COMMIT – Dr Ir Abdul Manan, M.Sc akademisi Fakultas Ilmu Kehutanan dan Lingkungan Universitas Haluoleo Kendari menekankan perlunya perhatian dan kesungguhan membangun potensi pesisir dan laut Sulawesi Tenggara hingga level nasional dengan berfokus pada tiga pilar. Ketiganya adalah kapasitas kecerdasan kolektif, kapasitas berinovasi dan kapasitas kewirausahaan berbasis pesisir dan laut.
“Ketiganya terbingkai dalam satu kemampuan kepemimpinan. Ketiganya pembentuk leadership orang per orang,” katanya saat menjadi pembicara pada webinar yang digelar Yayasan COMMIT dan Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) DPW Sultra pada 3 Juli 2020. Tema webinar adalah potret pesisir dan laut Sultra: dari tata kelola hingga penyiapan SDM.
Dr Abdul Manan yang juga tokoh masyarakat Bajo dunia dan mantan Kepala Bappeda Wakatobi ini hadir bersama ketua ISKINDO Sultra, Amadhan Takwir, S.Kel, M.Si, pengamat ekonomi Abdul Rahman Farisi, S.E, M.SE yang juga merupakan tokoh muda Sulawes Tenggara, serta Ir Abdul Halim, M.Si, mantan kepala Bappeda Konawe Kepulauan yang saat ini bersiap menjadi kontestan Pilkada Konkep.
Kamaruddin Azis, pengurus DPP ISKINDO yang menjadi moderator menyatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa perlu menggelar webinar ini tapi yang lebih kontekstual adalah realitas Sultra yang ditopang 651 pulau-pulau kecil yang perlu divalidasi situasi dan isu yang ada. “Kedua, berkaitan banyaknya informasi terkait isu pertambangan dan reklamasi di Sultra,” katanya.
Jika Amadhan memotret isu pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut Sultra maka Abdul Rahman Farisi (ARF) menyorot belum optimalnya pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan dalam mengangkat hajat hidup orang banyak di Sultra.
Lalu narasumber keempat adalah Abdul Halim menawarkan konsep pembangunan Konkep yang kolaboratif dan berbasis masyarakat maka Manan mengelaborasi bagaimana Wakatobi bergerak dari daerah ber-IPM rendah dan secara perlahan menanjak signifikan dengan memanfaatkan potensi sumber daya kelautan, perikanan dan pariwisata.
Kolaboratif dan fokus SDM
Untuk membangun potensi pesisir dan laut tersebut, saat menjadi Kepala Bappeda, Dr Manan sangat aktif dalam membangun kerjasama dengan berbagi pihak demi memanfaatkan potensi, peluang, tantangan dan harapan masyarakat Wakatobi.
“Posisi Wakatobi adalah anugerah Tuhan yang maha dahsyat. Bukan saja bagi Wakatobi akan tetapi bagi Indonesia dan Dunia. Kita masuk wilayah Taman Nasional Wakatobi, merupakan pusat segitiga karang dunia, anggota United Nation Local Advisory Community for Local Autority (UNACLA), sebagai Cagar Biosfer, hingga menjadi 1 dari 10 Destinasi Utama Wisata (BOP),” papar Manan.
“Kita bekerjasama dengan banyak pihak seperti JICA, UNDP, CIDA, World Bank, ADB, WWF/TNC, USAid, AusAid , GTZ, NOAA, GEF/SGP, LSM, UCLG hingga universitas-universitas,” sebut Manan yang membawakan topik berjudul Refleksi Pengalaman Pembangunan Pesisir dan Laut Wakatobi untuk Masa Depan Sumberdaya Pesisir dan Laut Nusantara, Rethink the Past, Remake the Future.
“Strategi kami bagaimana berfokus pada pengembangan kapasitas, mendorong pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan laut, termasuk pengelolaan sampah terpadu, usaha dan pengelolaan mata pencaharian, hingga mendorong berdirinya pusat penelitian kelautan internasional,” imbuhnya.
Visi Wakatobi saat Dr Manan menjadi kepala Bappeda adalah terwujudnya surga nyata bawah laut di pusat segitiga karang dunia. Menurutnya, fokus visi untuk pembangunan pesisir dan laut meliputi bagaimana mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat, bagaimana ekologi pelestarian sumberdaya alam pesisir dan laut hingga infrastruktur.
Manan memaparkan fakta pembangunan Wakatobi yang menurutnya pertumbuhannya mencapai 8,04 persen, pengangguran 2.45 persen, kemiskinan 16,68 persen dan IPM menanjak ke skor 69.77.
“Kunci pembangunan sumberdaya kelautan, perikanan dan pariwisata adalah dengan memastikan keterlibatan masyarakat dan stakeholder lainnya dalam pembangunan, dalam perencanaan,” imbuhnya.
Meski demikian, dia menekankan bahwa untuk mencapai itu semua dibutuhkan stabilitas politik, keamanan, ketersediaan infrastruktur, kepastian hukum, kebijakan ekonomi, perda pro-investasi hingga perizinan satu atap.
“Di Wakatobi, untuk mencapai visi itu dikembangkan 17 program prioritas dengan fokus pada kesejahteraan masyarakat, ekologi atau pelestarian sumberdaya alam pesisir dan laut, tata kelola good governance dan Infrastruktur,” ucapnya.
Dia juga menyebutkan bagamana penguatan kapasitas di Wakatobi diwarnai oleh praktik atau adopsi konsep U Theory yang dikembangkan Prof Otto Scharmer yang bertumpu pada ekosistem. Tentang bagaimana menata kelembagaan pemerintah dengan memperbaiki model-model komunikasi, perlunya kepekaan dan respons ‘dalam’ atas kerentanan, ketidakpastian, kompleksitas serta ambiguitas (VUCA) yang melanda dunia, dalam banyak dimensi.
“Ekosistem adalah trend masa depan, jadi apabila pembangunan tidak dikembangkan mengantisipasi trend masa depan, maka sama halnya kita menciptakan kuburan bagi sumberdaya pesisir dan laut kita. Inti dari ekosistem adalah ketersediaan data, The most valuable asset in the future adalah data. Kalau sudah tahu trend masa depan maka harus segera beli dari sekarang. Membeli masa depan dengan harga sekarang,” tegasnya.
Terkait sumberdaya daerah baik di Sultra maupun nasional, Manan menyarankan agar pengembangan kapasitas di masa sudah harus menggabungkan ‘belajar survival’ atau lebih sering disebut belajar beradaptasi, bejalar generatif atau belajar untuk berinovasi atau memberi manfaat. Hal yang menurutnya membutuhkan kapasitas, kapasitas kolektif, kemampuan inovatif dan berdimensi ekonomi.
“Yang kami lakukan di Wakatobi adalah pendekatan yang didorong oleh JICA CDP, dalam hal bagaimana mendorong berjalannya mekanisme kolaborasi pembangunan dan berbasis masyarakat serta adopsi U Theory terkait kepemimpinan dan peningkatan kapasitas SDM,” tutupnya.