Air Terjun Mata Buntu, yang Memesona dari Luwu Timur

Sorowako, COMMIT – Pegunungan Verbeek tak hanya berbagi aneka tambang. Dia juga menghampar berjuta keindahan, melalui tebing gunung, ngarai, hutan, sungai hingga danau. Air terjun Mata Buntu atau Maruruno adalah salah satunya.

Destinasi mengagumkan sekaligus menantang ini tertelak di Desa Ledu-Ledu, Luwu Timur. Dapat dijangkau dari ibukota Kecamatan Wasuponda sekira 4 kilometer ke barat. Inilah salah satu aset pariwisata Luwu Timur yang jika dikembangkan dengan benar akan menjadi magnet pariwisata di timur Sulawesi Selatan atau Indonesia.

Informasi air terjun ini penulis peroleh pertama kali dari Gani, teman yang mengantar ke lokasi wisata lainnya bernama Bukit Agro Tabarano (BAT), empat hari sebelumnya. Jika BAT berada di sisi kanan jalan dari arah Malili-Sorowako, Mata Buntu ada di kanan. Jaraknya yang berdekatan dapat menjadi destinasi kembar di Wasuponda.

***

Mobil kami melintasi jalan selebar 3 meter Ledu-Ledu ke arah barat di Minggu yang cerah, (5/8). Melewati kantor desa, pasar dan perkampungan. Kebetulan sedang hari pasar sehingga kami terhalang suasana pasar.

Sebelum sampai ke pintu gerbang warna kuning, kami memperoleh bonus pandang hamparan persawahan siap panen. Dua orang terlihat menjemur gabah di bahu jalan. Mereka memberi aba-aba untuk pelankan mobil.

Dari gerbang, kami masih melewati jalan kecil tak rata. Ada dua rumah berikut kamar yang nampaknya disiapkan sebagai kamar bilas. Di kiri, di dekat tempat kami memarkir mobil terlihat papan penunjuk lokasi air terjun dan kolam renang mini. Kolam renang ini berada persis di samping kebun jagung. Ada bangunan untuk digunakan pengunjung di dalamnya.

“Mandi atau tidak, bayar Rp. 5 ribu,” begitu tulisan di pintu masuk. Kolam renang ini menggunakan air yang jatuh dari ruas kiri air terjun.

Lelaki tua Kuna, (60) mengarahkan kami untuk parkir teratur. Dia memegang sapu besar dan mengaku bertugas membersihkan ruas tangga dan lingkungan sekitar air terjun. Dia membawa karung atau dalam bahasa setempat, kandu’.

“Itu saya bawa kandu’,  untuk masukkan sampah,” katanya saat kami menyapanya.

Kata Kuna, anak tangganya ada 184. Lumayan meletihkan saat menanjak tangga yang ukurannya tak beraturan ini. Ada lebar, ada sempit, berkelok.

Pemandangan di sisi kanan tangga sungguh luar biasa. Sebanding dengan rasa pegal saat naik tangga. Saya merekam air yang jatuh di antara pohon-pohon menjulang. Di beberapa titik samping tangga ada semacam gazebo hentian untuk menikmat undakan air terjun.

Saya dan Gani berpapasan dengan sepasang suami istri dan seorang anak. Dari atas beberapa orang nampaknya telah selesai berendam dan bergegas turun dengan aksen Luwu.

Saat sampai di atas tidak kurang 10 orang sedang bersukacita. Ada berendam, memanjat tebing dan selfie. Ada pula yang minta difoto.

Inilah air terjun Mata Buntu itu. Air terjun setinggi 50 meter, dan ditopang oleh tidak kurang 30 undakan dari titik terbawah. Beberapa orang terlihat turun dari sisi kanan, menuruni tebing terjal.

“Di atas lebih cantik pak,” kata seorang ibu yang duduk di bangunan paling atas saat kami sampai di ujung tangga. Dia mengaku orang Malili tapi tinggal di Makassar.

Gemuruh air dari puncak, percik air yang berseliweran membentuk pelangi tipis. Di kiri-kanan jatuhnya air terlihat pohon-pohon menjulang.

Kami beruntung sebab meski beberapa titik Luwu Timur terkena hujan dalam seminggu terakhir namun air di Maruruno terlihat bening. Ini pula yang menggoda kami untuk segera menceburkan diri. Gani tak ketinggalan.

Berendam di lebar undakan sedalam 30 centimeter, yang serupa balkon batu ini mengingatkan hotel-hotel bernuansa alam di Pulau Bali. Saya meminta Gani untuk memotret dari belakang, menyapu pemandangan di depan dan kiri-kanan air terjun.

