Integritas

COMMIT – Pagi ini saya dapat kiriman tiga video dari grup WA negarawan muda. Ada Bupati yang marah kepada menteri. Lebih hebat lagi, ada lurah yang marah (mengadu) ke Presiden. Tapi, video terakhir lebih unik: penyesalan seorang Bupati karena kecilnya gaji yang diterimanya.

Banyak komentar menghardiknya. Namun, saya, malah memujinya. Inilah contoh manusia Bupati yg jujur. Bicara apa yang dia rasakan. Karena begitu kondisi  yang dialami para Bupati maka korupsi itu kata beliau bukan hanya terpaksa tapi harus. Nah, tunggu apa lagi. Itulah faktanya. Mengapa kita bernegara terus dalam kepura puraan.

Karena dia bilang, baru tahu setelah jadi Bupati. Anggaplah begitu. Maka, semua calon Bupati mutlak diberitahu lebih dahulu bahwa jadi Bupati itu gajinya kecil. Siap menderita (baca: leadershipnya Umar bin Abd Azis). Atau, ubah kebijakan. Tunjukan angka nominal yang logik, baharu ketat di penegakan hukum sesudahnya.

***

Ada pandangan antagonis, datang dari dunia kampus. Guru saya di Untad Palu, Drs Syafrudin, Msc. Ketika orang minta gaji guru dan dosen dinaikan. Beliau bilang, tidak perlu. Saya tanya kenapa?

Beliau berargumen, agar terpilah emas dan pasir. Maksudnya? Supaya, yang  jadi guru atau dosen hanyalah mereka yang dedikasi pengabdiannya sangat tinggi. Karena mereka mendidik manusia.

Beliau lanjutkan, kalau gajinya tinggi maka semua orang berlomba jadi guru atau dosen. Biar yang tidak pantas dan tidak berdedikasi pun, ikut serta. Dari sinilah dimulainya kehancuran peradaban. Sementara peradaban itu dibangun dari kejujuran, kebenaran dan keteladanan. Dengan sedikit apologi, saya sela. Bukan naikan gaji, tapi beri nominal yang pantas atau layak. Beliau balas dengan senyum.

Beliau sudah wafat. Rahmat dan magfirah kita doakan. Andaikan belum wafat.  Beliau akan saksikan bagaimana orang berlomba jadi guru dan atau dosen dengan berbagai cara. Dunia akademik pun begitu. Orang bisa bersekongkol untuk memberi gelar dalam proses akademik.

Sebenarnya, meloloskan atau menjegal dengan cara curang adalah tradisi purba yang terawat hingga kini. Bahkan di dunia perguruan tinggi sekalipun. Tempat kaum terpelajar berkumpul.

Tapi, UGM pernah beri contoh mulia. Dicabutnya gelar doktor dari satu orang ternama di republik ini. Dosennya sendiri, lantaran cacat akademis (baca: problem integritas).

Sekiranya masih hidup, Pak Safruddin juga akan melihat bagaimana gaji dan tunjangan dosen, terutama yang menjabat, membengkak jauh meninggalkan standar nasib semasa hidupnya. Tapi, sudahlah biar menjadi urusan sendiri saja. Sebab,  menyoalnya akan dikategori ikut menyebarkan kebencian.

***

Saya dapat cerita lain dari Kanda Rudi, Bupati Buol tentang Kanda Ale, Bupati Toli-Toli.  Dalam sebuah pertemuan para Bupati se-Indonesia. Usai arahan Presiden agar Bupati jangan ambil uang rakyat. Berdirilah kaka Ale dengan gaya khasnya, lantang menginterupsi Presiden.

Dia menyela.  “Kami tidak ambil uang rakyat pak Presiden. Kami ambil dari pengusaha.” Kemudian Kaka Ale konfirmasi dalam pertanyaan oratoris kepada para Bupati yang lain.  “Betul kan? Betul kan?” Diulanginya berkali kali.

Banyak Bupati yang setuju sambil beri semangat dan tepuk tangan.  Ada juga yang geleng geleng kepala. Saya yakin sebagiannya, bukan karena tidak setuju. Tapi, mungkin lantaran malu atas kebiasaannya.

