Teluk Timbau: Antara ‘Stock and Pile’, Bijek hingga Burung Walet

Barito Selatan, COMMIT – Desa-desa di sempadan Sungai Barito, Kalimantan Tengah, disebut sangat ramah pada usaha tambang termasuk unit ‘stock and pile’ yang menjamur di setiap sempadannya. Minim riak atau persoalan sebagaimana di lokasi lainnya di Nusantara.

Salah satu penyebabnya adalah perusahaan tambang tersebut merekrut warga yang bermukim di lokasi usaha tambang sebagai karyawan, mulai dari penjaga dermaga hingga manejer.

Sekretaris eksekutif Yayasan COMMIT, Kamaruddin Azis, berkunjung ke Desa Teluk Timbau, Barito Selatan, yang juga mempunyai beberapa unit ‘stock and pile’.

Bukan soal bagaimana unit tambang ini beroperasi yang akan diceritakan melainkan bagaimana denyut kehidupan desa-dusun di sekitar sempadan dimaksud, bagaimana sejarah dan pilihan warga dalam mengembangkan potensinya.  Berikut laporannya.

 ***

Perjalanan ke Teluk Timbau bermula dari Ibukota Kalimantan Tengah, Palangkaraya dengan mengendarai roda empat yang dikemudikan Rolly Priswahyuno, pemuda berdarah Dayak-Jawa. Rolly sangat ramah, rendah hati dan murah senyum.

Informasi yang diberikannya membuat kami yang terdiri dari 4 orang cukup optimis di perjalanan menuju kota berjuluk ‘Kota Batuah’ Buntok, ibukota Barito Selatan.

Jarak dari Palangkaraya ke Buntok tidak kurang 200 kilmeter sementara untuk sampai ke Muara Teweh mencapai 370 kilometer.

Di Muara Teweh, di Barito Utara inilah yang banyak terdapat lokasi pertambangan batu bara (coal) sementara di selatan, terdapat banyak stock and pile sebelum dikapalkan ke pasar dunia. Beberapa area yang terkenal di Kalimantan Tengah adalah Pangkalan Bun, Sampit hingga Buntok.

Setelah melewati jalan lebar namun terasa lengang, beberapa jembatan dan sungai lebar, penulis akhirnya sampai di Buntok.

Sajian makan siang di RM. Balangan menggugah selera, lokasinya di Jalan Pelita Raya. Ikan-ikan khas Barito jadi menu utama. Ada bakar, ada goreng. Sambel pedis juga siap saji.

“Beras sini enak kan pak? Kami sebut nasi rasa karao atau pecah,” kata Rolly saat kami menikmat aneka ikan sungai seperti tauman, gurami dan patin.

Pemandangan menuju Buntok (dok: istimewa)

Perjalanan berikutnya adalah dengan naik speedboat dan berisi belasan orang.  Butuh waktu 2 jam lebih untuk sampai ke Teluk Timbau. Kami meliuk di mengikuti alur dan lekuk sungai, mata awas pada kiri-kanan sungai, sesekali bergoyang karena diterjang gelombang yang dibentuk speedboat lainnya.

Sepanjang perjalanan yang nampak adalah bentang sungai, perahu kelotok berisi rotan, kapal-kapal tongkang (tug boat) hingga unit-unit ‘stock and pile’ batu bara.

Tandang ke Muara Puning

Observasi pertama dilakukan di Dusun Muara Puning atas saran Saduring, karyawan salah satu perusahaan tambang. Butuh waktu 15 menit untuk sampai ke dusun bagian Desa Teluk Timbau ini dengan menggunakan kelotok milik karyawan.

Tak nampak aktivitas warga di sempadan ketika perahu kelotok yang membawa penulis tiba di sempadan. Hanya ada 1-2 warga yang melintasi jalan beton di depan rumah aneka warna.

Sebagian lainnya duduk di teras rumah, termasuk Zariasnyah. Lalu ada Ahmad Suhaeni, marbot, penghulu dusun yang sangat hangat dan memberi informasi tentang situasi dusun. Ada pula Misradi, Kepala Dusun yang sedia berbagi pengalaman memimpin dusun.

