Bencana Banjir dan Inisiatif Masyarakat Karya Bersama

Aksi warga (foto: istimewa)
Aksi warga (foto: istimewa)

Iwan Yaman, alumni pelatihan Participatory Local Social Development, PLSD, 2017, yang juga Aparatur Sipil Negara di Provinsi Sulawesi Barat terkesan dengan partisipasi masyarakat di salah satu desa yang acap dilanda banjir. Hal yang menurutnya istimewa di tengah suasana merosotnya spirit guyub masyarakat desa. Berikut ceritanya.

***

Nun jauh di utara Sulawesi Barat, di tepian Pasangkayu, ibukota Mamuju Utara terdapat desa bernama Karya Bersama. Desa yang dapat disebut sebagai gerbang kota Pasangkayu dari arah selatan Kota Mamuju. BPS 2017 menyebutkan luas wilayah desa tersebut 27,77 km2 dengan penduduk sebanyak 1.914 jiwa. Terdapat 1.008 pria dan 906 perempuan yang tersebar du 561 rumah tangga.

Sejatinya, desa tersebut terbilang makmur jika dilihat hamparan lahan pertanian dan perkebunan sawit serta ragam komoditi unggulan di dalamnya. Itu pula yang menjadi kesimpulan penulis ketika kaki pertama kali datang ke desa itu pada pertengahan 2011.

Setelah lama tak berkunjung ke Pasangkayu, di awal Agustus lalu, penulis mendapat kabar bahwa Karya Bersama terendam banjir. Tiga dusun yaitu Sinarwajo, Sulu, dan Marrambeau terendam, Tak hanya itu, desa tetangganya, yaitu Malei dan Pedanda, bagian dari Kecamatan Pedongga, ikut menanggung derita.

Kala jalan terendam banjir (foto: istimewa)
Kala jalan terendam banjir (foto: istimewa)

Akibat banjir, empat rumah rusak parah, dua di antaranya hanyut terbawa arus. Tidak kurang 200 Kepala Keluarga mengungsi ke rumah keluarganya di luar Karya Bersama atau di rumah-rumah warga dusun sebelahnya yang tidak terendam banjir. Sejumlah fasilitas umum, seperti sekolah TK, SD, dan masjid, tak bisa digunakan selama tiga pekan.

Upaya penanganan banjir pun dilakukan dan masih berlangsung hingga saat ini. Beberapa pertemuan dihelat, diinisiasi langsung oleh masyarakat Karya Bersama, dengan melibatkan multipihak di antaranya Dinas Penanggulangan Bencana Daerah, Dinas Pekerjaan Umum, Polres Pasangkayu, Kodim Pasangkayu, Kantor Kecamatan Pasangkayu, serta masyarakat korban banjir.

Pertemuan multipihak yang digagas warga ini menyepakati perlunya penanggulangan bencana banjir segera dilakukan dengan mengatasi penyebab utamanya, yakni meluapnya air sungai yang juga berfungsi sebagai bendungan di desa.

“Perlu menghambat derasnya air sungai yang langsung menghantam bendungan dan aliran air sungai dapat terbagi ke sungai Pasangkayu, sungai yang lebarnya lebih kecil,” ujar Murtini melalui telepon seluler kepada penulis. Murtini adalah warga Pasangkayu, pernah bekerja sebabagi fasilitator Program Bangun Mandar dan pernah bertugas di Karya Bersama.

Aksi warga pasca banjir (foto: istimewa)
Aksi warga pasca banjir (foto: istimewa)

Tiga hari kemudian mereka langsung action. Melalui bantuan Dinas Penanggulangan Bencana dan partisipasi masyarakat secara gotong royong, batu gajah dengan patok batang kelapa pun dipasang untuk memperlambat arus aliran sungai yang menghantam bendungan, sekaligus membagi aliran air ke Sungai Pasangkayu—sungai yang sudah dangkal akibat endapan pasir sedimen.

Aksi kolektif

Bencana di Karya Bersama dan inisiatif yang ditunjukkan oleh oleh warga di adalah salah satu bentuk aksi kolektif komunitas seperti yang disebut Yutaka Ohama  dalam PLSD atau Participatory Local Social Development Training, yang pernah penulis ikuti baru-baru ini di negeri asal Sang Professor itu, Jepang.

Upaya bersama multipihak, dalam tatanan Sistem Kemasyarakatan Lokal atau Local Societal System, mengatasi masalah dalam hal ini bencana banjir, mengintegrasikan antara masyarakat Karya Bersama sebagai Inner System serta Dinas Penanggulangan Bencana dan Dinas PU, representasi dari Pemerintah Kabupaten Mamuju Utara sebagai Outer System.

Menariknya, sebab berbagai pertemuan antarwarga untuk mendiskusikan rencana penanggulangan banjir, dilakukan secara intensif meski tanpa kehadiran Kepala Desanya.

