Laman COMMIT menyiapkan ruang reportase, refleksi dan gagasan-gagasan terkait bencana gempa dan tsunami yang melanda Kota Palu, Donggala dan Sulawesi Tengah secara umum.
Artikel kali ini dari Ibnu Mundzir, warga Kota Palu. Melalui kesempatan ini juga keluarga besar COMMIT menyampaikan rasa syukur tak terhingga sebab ASN dan juga alumni Participatory Local Social Development (PLSD) di Nagoya, Jepang itu selamat dari musibah. Berikut tulisannya.
***
Di antara lagu milik God Bless yang penulis suka, salah satunya adalah yang berjudul Rumah Kita. Entah kenapa setelah kejadian gempa 7,7 SR yang mengguncang Kota Palu tercinta, lagu tersebut kembali menemukan relevansi maknawinya, setidaknya untuk sabunari penulis. Apalagi ketika terdapat kenyataan, banyak orang berbondong-bondong meninggalkan kota yang membentang di aras Sesar Koro ini.
Kalau ditanya, mengapa tidak ikut meninggalkan kota ini, dengan segala keterbatasannya seperti BBM, listrik, air bersih, signal yang sangat terbatas, maka akan saya akan jawab, lebih baik di sini, rumah kita sendiri!
Segala anugrah yang kuasa, semua ada di sini, rumah kita!
Rumah, dalam berbagai penyebutan, disebut sebagai house, home, dwelling, shalter, hut dan lain-lainnya. Rumah itu bangunan fisik, sedangkan home adalah sosial, ekonomi dan budaya, sedangkan shelter sesuatu yang ada di bawah, di belakang, di dalam dimana seseorang dapat dilindungi dari gempa, badai atau keadaan yang membahayakan.
Di rumahlah orang berlindung, di rumah pula dirakit sebuah lembaga sosial terkecil, dimana aspek kultural dirajut.
Kejadian gempa tanggal 28 September 2018, menyebabkan rumah yang rusak sebanyak 65.773 unit. Banyak sekali bukan? Mengapa bisa sebanyak itu?
Tulisan ini hanya membatasi dari sisi rumah saja.
Di Kota Palu, dalam dasawarsa terakhir, bangunan modern, minimalis dan bangunan non-engineered – menurut istilah penulis – telah menjadi ‘pemandangan baru’.
Bangunan non-engineered adalah bangunan tempat tinggal dan bangunan komersil sampai bangun tembok dua lantai yang dibangun oleh pemilik, menggunakan tukang setempat, dan bantuan dan supervisi dari aristek atau ahli struktur.
Bangunan tembokan dengan sistem dinding pemikul beban yang dibuat dari batu bata atau batako. Tebal dinding umumnya setengah bata atau batako. Sebagian besar bangunan tembokan itu sudah menggunakan perkuatan berupa bingkai terdiri dari balok pondasi, kolom praktis dan balok keliling.
Perkuatan tersebut kadang dibuat dari kayu, namun pada umumnya dibuat dari beton bertulang. Bangunan non engineered tersebut merupakan bangunan dengan sistem dinding pemikul beban, dan analisanya harus sebagai bangunan dinding pemikul.
Untuk kasus Palu, bangunan yang paling banyak rusak parah adalah bangunan lemah dengan tingkat hunian tinggi, bangunan yang didirikan tanpa perhitungan teknik sipil oleh pemiliknya, seperti tanah, pecahan batu dan bangun dari batu yang tanpa diperkuat oleh kerangka.
Sebagian besar rumah-rumah itu adalah bangunan dengan atap yang berat, bangunan bangunan relatif tua dengan kekuatan samping yang minimal, bangunan dengan kualitas rendah, bangun dengan konstruksi yang cacat, bangun yang dibangun di tanah yang lembek, bangun yang berada pada lereng yang lemah.
Sebagai kota yang ditakdirkan berada di atas lempeng sesar aktif Palu Koro, dan kejadian gempa merupakan ‘aktivitas hariannya’, maka perlu ada kebijakan atau pengaturan yang jelas berkaitan dengan kegempaan khususnya tentang bangunan non-engineered terutama bangun rumah tinggal.
Pasalnya, kerusakan bangunan tersebut, di daerah gempa, kebanyakan disebabkan oleh mutu bahan dan mutu pengerjaan yang buruk, terutama pada detail sambungan konstruksi yang salah dan lemahnya pengawasan pada waktu pembangunan.
Walaupun pemetintah sudah melatih tiap tahun para tukang, dan menerbitkan pedoman teknis rumah tahan gempa, ternyata kesalahan yang sama, terus juga berulang.
Untuk kasus Palu, penyebab kerusakan dan rubuhnya bangunan melanda bangunan yang sudah berumur dan mengalami pelapukan karena kurangnya pemeliharaan secara rutin.
Masalah pemeliharaan bangunan inilah sampai saat ini belum mendapatkan perhatian semestinya karena tidak dianggarkan pemeliharaan untuk itu, berbeda dengan masyarakat di negara maju, yang selalu memelihara bangunannya secara rutin sehingga seluruh elemen struktur bangunan tetap kuat dan utuh.
___