Di Puning, kami bertemu Ahmad Suhaeni yang merupakan marbot dusun, lalu Risno, Purniman, Ibu Hajjah Siti, Pak Zariansyah kemudian mengarah ke area berisi kolam bijek milik Risno. Butuh waktu berjalan sekira 2 kilometer untuk sampai ke bijek ini.

Menurut Kepala Dusun, Puning mulai dihuni sejak tahun 80-an. Saat pertama hanya ada 3 rumah lalu berkembang hingga saat ini. Mereka juga menganggap dirinya berasal dari Damparan.

BIjek di Muara Puning (dok: K. Azis)

Untuk bertahan hidup mereka berburu ikan, menebang kayu, mencari madu.  Dulu mereka bebas mengambil kayu untuk bahan bangunan rumah dan dijual namun tidak lama kemudian dibatasi. Mereka membuat jalur mengambil kayu, berkilometer ke dalam. Dibikin jalur atau ‘Kaleng’.

Dari usaha kayu mereka juga mulai akrab dengan usaha perikanan seperti bijek dan memasang jaring. Produk perikanan dijual ke Pasar Bengkuang di selatan desa. Kadang juga pembeli yang datang membeli dengan menumpang perahu kelotok.

Dari orang-orang yang datang ini mereka membeli beras dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Dusun Muara Puning berpenduduk 500 jiwa atau sekitar 150 KK.

Mereka menganggap bahwa ketika musim banjir datang maka itulah saatnya untuk mengambil kayu di hutan. Saat banjir, maka saat ini kapal-kapal bisa datangtermasuk tugboat.

Saat ini warga semakin banyak dan semakin giat dalam berusaha seperti membuat keramba jaring apung untuk pembesaran ikan tauman, mencari kulit kayu, usaha burung walet dan perkebunan seperti mangga. Usaha burung walet disebut mulai marak sejak tahun 2008.

Persoalan yang dihadapai pembudidaya keramba ikan tauman adalah ketersediaan pakan, yaitu ikan-ikan kecil.  Berburu pakan untuk tauman adalah pekerjaan tersendiri dan butuh cara khusus meski harus semakin jauh ke dalam anak-anak sungai.

Ada beberapa anak sungai yang menjadi lokasi usaha perikanan seperti di Sungai Ramuniak, Sakahampalam, Mesanggar, Mesanggar Ganal, Masanggar Halus, Garahgajian, Bauwar.

Ada pula sungai di seberang Muara Puning yaitu Sungai Harusan, Ingah, Sungai Lukut, Sungai Banta, Sungai Puputan. Danaupu ada seperti Danau Bulat, Danau Balai, Danau Kecil, Danau Bakut, Danau Payung Bandar, Danau Panjang.

Desa-desa di sekitar Teluk Timbau adalah Desa Batilap, Batampang dan Simpang Telo. Di Desa Teluk Timbau pernah ada program bersama Yayasan Kehati yang mendorong kesadaran konservasi dan pengembangan ekonomi warga setempat.

***

Risno, kelahiran tahun 1982, atau usia 36 tahun adalah seorang warga Muara Puning yang mempunyai bijek peninggalan ayahnya, Pak Utuh. Bijek dibikin sekira 20 tahun lalu dan sampai sekarang masih dipakai.  Saat air surut ikan yang masuk sangat beragam seperti ikan gabus, ikan betok, tauman.

Risno punya 8 sumur yang tersebar di timur kampung. Dari 8 sumur yang ada dia ‘hanya’ sempat panen 100 kilogram. Persoalan yang sering ditemui adalah pencurian ikan di kolam oleh warga desa sekitar.

Untuk sampai ke bijek Risno, penulis harus menempuh perjalanan sekira 1 kilometer dan berjibaku dengan genangan dan lumpur. Di sepanjang jalan terdapat bekas pengggergajian, hal yang menurut Risno telah dilarang sejak beberapa tahun belakangan ini. Meski demikian mereka tetap memanfaatkan bijek yang telah ada sebelumnya.

Menurut cerita Abdul Hamid, warga Muara Puning, sejak tahun 1993 sudah ada keramba yang diisi ikan tauman.  Dia bercerita tentang usaha kerambanya.