Pertemuan atau rapat-rapat yang mereka lakukan itu adalah inisiatif dan kesadaran masyarakat sendiri untuk bergerak secara kolektif. Yang berarti bahwa penyelesaian masalah yang tengah mereka hadapi harus bertumpu pada kekuatan kolektif masyarakat sendiri atau diistilahkan sebagai inner system. Mereka tidak harus menunggu dan berharap adanya bantuan dan stimulasi dari pihak luar outer system.

Menarik, karena tak banyak desa saat ini yang memiliki kepercayaan diri menghadapi masalahnya dengan mengandalkan kekuatan mereka sendiri, terlebih dalam menghadapi bencana banjir seperti yang menimpa Karya Bersama saat ini.

Jika desa-desa lain lebih banyak berharap kepada Pemerintah, atau acap menyalahkan pihak luar yang lamban membantu, di Karya Bersama mereka mengambil inisiatif sendiri, dari dalam desa.

Semakin menarik, sebab masyarakat Karya Bersama justru menjadi lebih solid dengan dibentuknya Tim Penanggulangan Banjir secara informal dengan melibatkan warga di tiga desa yaitu Karya Bersama, Male, dan Pedanda.

Mereka terlihat lebih kompak saat banjir yang lebih besar datang kembali, akibat jebolnya bendungan sungai yang pernah dibangun tahun 2009 silam itu. Luapan sungai yang merobohkan bendungan di sungai tersebut menelan korban jiwa, yakni penjaga pintu bendungan itu.

Masyarakat, melalui pengorganisasian yang mereka lakukan, kemudian bersepakat untuk menggalang dana sumbangan dari masyarakat di tiga desa tersebut secara swadaya.

Tidak hanya itu, masyarakat juga menjalin komunikasi dengan pihak perusahaan sawit di Mamuju Utara untuk memberikan dukungannya terhadap penanganan banjir. Pasca kunjungan pihak perusahaan ke lokasi jebolnya bendungan, terdapat tiga perusahaan telah memberikan konfirmasi bahwa mereka bersedia berpartisipasi dalam upaya penanggulangan banjir tersebut.

Warga dan inisiatifnya (foto: istimewa)
Warga dan inisiatifnya (foto: istimewa)

Setelah melakukan beberapa pertemuan multipihak, mereka bersepakat untuk melakukan aksi kolektif. Di antaranya, perlunya membuat bendungan buatan yang lebih besar dan kuat dari bahan batu gajah untuk menahan sementara derasnya aliran sungai ke arah bendungan yang jebol dan agar aliran sungai terbagi ke arah yang lain, Sungai Pasangkayu.

Selain itu, mengeruk pasir sedimen yang mengendap di dasar Sungai Pasangkayu agar aliran air sungai menjadi lancar.

Adapun pihak yang akan berpartisipasi adalah masyarakat desa menyiapkan 150 batang pohon kelapa untuk tiang pancang. Dinas Penanggulangan Bencana Daerah Mamuju Utara menyediakan alat berat. PT Mamuang dan PT Letawa menyiapkan batu gajah. PT Pasangkayu menyediakan mobil tronton besar untuk pengangkutan batang kelapa ke lokasi pemasangan bendungan buatan.

Simpang sungai yang acap meluap (foto: istimewa)
Simpang sungai yang acap meluap (foto: istimewa)

Bukti kemandirian

Saat penulis dan teman-teman COMMIT Foundation berkunjung ke Karya Bersama beberapa hari yang lalu, kami sempat mengikuti pertemuan yang dihelat oleh masyarakat desa yang tergabung dalam Tim Penanggulangan Banjir.

Upaya bersama mereka masih dalam proses penyiapan material untuk pembuatan bendungan buatan. Inilah salah satu fakta bahwa sesungguhnya komunitas memiliki potensi yang besar untuk secara mandiri menyelesaikan masalahnya.

Mandiri, bukan berarti tidak membutuhkan bantuan pihak lain (outer system), tetapi terlebih dahulu mereka harus memiliki kepercayaan diri bahwa mereka “mampu”, tentu dengan bergerak bersama secara kolektif. Kuncinya adalah spirit kemandirian dalam kebersamaan.

Terlepas apapun hasilnya nanti, kasus di Karya Bersama ini, dalam pandangan penulis, merupakan bukti dari sekian banyak praktik kolaborasi multipihak di negeri ini yang perlu dirawat agar senantiasa terus lestari, tidak hanya ketika desa tertimpa bencana, tapi juga saat membangun desa pasca bencana.

Kawan-kawan para pengabdi desa, mari terus berkarya dalam kebersamaan menuju desa mandiri dan sejahtera.

Mamuju, 18 Oktober 2017