PALU, COMMIT – Tanggal 10 Oktober 2018, tim bersama Yayasan COMMIT, SCF dan Elsim bergerak memasuki pesisir barat Pasangkayu, lalu menyusuri Donggala sebelum tiba di pos bersama di selatan kota, di Jalan Zebra 2, Kota Palu.
Perjalanan kali ini tak melewati pesisir Tanjung Karang atau Kota Tua Donggala tetapi berbelok ke kanan, melintasi bukit sebelum keluar ke pantai selatan yang telah porak poranda oleh gempa dan tsunami.
Perjalanan tanpa rintangan meski beberapa hari sebelumnya dikabarkan hadangan mobil bantuan oleh warga yang merasa diabaikan meski juga mengalami bencana.
Tim terdiri dari Ashar Karareng, Kamaruddin Azis, Syahril Ramadhan alias Chai dan Abdul Gani serta Pak Udin dan Darwis, dua orang warga Moncongloe, Maros yang membawa bantuan dengan menggunakan mobil pick up. B
utuh waktu 24 jam untuk mobil berisi bantuan publik yang diorganisir bersama itu sampai ke Kota Palu. Udin dan Darwis berasal dan Desa Bontobunga, Kec. Moncongloe, Maros dan mengaku punya pengalaman ke Sulawesi Tengah.
“Mobil ini pernah dipakai anak saya selama tiga bulan di Parigi Moutong. Dipakai berdagang,” kata Udin.
Udin nampaknya sangat paham suasana jalur Makassar – Poso – Palu termasuk berpengalaman melewati jalur via Kebun Kopi hingga jalur ke Manado.
“Saya pernah ke Parigi dan Moutong karena anak saya ada di situ berbisnis pakaian,” katanya. Sementara itu, menurut Ashar, jalur darat seperti seperti disebutkan di atas adalah jalur tradiisonal orang Bugis sejak lama.
“Melalui Poso – Parigi lalu ke atas dan masuk Palopo. Belakangan ini baru jalur barat terbuka, Pasangkayu ke Donggala. Yang lebih dulu itu, jalur Poso yang memotong di Morowali,” katanya.
Karena akses yang sangat terbuka itu, baik jalur darat dan laut, membuat relasi orang Selatan (sebutan untuk warga Sulawesi Selatan) sangat kuat, mereka tersebar dari Palu hingga Gorontalo bahkan Manado.
Mereka berinteraksi dengan warga pesisir di sepanjang jalur Palu, Pohuwato hingga Bolaangmongondow. Membuka areal permukiman, membuka budidaya udang, usaha empang, menjadi petani kakao, membuka kebun sawit hingga menjadi pedagang.
Makanya, tidak heran jika ada banyak warga asal Sulawesi Selatan yang menjadi korban ketika gempa dan tsunami melanda Palu, Donggala dan Sigi.
Jelas bahwa Palu adalah kota yang telah lama menjadi titik fokus daya pikat bagi orang-orang Selatan, dari warga yang berdiam di Teluk Bone atau di sepanjang pesisir barat Sulawesi Selatan.
“Palu adalah muara perantauan, seperti pak Aziz ini,” kataku sesaat setelah tim COMMIT tiba di Palu Selatan.
Aziz adalah mantan project officer JICA-CD Project yang beristrikan warga Palu dan juga menjadi korban bencana. Terkait populasi Kota Palu ini, menurut catatan Pemerintah setempat, penduduk kota ini bertambah hingga 47 ribu setiap tahun.
“Orang-orang selatan juga termasuk sebagai yang terpapar imbas konflik sosial beberapa tahun lalu. Padahal mereka telah investasi sosial dan ekonomi di sana sejak lama. Ada ponakan saya hilang waktu itu. Dia ada usaha TV kabel di Poso. Setelah kerusuhan dia ke sana, tetapi hingga kini tidak ada kabarnya,” tambah Ashar.
Sementara itu, Udin mengaku bahwa dia mempunyai keluarga di Kalikoa, Palu. Kampung yang juga terpapar gempa. “Di sana banyak yang datang dari Maros, mereka berjualan es bahkan jualan bakso,” ujar Udin.
Misi COMMIT ke Palu dan Donggala selain mengambil bagian dalam mengurangi beban warga pasca bencana juga ditujukan untuk mendokumentasikan pengalaman warga sebelum dan sesudah bencana.
Beberapa titik yang telah disasar adalah Tanamodindi, Petobo, Mamboro, Petamba, hingga desa-kelurahan di sepanjang Pantai Talise.
“Misi lainnya, mencari tahu kabar beberapa alumni semasa pelaksanaan proyek JICA-CD Project. Beberapa dari mereka adalah aparatur sipil negara dan juga pekerja LSM. Kita berharap setidaknya memperoleh kabar dan kalau bisa mengunjungi kediaman mereka,” pungkas Ashar.
__
ditulis oleh Kamaruddin Azis, (Sekretaris Eksekutif COMMIT)