Akar pohon raksasa yang membeli di sisi air terjun cukup membantu untuk kami naik ke tempat paling tinggi. Beberapa batu yang tidak terkena air justeru terasa licin. Batu-batu yang terkena air justeru kuat diinjak.

Beberapa orang mencoba naik ke ‘balkon’ tertinggi dan berharap difoto. Mereka seperti tersedot daya tarik Mata Buntu.

Menurut warga setempat, Mata Buntu berarti mata air yang keluar dari batu-batu. Ini dapat saya lihat dari beberapa batu yang membentuk lubang.

Kalau melihat letaknya di lintasan Pegunungan Verbeek, air terjun Mata Buntu serupa oase yang dikepung bukit-bukit. Dia menjadi pembeda di kawasan yang disebut menyimpan berjuta ton material tambang ini.

Model batu baru di Mata Buntu merupakan bentuk pengapuran dari air yang jatuh bertahun-tahun. Beberapa batang pohon yang rebah menjelma batu sebab lambat laun berbungkus kapur. Seperti stalakmit di gua-gu.

Sementara jika melihat debit air yang deras, nampak sekali kalau air terjun ini ditopang oleh cekungan atau sungai yang menampung banyak air. Air dari sinilah yang menjadi pelipur petani dan pekebun di sekitar Wasuponda terutama di sekitar Tabarano dan Ledu-Ledu hingga Balantang.

Hal yang mengkhawatirkan adalah vandalisme pengunjung. Mereka mengurat nama dan kata-kata tak pantas di beberapa batu besar. Ada banyak batu yang ternoda dan jika ini dibiarkan akan menggerus keindahan Mata Buntu.

Kami berada di batang air terjun sekira sejam sebelum kembali anak tangga pertama. Lantaran dingin setelah berendam saya menawari Gani untuk menjajal mie instan. Kami juga berbilas setelah menikmati mie seharga delapan ribu tersebut.

Dalam perjalanan pulang ke Sorowako, saya membayangkan masa depan Mata Buntu sebagai salah satu magnet kunjungan ke timur Sulawesi.

Berkhayal andai seluruh fasilitas, akses jalan, balkon, penginapan, rumah bilas, kapasitas pengelola dan infrastruktur pendukung lainnya mulai dipersiapkan dengan sesempurna mungkin.

Saya teringat Umbul Ponggok, kawasan permandian milik Desa Ponggok yang telah dikelola oleh Bumdes dengan luar biasa efektif.

Penulis membayangkan bagaimana para pihak bersatu padu menata Mata Buntu dengan sungguh-sungguh.

Ada beberapa alasan yang bisa memantik atau memudahkan jalan ke sana, misalnya jika hendak dijadikan destinasi wisata terpadu tirta seperti Ponggok melalui pengembangan kawasan dan menguatkan kapasitas masyarakat sekitar.

Pertama, jika Anda dari luar Sulawesi, jarak bukan lagi soal untuk menjajal Mata Buntu, apalagi pesawat akan semakin banyak yang melayani rute Makassar – Sorowako atau Makassar – Bua. Jalur darat Makassar – Palopo – Malili – Sorowako yang dimanja bus-bus mewah namun ekonomis dan menyenangkan.

Kedua, ada banyak destinasi susulan sehingga bisa dijadikan paket perjalanan. Bukan semata Mata Buntu tetapi Danau Matano yang telah lama menebar pesona, Danau Towuti, Pesisir Malili, hingga trek-trek di bahu Verbeek.

Yang ketiga, kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Luwu Timur yang memberi perhatian pada pengelolaan sumberdaya alam potensial untuk segmen pariwisata. Saat ini ada beberapa contoh yang telah didorong sebagai model wisata seperti Bukit Agro Tabarano di Wasuponda. Ada pula wisata air terjun serupa di Sungai Anuang Mangkutana, Pantai Lemo, hamparan mangrove Wotu hingga pesisir Pulau Bulupoloe yang menawan. Banyak bukan?

Nah, sembari menunggu inovasi dari desa setempat dalam menyiapkan sarana prasarana tambahan, mari datang ke sana. Jika ingin menjajal Mata Buntu, coba deh dengan mencari penginapan di Sorowako biar banyak alternatifnya. Bisa sewa mobil di sana. Kalau mau efisien, pastikan untuk jalan bareng teman.

Nah, jadi, kapan ke sini?

__

ditulis oleh Kamaruddin Azis