Palu, COMMIT – Lelaki Rusdi, 57, sedang santai di Pesisir Kolonodale, Morowali bagian timur, ketika gempa bermagnitudo 7,4 dan tsunami meluluhlantakkan Perkampungan Mamboro, Palu, 28 September 2018. Berikut laporan tim COMMIT ketika bertemu Suardi pada 12 Oktober 2018.
***
Pria kelahiran Tosewo, Lalabata, Soppeng, Sulawesi Selatan itu ada di jarak sekira 400 kilometer atau sekitar 10 jam perjalanan roda empat dari rumahnya. Suardi tahu berita menggigilkan perasaan itu ketika seorang pemuda menyampaikannya pada pagi, sehari setelah kejadian.
“Om kenapa tidak pulang ke Palu. Ada gempa dan tsunami di sana,” tiru Rusdi saat disampaikan berita itu. Tsunami yang melanda Mamboro diperkirakan mencapai 3 meter, meski beberapa sumber menyatakan mencapai 5 meter.
“Saat itu juga saya langsung ingat keluarga, istri dan anak-anak. Juga rumah saya di Pantai Mamboro, di Kompleks Perikanan,” katanya saat ditemui di atas puing-puing rumahnya kepada admin COMMIT.
Tim COMMIT yang terdiri dari Ashar Karateng, Kamaruddin Azis dan Abd Gani berkunjung ke pesisir Talise dan Mamboro dan mendapati lelaki kelahiran Tosewo ini membersihkan bekas rumahnya.
Di bekas rumah itu, hanya ada lantai dan dinding separuh dari kamar kecil yang masih tersisa. Dia menggunakan tenda bertuliskan Australian Aid.
Kawasan dimana Rusdi tinggal adalah kawasan pesisir. Ketika gempa dan tsunami melanda Sulawesi Tengah bagian barat, rumahnya telah luluh lantak.
Dia menyebut ada sekitar 30 perahu ketinting sering lalu lalang di kawasan itu yang terpapar tsunami. “Bahkan ada yang masih di atas perahu dan terangkat hingga ke darat,” katanya.
Di pesisir itu, Suardi bercerita bahwa ada banyak perahu asal daerah lain. Perahu asal Kalimantan dan pesisir sepanjang Donggala ke utara yang bongkar muat ikan dan mengambil es.
Tidak jauh dari bekas rumah Rusdi terlihat kapal ikan seukuran 70 groston yang menurutnya milik perusahaan PT. PDU.
Pernah tinggal di Lampung
Rusdi dan keluarganya bermukim di Mamboro sejak tahun 2007. Sebelumnya dia berpindah dari satu kampung ke kampung lainnya.
“Saya pernah tinggal di Kalimantan dan Sumatera. Waktu kejadian saya memang sedang ada di Kolonodale. Ada keluarga di sana,” kata ayah dari enam putra-putri ini. Rusdi beruntung sebab istri dan anak-anaknya selamat.
“Sebagian tinggal di sini, sebagian di wilayah lain,” katanya. Istri dan anak-anaknya sekarang tinggal di pengungsian di atas bukit.
Menurut Rusdi aktivitas warga di Mamboro beragam, ada nelayan, pedagang hingga pekerja kantoran. “Ada juga nelayan besar, seperti pengguna rengge (purse seine) tapi dimilik orang dari luar,” katanya.
Sebelum gempa dan tsunami menghantam Palu, menurut Suardi, kawasan dimana dia tinggal sudah diwanti-wanti untuk pindah.
“Pemerintah mau pindahkan rumah-rumah yang ada ke tempat lain. Sebelum ada gempa ini memang sudah ada informasi pemindahan itu. Status lahan ini memang tidak ada sertifikat kecuali di seberang jalan sana,” jelas pria yang mengaku pernah tinggal di Lampung ini.
Layaknya orang Bugis yang terkenal perantau dan tetap terhubung keluarga, dia pun tinggalkan Lampung sejak tahun 2007 dan pindah ke Palu sebab banyak keluarganya yang tinggal di ibukota Sulawesi Tengah itu, termasuk di Kolonodale.
“Saya tinggalkan Sulawesi tahun 1981, tujuan Jakarta lalu Lampung, di sana banyak orang Bugis juga. Saya pulang ke Sulawesi tahun 2007,” ungkapnya.
Naik ojek dari pagi hingga subuh
Ada yang dramatis dan teras heroik saat Suardi tahu gempa dan tsunami menghajar Palu. “Saat dengar kabar itu, saya langsung cari ojek. Lama baru dapat, awalnya tidak ada yang mau antar,” katanya.
Suardi beruntung sebab dia bisa dapat motor tumpangan meski harus membayar 600 ribu. “Saya langsung naik ojek pagi itu dan tiba pukul 3 dinihari,” katanya.
Dia beruntung sebab ada kenalannya orang Sengkang, Wajo dan meminta suaminya untuk mengantarnya.
“Dia suruh suaminya untuk mengantar,” ujar pria yang mengaku sebagai tukang kayu dan punya keahlian membikin batu bata. Rumahnya yang sekarang awalnya dijadikan tempat pembuatan batu bata.
Bagi Suardi, perjalanan dari Kolonodale tidak mudah sebab sepanjang jalan kena hujan. Dia juga tidak bisa menghubungi keluarganya di Palu karena koneksi tidak ada. Selama berkendara, dia harus istirahat selama 3 kali di beberapa ruas jalan Kolonodale – Palu.
“Subuh itu saya langsung ke rumah di Mamboro. Tidak mendapati siapa-siapa. Saya cari istri dan anak-anak. Ada 20 kem (pengungsian) yang saya periksa. Jam 5 sore baru saya ketemu keluarga di kem paling atas,” ungkapnya dengan logat Bugis campur Palu ini.
Meski istri dan anak-anaknya selamat, Suardi kehilangan ipar dan ponakannya.
“Istri saudara saya ditemukan meninggal. Anaknya tidak ditemukan,” kata suami Rohaya ini, ayah dari Rosmina, Rosdiana, Rosnita, Rosmiati, Rosiman, Rosidin ini.
***
Berdasarkan cerita Rusdi dan setelah tim COMMIT mengobservasi kawasan Mamboro, maka dapat disebutkan bahwa gempa dan tsunami telah memberikan dampak hebat bagi warga pesisir, ribuan orang dikabarkan tewas terutama yang berdiam di sekitar pantai. Ada 30-an unit perahu ketinting dilaporkan terpapar termasuk pemiliknya.
Bukan hanya nelayan tetapi para pihak yang memanfaatkan PPI Mamboro, kawasan yang tentu saja mempunyai beberapa pemanfaat di pesisir seperti pedagang ikan, penampung, penjaja ikan keliling dan pengolahan.
Tim COMMIT memandang bahwa diperlukan pendalaman terhadap dimensi usaha perikanan skala kecil di Mamboro, terutama nelayan pemancing dan pemasang jaring. (Admin, KA)