“Kades protes kebijakan Pemerintah Pusat. Bupati saling sindir, pro-kontra kebijakan. Bansos salah sasaran. Ada permainan data. Perangkat desa rentan salahgunakan dana desa dan bansos. Hukum mati bagi penyeleweng dana bantuan.” Ini adalah potret getir saat membincang desa-desa kita di tengah pandemi Covid-19.
***
Sebegitu rentannyakah desa, perangkat dan masyarakatnya? Lalu, sampai kapan pandemi Covid-19 ini terus menggelinding? Sampai kapan warga (desa) bisa bertahan manakala faktor produksi seperti pertanian, perkebunan hingga perikanan sedang terganggu? Sanggupkah desa-desa bertahan melalui kelindan sumber daya alam, norma dan kelembagaannya di tengah pandemi yang sungguh dahsyat dan mengkhawatirkan ini?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut hadir dan menjadi alasan mengapa kita perlu melihat kembali realitas di desa, membaca kecenderungannya di tengah ketidakpastian ini. Ada dua alasan mengapa perlu melihat kembali realitas di desa.
Pertama, jauh sebelum pandemi ini, praktisi pemberdayaan masyarakat desa sudah membaca mencuatnya akar tunggang persoalan pada praktik, metode dan semangat pembangunan dengan adanya belitan pada partisipasi semu. Situasi ini dilematis di tengah gagasan ‘desa membangun’ karena yang terjadi, atau banyak dipertontonkan adalah proyek-proyek fisik, tak substansial dan kerap terbelit korupsi.
Alasan kedua adalah, kuatnya daya pikat industrialisasi atau modernisasi sehingga praktik-praktik kearifan lokal, kegotong royongan, ‘social safety nets’ yang sudah ada sejak lama juga perlahan bergeser diganti materialisme dan individualisme.
Pandemi Covid-19 dianggap menjadi prahara tambahan sebab dapat membuat suasana semakin memburuk. Tanpa daya tahan sosial yang langgeng, desa-desa yang ada, terutama di Sulawesi dikhawatrkan akan benam dalam keputusasaan dan ketiadaan jalan keluar.
Indikasi menguatnya ketergantungan pada Pemerintah adalah alasan berikutnya yang juga perlu dicermati saat ini; apakah warga bisa memunculkan kreativitas, kreatif di tengah pandemi atau hanya mampu mengiba kepada Pemerintah. Kenapa ini perlu dikemukakan? Iya, karena fakta-fakta yang muncul belakangan ini semakin membuat kita sungguh khawatir.
Misalnya, konflik yang mengemuka antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam memandang desa dan sumber daya pembangunan yang tersedi. Masih ingat saling sebar video antara Bupati Bolaang Mongondow dan Bupati Lumajang terkait kebijakan, pengalokasian sumber daya dan bagaimana Pemda mengambil inisiatif di tengah pandemi? Atau seorang Kepala Desa di Jawa Barat yang terang-terangan mengkritik kebijakan Pemerintah di atasnya?
Belum lagi jika menyebut bahwa jumlah korban Covid-19 ini tak seperti diberitakan, bisa jadi jumlahnya lebih besar dari yang terdata atau ibarat ‘gunung es’. Desa-desa bisa jadi menyimpan banyak korban karena keterbatasan alat deteksi.
Apa lagi? ‘Konflik’ terbuka antara beberapa Bupati terhadap kebijakan Pemerintah Pusat terkait penyaluran bantuan sosial adalah realitas lainnya. Pemerintah Pusat berharap partisipasi Pemda namun di sisi lain, ada kebijakan yang tak sejalan dengan sumber daya atau kemampuan daerah, ada miskoordinasi.
Ada persoalan pada pendataan, pada pengambilan keputusan terhadap pengalokasian sumber daya, misalnya bagaimana dana desa digunakan untuk mengantisipasi dampak Covid-19. Kebijakan Pusat yang disebut tak mengakar pada realitas atau kebutuhan tingkat desa. Pada sisi lain,
Pemerintah juga ingin terlihat tegas dengan menyatakan bahwa barang siapa yang memakan uang rakyat (masyarakat desa) akan diancam hukuman berat bahkan hukuman mati bagi yang memakan hak rakyat itu. Ngeri. Salah satu alasannya adalah banyak dana desa atau dana yang semestinya harus sampai di masyarakat tetapi selama ini disalahgunakan. Penilaian ini dianggap justeru menempatkan warga sebagai yang ‘terdakwa’.
Ada yang menyebut ‘Kok baru sekarang?’ “Ini kan sudah berlangsung lama, kenapa tidak dikerasi sejak awal berlaku tegas untuk pelanggar dana desa?”.