“Jumat sebelumnya panen 140 kilo, dan dijual ke Pak Basran, di Bengkuang, 140 kilo x 20 ribu, senilai 2,8 juta. Dia jaga keramba selama 12 bulan,” katanya tentang keramba dan ikan yang telah dijualnya.  Di usaha bijek dia punya 10 sumur, dan berisi ikan gabus, gurami.

Sementara itu Hajjah Siti bercerita kalau dia baru saja naik haji hasil usaha keramba tauman dan usaha walet.

Menurut Siti, usaha burung walet ini untung-untungan juga sebab tidak jarang ada rumah walet tanpa isi, namun ada juga yang mendapat sampai 20 kilo. Harga perkilo bervariasi tergantung warna air liur burung.

Ikan gabus, andalan Barito (dok: K. Azis)

“Yang mahal itu yang putih bersih, bisa sampai 15 juta perkilo,” kata perempuan yang mengaku naik haji bersama suaminya Rahman karena pembesaran ikan tauman dan hasil penjualan sarang burung walet ini.

Penjelasan Pak Kades

Desa Teluk Timbau tegak di tahun 1973. Adalah warga asal Desa Damparan yang datang membuka lahan dan permukiman.

“Damparan ada sejak zaman Jepang. Penamaan ‘Teluk Timbau’ berkaitan dengan sejarah ‘papan yang dihinggapi tawon’ lantaran banyaknya namun sekarang gak ada lagi,” kata Adi Ariyanto yang menerima kami saat mendarat di pusat Desa Timbau.

 Desa mekar seiring dengan munculnya beberapa tokoh seperti Daud, Haji Dahlan. Kades pertama bernama Murad, kemudian Kades kedua bernama Daud Utur, lalu ada Pak Muhlis.

“Penduduknya sebesar 1417 Jiwa, dimana ada 415 KK yang terdiri dari 8 RT meliputi Teluk Timbau, Tanjung Kuning dan Muara Puning,” tambah Adi.

Di Teluk Timbau ada sekurangnya 300 hektar sawah tadah hujan. Padi yang ditanam adalah Padi Siam. Sekali dalam setahun mereka menanam padi, merawat selama empat bulan sebelum panen.

Menurut Adi, selain bertani, warga Teluk Timbau juga beraktivitas sebagai pencari rotan, usaha perikanan air tawar.  Khusus untuk tani rotan dilakukan baik dengan membuka lahan kebun rotan maupun ke hutan. Disebut tani sebab mereka juga menanam rotan tak melulu mencari di hutan. Saat ini, rotan dihargai Rp. 200 ribu/kuintal.

Dari sisi kelembagaan ekonomi, meski sudah ada koperasi namun belum mengelola sumberdaya lain kecuali mooring kapal. Potensi ekonomi yang telah dikembangkan seperti sarang burung walet yang disebut telah memberikan pendapatan hingga ratusan juta.

Beberapa aktivitas sosial budaya misalnya kesenian rebana, ada Maulidan Habsy. Menurut Kades, beberapa persoalan yang ditemui seperti perambah hutan dan mengambil kayu. Sarang burung walet juga kerap menjadi target pencurian.

Berdamai dengan usaha tambang (dok: K. Azis)

Saat ini ada tidak kurang 35 rumah walet di Teluk Timbau.  Sementara di Tanjung Kuning adalah 15 dan di Muara Puning ada 21 bangunan. Harga sarang walet berkisar antara 12 hingga 15 juta tergantung kualitasnya.

Di radius 5 kilometer, lokasi tambang Teluk Timbau, desa tertua adalah Desa Makatip ibukota kecamatan Dusun Hilir, lalu mekar menjadi Desa Damparan.

Desa-desa lainnya di kecamatan Dusun Hilir adalah Muara Kalanis, Kalanis, Mangkatir, Lehai. Sementara desa-desa di aliran Sungai Makatip adalah Desa Mahajandau, Sungai Jaya, Dusun Bakuta.

“Di Makatip ada situs pengentuha yang disebut berusia sekira dari tahun 1535. Hal ini menunjukkan pula adanya hubungan antara komunitas di sekitar Sungai Barito dengan Kerajaan Demak di Tanah Jawa,” kata Saduring saat ditanya sejarah desa di sepanjang Barito.