Bagi saya, ini pernyataan berani dan gentlemen dari seorang Bupati. Tapi, apa solusi negara untuk ini? Sejak dahulu, gaji itu memang kecil. Namun, mereka didukung dengan TF yang besar (non-budgeting).

Kabarnya,  sekarang sudah tidak. Maka, jalan teraman adalah kolaborasi korporatif. Mulai dari terutama proyek infrastruktur hingga ekspolitasi SDA. Kalau semua proyek infrastruktur diperiksa pakai pembuktian terbalik. Apriori, banyak yang bermasalah hukum.

Tahun 90-an saya ikut dalam satu diskusi anti korupsi bersama Teten Masduki.  Dia kala itu memimpin  ICW.  Ada satu anekdot yang diungkapnya tentang PNS Indonesia dan PNS Amerika.

PNS AS uraikan gaji dan penggunaannya kepada PNS Indonesia. “Gaji saya 1000 dollar. 500 untuk konsumsi, 100 untuk pendidikan. Seratus lagi untuk trasportasi dan seratus lagi untuk rekreasi.”

Lalu PNS Indonesia penasaran. Terus yang dua ratus lagi untuk apa? Si Amerika mengungkap dengan tenangnya,  “Konfidensial”

Si Amerika lanjut bertanya, kalau anda di Indonesia? PNS kita menjelaskan.

“Saya punya gaji, 3 juta rupiah.  Dua juta untuk konsumsi harian keluarga. Satu juta untuk pendidikan anak. Lima ratus untuk transportasi dan lima ratus lagi untuk rekreasi.  Heran dan penasaranlah PNS Amerika ini. Lho, itu kan sudah lebih satu juta?  Anda dapat dari mana satu juta tersebut?

Dengan santai si PNS Indonesia ini bilang,  “Konfidensial.”

***

Teten lalu lanjutkan anekdot yang ke dua.  Kali ini tentang insinyur teknik indonesia yang studi di Jerman.  Setelah usai kuliah,  dia pulang ke indonesia definitif (bukan mudik ya). Setahun kemudian dia kunjungi Jerman.  Dijemputlah oleh kawan Jerman untuk nginap di rumahnya.

Terkagumnya kawan Indonesia melihat arsitektur mewah rumah kawannya ini. Bertanyalah dia, dari mana anda dapat uang untuk bikin rumah sebagus ini. Si Jerman menjelaskan. Anda lihat di sepanjang jalan ada banyak jalan mulus dan jembatan megah terbangun?.

“Iya,”  balas kawan Indonesia. Si Jerman menimpali. “Nah, sedikit dari anggarannya saya ambil untuk bikin rumah ini.”

Berselang setahun kemudian,  giliran si Jerman yang ke -Indonesia. Dijemputlah oleh kawan lama asal Indonesia tersebut. Begitu tiba di rumah, si Jerman ini terpukau melihat keindahan arsitektur rumah tinggal sahabat indonesia ini. Antara kagum dan heran, dia bertanya. Dari mana anda dapat uang untuk bikin rumah semewah ini ?

Dengan tenang, si Indonesia ini menjawab. “Anda lihat di sepanjang jalan ada jembatan dan jalan.” “Iya,” kata si Jerman.

“Ada jalan dan jambatan tapi sebagaian besar rusak dan tidak layak. Anda tahu, kata si-Indonesia. Sebagian besar dana untuk jalan dan jembatan itu saya ambil untuk bangun rumah saya ini.”

***

Dua anekdot yang dicerita Teten puluhan tahun silam itu, masih relevan hingga kini.  Sekarang Teten telah jadi menteri. Apakah cerita ini beliau terapkan sebagai ikhtiar mengelola, mengelola leadership-nya?  Wallahu a’lam.

Muhd Nur Sangadji, pengajar mata kuliah Pendidikan Karakter dan Anti Korupsi, serta Pendidikan Kewarga negaraan (PKN) Univ. Tadulako).