Makanya, tidak heran ketika beberapa waktu lalu ada kepala desa melalui video yang viral dengan terang-terangan ‘melawan’ kehendak Pemerintah Pusat. Dia keberatan jika Pemerintah memaklumatkan adanya bantuan sosial di tengah Pandemi Covid-19 tetapi tidak jelas pengalokasian dan sumber dananya atau membebani mereka.
Diskursus yang cenderung jadi konflik terbuka itu justeru menempatkan warga desa sebagai korban. Warga tak bisa maksimal dalam mengakses unsur pembangunan atau sumber daya di tengah pandemi.
Pendek kata, daya tahan mereka sedang diuji. Akankah bisa bertahan dengan sumber daya yang tersedia, dengan jaring pengaman sosial yang ada, baik yang sudah eksis sejak lama atau ‘jaring pengaman buatan’ baru di tengah program pembangunan berbasis dana desa atau seperti apa.
Selama ini, desa-desa di Sulawesi dikenal masih mempunyai daya tahan relatif kuat jika dibanding desa-desa di pulau besar lainnya. Kegotongroyongan, tradisi dan basis sosiologis mereka sangat kuat sebagai pondasi pada proses produksi pertanian, perkebunan hingga perikanan. Sayangnya, di tengah pandemi ini, muncul kekhawatiran bahwa situasi ini tidak bisa bertahan lama.
Situasi-situasi yang membuat kita waswas adalah kebijakan pembangunan nasional (termasuk terkait kesiapsiagaan) pada pandemi ini yang masih bermasalah. Kebijakan atau perangkat hukumnya tak lengkap, sumber daya tak memadai untuk mendukung kesiapsiagaan bencan, dan lain sebagainya.
Belum lagi kebijakan pembangunan yang masih sangat sentralistis, mekanisme hingga pemanfaatan sumber daya seperti dana desa telah menggerus daya tahan tersebut. Pergeseran telah berlangsung begitu masif karena paradigma pembangunan juga bergeser, dari kegotong royongan ke ‘padat modal’.
Terkait praksis pembangunan, salah satu titik lemah adalah kualitas data dan informasi yang digunakan untuk menyusun rencana pembangunan. Ini pula yang terjadi manakala warga atau Pemeritah Desa atau Daerah diminta untuk memastikan ketepatan bantuan mereka di tengah Covid-19. Partisipasi yang muncul disebut tak merefleksikan hakikat kegotongroyongan yang ada tetapi lebih karena instruksi atau faktor ketersediaan anggaran.
***
Begitulah, diskusi daring ini diselenggarakan untuk mendengar pengalaman, praksis, atau isu-isu terkait desa oleh beberapa pihak di beberapa wilayah Sulawesi. Akan dikemas dalam suasana santai dan lebih menekankan semangat ukhuwah berbagi inspirasi.
Apa lagi yang diharapkan dari diskusi daring yang digelar bersama Pemkot Palu (Bappeda Kota Palu) dan Yayasan COMMIT ini? Adanya refleksi atas realitas, analsisi isu dan praktik pembangunan sebelum dan setelah merebaknya pandemi Covid-19 untuk kemudian kita petakan aksi solutifnya. Apa sebaiknya upaya fasilitasi masyarakat agar aktif dalam mengisi gap realitas di desa-desa di tengah pandemi Covid-19 dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.
Tertarik ikut? Mari ikuti Bincang Daring ‘Potret Perdesaan Sulawesi di Tengah Pandemi Covid-19: Daya Tahan, Fasilitasi Masyarakat dan Tantangannya (Minggu, 3 Mei 2020, pukul 14.00-selesai WITA).
Resource Persons: Ir Muhd Nur Sangadji, M.Sc, akademisi Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako (pendiri COMMIT), lulusan Universitas Jean Moulin Lyon Prancis dengan pokok bahasan “Daya Tahan Perdesaan di Sulawesi dan Bagaimana Semestinya Kebijakan Pro-Desa Diproduksi”.
Irfan Saleh, S.Pt, M.Si, Kepala Baperlitbang Kab. Pohuwato Gorontalo, alumni Young Leader Trainig Jjepang JICA – CD Project dengan pokok bahasan, “Pengalaman Pemda Pohuwato dalam Fasilitasi Pembangunan: Sumber Daya Desa dan Tantangan Pemanfaatannya di Tengah Pandemi Covid-19’.
Sunarwan Asuhadi, alumni pelatihan fasilitator masyarakat JICA-CD Project (Wakatobi) dan praktisi pemberdayaan masyarakat dengan pokok bahasan “Pengalaman Fasilitasi Masyarakat di Wakatobi: Inspirasi dan Peluang Adopsi di Tengah Pandemi.”
Sebagai ‘host’ adalah Ibnu Mundzir (Pemkot Palu, Bappeda Kota Palu) dibantu Kamaruddin Azis (Sekretaris Eksekutif Yayasan COMMIT).
Ini link partisipasi: https://bit.ly/3b0nCgh Meeting ID: 830 3206 7364 (Password: 232570)