perkembangan kebudayaan atau peradaban di bagian Indonesia yang tertinggal dan miskin.

Meskipun pembangunan sejak 30 tahun terakhir telah memberikan banyak manfaat namun dalam perkembangannya isu-isu sosial, ekonomi dan ekologi juga kian kompleks dan membutuhkan pendekatan dan penanganan baru dan berbeda. Dalam perkembangannya, realitas desa-desa pesisir atau Kampung Nelayan di beberapa wilayah Indonesia saat ini tidak bisa dipisahkan dari sejarah transformasi desa nelayan di Indonesia melalui pembangunan itu.

Telah terjadi transformasi dan perubahan-perubahan yang melibatkan banyak pihak, tingkatan sosial, sumberdaya, seperti terlihat pada matriks berikut:

Formasi desa dan transformasinya; desa nelayan dalam Formasi Subsistensial menjadi nelayan dengan teknologi sederhana (pancing, bubu), menangkap secara individual,  hasilnya hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Desa nelayan dalam formasi komersial menjadi nelayan dengan teknologi lebih kompleks (bagan, pukat sederhana), menangkap secara berkelompok, hasilnya untuk dipasarkan. Desa nelayan dalam formasi kapitalis menjadi nelayan dengan teknologi modern (jaring pukat/purse seine, dogol, trawl), organisasi penangkapan skala besar, hasilnya untuk profit

Sedangkan jika ingin melihat pola relasi antara nelayan dan pemilik modal kaitannya dengan pola “patron clients” yang banyak terjadi kampung-kampung nelayan serta harmoni sosial yang terjadi dapat dilihat pada penjelasan berikut;

Kesenjangan pada ekonomi di kampung pesisir/nelayan sebagai fakta, pendeskripsiannya dapat dilihat pada komunitas nelayan berlaku sistem bagi hasil yang senjang: 70% untuk pemilik modal/punggawa (perahu, alat tangkap, perahu, bahan konsumsi) dan 30% untuk pekerja/sawi (tenaga).

Mengapa tidak lahir perlawanan atau konflik jika memang dirugikan?

Karena berlaku ikatan patron-klien, hubungan tidak semata hubungan kerja tetapi juga hubungan lain seperti pertetangga-an, pertemanan, perkerabatan sehingga ikatan berlapis-lapis; yang kedua, hubungan tidak semata berbasis rasional-kalkulatif tetapi juga ‘mempribadi’ dan berbasis moral subsistensial; ketika, kebergantungan berlangsung terus karena klien/sawi selalu berutang budi kepada patron/punggawa sehingga tidak berpikir untuk memprotes kesenjangan bagi hasil.

“Kemiskinan struktural bertahan dalam harmoni di beberapa Kampung Nelayan dideskripsikan bahwa sistem bagi hasil yang senjang menyebabkan kemiskinan pada golongan sawi (client). Ia mendorong kesenjangan ekonomi tetapi tidak diikuti dengan kesenjangan sosial. Sebuah harmoni  sosial dalam situasi kemiskinan struktural,” sebut Darmawan.

***

Jika demikian adanya, maka sebagai bagian dari entitas desa, kelurahan, atau bahkan kota, nelayan sesungguhnya bisa disebut tak melulu berkutat dengan persoalan politik, sosial dan ekonomi yang kompleks. Sepanjang mereka punya antusiasme, sesungguhnya predikat tak berpunya, kesenjangan sosial dan tekanan-tekanan ekonomi yang datang setiap saat bukanlah persoalan mendasar bagi mereka.

Keterbatasan akses modal, teknologi dan pasar sehingga memengaruhi dinamika usaha, kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada, kualitas sumberdaya mayarakat yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik, degradasi sumberdaya lingkungan baik di kawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil, dan belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional

Ada tiga aspek penting dan perlu mendapat perhatian terutama pada kelompok-kelompok nelayan di Indonesia.

Ketiga aspek tersebut dapat dilihat pada penjabaran tiga tingkatan atau yang biasa disebut ‘capacity layers’, yaitu: Tingkatan individual, contohnya keterampilan-keterampilan individu dan persyaratan-persyaratan, pengetahuan, tingkah laku, pengelompokan pekerjaan dan motivasi-motivasi dari pekerjaan orang-orang di dalam organisasi-organisasi.

Kedua, tingkatan institusional atau keseluruhan satuan, contoh struktur organisasi-organisasi, proses pengambilan keputusan di dalam organisasi-organisasi, prosedur dan mekanisme-mekanisme pekerjaan, pengaturan sarana dan prasarana, hubungan-hubungan dan jaringan-jaringan organisasi; Ketiga, tingkatan sistem, seperti kerangka kerja yang berhubungan dengan pengaturan, kebijakan-kebijakan dan kondisi dasar yang mendukung pencapaian obyektivitas kebijakan tertentu;

Ini berarti bahwa peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok-kelompok nelayan harus dimulai dari penguatan kapasitas individu-individu, kemudian kelompokk-kelompok atau lembaga-lembaga komunitas. Tidak berhenti di situ saja, untuk menjamin berjalannya pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kampung Nelayan maka dibutuhkan system sosial atau tatatan sosial yang memungkin upaya pemenuhan kehidupan mereka berjalan tanpa kendala.

Inilah yang disebut keterhubungan fungsional di tingkat lembaga yang memberikan efek transformatif ke lingkungan sosial secara luas. Dalam arti bahwa peningkatan kapasitas merupakan juga upaya menciptakan daya dukung, kemampuan dan kemandirian sosial, ekonomi dan politik. Ini menegaskan bahwa peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat nelayan dalam dapat dilakukan melalui aras individual, organisasi dan sistem.

Individu. Pada aras individu peningkatan kapasitas kelembagaan nelayan ditujukan untuk meningkatkan etos dan kinerja yang efisien dan rasional dan bersahabat dengan sumberdaya dan ekologi di mana mereka membangun relasi sosial, budaya, komunitas dan habitatnya. Peningkatan kapasitas secara individual dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan, bantuan modal, keterampilan, etos kerja, dan kompetensi personal.

Perbaikan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan secara perorangan juga mensyaratkan adanya upaya peningkatan akses informasi pada berbagai sumber finansial, perkreditan, permodalan dan teknologi. Peningkatan kapasitas individual juga dapat dilakukan dalam bentuk peningkatan keterampilan dan teknologi penangkapan, jaringan pemasaran dan fasilitasi manajemen keuangan. Program peningkatan kapasitas individual hanyalah merupakan salah satu komponen dari peningkatan kapasitas kelembagaan secara keseluruhan.

Organisasi. Kapasitas kelembagaan lainnya yang perlu diperbaiki adalah kapasitas organisasi dan sistem regulasi atau kebijakan sektor kelautan dan perikanan yang berpihak pada masyarakat.

Oleh karena itu peningkatan kapasitas kelembagaan nelayan secara individual selayaknya dilakukan pada ketiga aras tersebut secara holistik, sinergi dan seimbang. Peningkatan kapasitas kelembagaan hanya menekankan pada salah satu aspek tidak akan berhasil guna dan berdaya guna, baik secara sosial, ekonomi maupun politik.

Sistem. Peningkatan kapasitas pada aras sistem mencakup identifikasi dan analisis kebijakan sampai dibuatnya naskah akademik dan proses formulasi kebijakan yang melibatkan eksekutif dan legislatif (pusat dan daerah) untuk mendukung peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat nelayan.